Sosped

Posted by Unknown Selasa, 24 November 2015 0 komentar
Pengertian Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, Tahapan Proses, Tujuan, Media, Jenis-jenis, Macam-macam, Faktor, Nilai, Norma Sosial
4:06 AM
Pengertian Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, Tahapan Proses, Tujuan, Media, Jenis-jenis, Macam-macam, Faktor, Nilai, Norma Sosial - Pada bab terdahulu, kita telah mempelajari interaksi sosial sebagai cikal bakal dari kehidupan bermasyarakat. Baik interaksi antar individu maupun interaksi dengan kelompok akan melahirkan proses yang dinamakan sosialisasi. Adanya proses sosialisasi menjadi bukti manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa ingin hidup bermasyarakat dengan manusia lainnya. Agar dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut, dirinya melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap nilai dan norma yang berlaku. Secara sederhana, sosialisasi bisa disamakan dengan pergaulan. Dalam pergaulan, dipelajari berbagai nilai, norma, dan pola-pola perilaku individu ataupun kelompok. Lambat laun nilai-nilai dan norma diserap untuk menjadi bagian dari kepribadiannya.

Dalam bab ini kita akan mempelajari proses sosialisasi yang membentuk kepribadian. Sosialisasi mengandung makna bahwa manusia dalam hidupnya perlu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam proses penyesuaian tersebut, yang terjadi pada diri seseorang adalah timbulnya karakter atau sifat pada dirinya.

A. Sosialisasi

Setiap manusia dalam kehidupannya selalu belajar dan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini terjadi karena manusia merupakan makhluk yang aktif untuk bertindak. Kecerdasan yang dimiliki manusia menjadikan ia harus berpikir bagaimana untuk dapat hidup dalam masyarakat.

1.1. Pengertian Sosialisasi

Konsep tentang sosialisasi itu sendiri tentunya sudah dapat Anda pahami melalui uraian singkat sebelumnya. Untuk lebih memahaminya, berikut ini dikemukakan beberapa definisi sosialisasi dari beberapa ahli.

1. Edward Shils (1968) Sosialisasi adalah proses sosial yang dijalankan seseorang atau proses sepanjang umur yang perlu dilalui seseorang individu untuk menjadi seorang anggota kelompok dan masyarakatnya melalui pembelajaran kebudayaan dari kelompok dan masyarakat tersebut.
2. Berger (1978) Sosialisasi adalah proses seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.
3. Horton dan Hunt (1987) Sosialisasi adalah suatu proses seseorang menghayati (internalize) norma-norma kelompok tempat ia hidup sehingga timbullah diri yang unik.
4. Nursal Luth Sosialisasi adalah suatu proses ketika individu menerima dan menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi merupakan suatu proses bagaimana seorang individu belajar menghayati berbagai macam nilai, norma, sikap, dan polapola perilaku dalam masyarakatnya sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berpartisipasi.
Apa hubungannya antara proses sosialisasi dengan pembentukan kepribadian?

1.2. Tujuan Sosialiasi

Tentunya dari penjelasan beberapa konsep tersebut tentang sosialisasi, dapat disimpulkan bahwa tujuan sosialisasi adalah:
1. menanamkan nilai dan norma yang ada di masyarakat kepada individu;
2. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada individu sebagai bekal hidup bermasyarakat;
3. membentuk anggota masyarakat yang penuh dengan pribadi yang utuh sehingga berguna bagi dirinya dan masyarakat.
Hal yang dipelajari oleh seseorang dalam sosialisasi menurut Peter L. Berger adalah peran-peran individu. Berbeda dengan Erving Goffman yang menyebut peran-peran ini sama dengan pertunjukan bagi individu terhadap orang lain. Teori Goffman ini disebut Teori Dramaturgi.

1.3. Tahapan Proses Sosialisasi

Pada proses sosialisasi, terdapat peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Oleh karena itu, para sosiolog sering menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sosialisasi merupakan proses yang terlahir dari adanya interaksi. Dalam hal ini, Charles H. Cooley menekankan peranan interaksi dalam proses sosialisasi. Menurutnya, konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain atau dikenal dengan istilah looking-glass self. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain terbentuk melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Tahap memahami diri kita dari pandangan orang lain. Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas yang melebihi teman-temannya.
2. Tahap merasakan adanya penilaian dari orang lain. Dengan pandangan bahwa si anak adalah yang paling hebat, ia merasa orang lain selalu memuji dia dan selalu percaya pada tindakannya.
3. Tahap dampak dari penilaian tersebut terhadap dirinya. Dari pandangan dan penilaian bahwa ia adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Adapun menurut George Herbert Mead, sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui beberapa tahapan berikut.
1. Tahap persiapan atau Preparatory stage. Sejak manusia dilahirkan kemudian tumbuh menjadi seorang anak, ia mulai mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini, anak-anak sudah mulai menirukan hal yang diketahui dari sekelilingnya meskipun belum sempurna. Contohnya, menirukan kata “minum” dengan diucapkan “mimi”. Selain pengucapan yang belum sempurna, anak juga belum memahami makna kata tersebut.
2. Tahap meniru atau Play stage. Pada tahap ini, seorang anak mulai menirukan dan mulai terbentuk pemahaman tentang sesuatu yang didapatkan dari sekelilingnya dengan semakin sempurna. Misalnya, ia mulai memahami nama diri dan siapa nama orangtuanya, kakak, dan sebagainya. Pada tahap ini, seorang anak sudah mulai dapat menempatkan diri pada posisi orang lain dan munculnya kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan orang-orang yang jumlahnya banyak. Contohnya, seorang anak, baik laki-laki atau perempuan, ditugaskan membantu ibu dan ayah membersihkan rumah dan sebagainya. Pada tahap ini akan dikenalkan dengan nilai dan norma yang ada di rumah.
3. Tahap siap bertindak atau Game stage. Proses meniru sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain semakin meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama dan bekerja sama dengan teman-temannya. Dengan demikian, lawan berinteraksi semakin bertambah dan kompleks. Pada tahap ini, mulai dipahami dan disadari peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarga.
4. Tahap penerimaan norma kolektif atau Generalized stage. Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Penempatan dirinya pada posisi masyarakat sudah semakin luas. Sikap toleransi, kerja sama, dan kesadaran akan peraturan dengan masyarakat yang lebih luas sudah semakin mantap. Dengan kata lain, pada tahap ini seseorang telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya. Contohnya, anak yang sedang bermain jual beli dengan teman-temannya. Ia mengetahui apa yang harus dilakukan ketika berperan sebagai pembeli atau penjual. Dalam tahap ini, anak mampu membedakan peran yang harus dijalankan orang lain. Contohnya, anak yang ikut dalam kegiatan karang taruna akan berperan sesuai dengan status keanggotaan. Ia dapat berperan sebagai ketua, sekretaris, bendahara, atau anggota. Peran seorang ketua tentu berbeda dengan peran anggota lainnya. Dalam lingkup organisasi lebih luas, peran ketua pada dasarnya sama saja. Oleh karena itu, ia sudah mampu menjalankan peran orang lain.
Tabel 1. Tabel Perbedaan Ciri-ciri Tahap Perkembangan Diri dalam Sosialisasi

Kriteria Tahap persiapan Tahap meniru bertindak Tahap bertindak Tahap penerimaan norma kolektif
Jumlah orang yang berinteraksi Sedikit Sedikit bertambah Agak banyak Banyak
Keragaman orang dalam interaksi Rendah Agak rendah Agak tinggi Tinggi
Kesadaran diri yang dimiliki Belum Hanya meniru Mampu bekerja sama Mampu bekerja sama dalam masyarakat luas secara tatap muka

1.4. Media Sosialisasi

Sebagai suatu proses, sosialisasi tentunya memerlukan media. Media sosialisasi merupakan tempat individu belajar mengenal dan memahami berbagai macam nilai, norma, pola-pola, perilaku sehingga individu tersebut mengenal dunia sosialnya. Jenis-jenis media sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa. Melalui media inilah kepribadian seseorang dapat terbentuk.

a. Keluarga (Kinship)

Keluarga merupakan unit sosial terkecil atau disebut keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan lingkungan pertama tempat anak belajar berbagai pengetahuan, nilai, norma, dan sebagainya, untuk mengenal dunia sekitar dan pola-pola hidup yang berlaku sehari-hari. Keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak, kepribadiannya sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara dan corak orangtua memberikan pendidikan dan bimbingannya. Dengan kata lain, apa yang terjadi dalam lingkungan keluarga akan diinternalisasi oleh individu yang menjadi anggotanya.

b. Teman Bermain

Teman bermain disebut juga “kelompok sebaya,” terdiri atas tetangga dan teman sekolah. Teman bermain tersebut merupakan tempat sosialisasi yang sangat berpengaruh bagi anak setelah keluarga. Di sini anak mulai belajar berbagai nilai, norma, dan kemampuan-kemampuan baru yang mungkin berbeda dengan hal yang sudah diperolehnya dalam lingkungan keluarga.

Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sejajar, seperti hubungan ayah dan ibu, dengan anak, sosialisasi dalam kelompok bermain, anak akan belajar interaksi dengan orang-orang yang sejajar dengan dirinya karena sebaya.

Agar tidak terjadi konflik dengan teman bermain, seorang anak berusaha menyesuaikan diri dengan kepentingan teman-temannya sekaligus menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan teman bermain tersebut. Anak seusia ini cenderung lebih memihak teman-temannya daripada keluarganya. Oleh karena itu, kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.

c. Sekolah

Sekolah merupakan tempat anak bersosialisasi tentang hal-hal baru yang sebelumnya mungkin tidak ia dapatkan dalam keluarga atau teman bermain. Menurut Robert Dreeben, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal tempat seseorang akan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di sekolah, seorang siswa diperkenalkan pada norma-norma yang lebih tegas dan nyata sanksinya, misalnya siswa yang melanggar tata tertib sekolah akan dikenakan hukuman. Di rumah, seorang anak masih mengharapkan bantuan dari orangtuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugasnya harus dilakukan secara mandiri dan penuh rasa tanggung jawab.

Peranan anak lebih diarahkan pada bagaimana mencapai prestasinya dan bukan pada jenis kelamin atau status kakak atau adik. Di sekolah, anak akan mendapatkan perlakukan yang sama. Adapun di rumah anak diperlakukan khusus oleh orangtuanya. Dengan demikian, sekolah berfungsi sebagai tempat membentuk seseorang dalam tingkat kedisiplinan yang berbeda. Hal ini tidak terlepas dari kualitas pendidikan yang dan kualitas sumber daya manusia.

d. Media Massa

Berbagai pesan, peristiwa, berita dari media massa mempunyai peranan sangat penting dalam proses transformasi nilai dan norma-norma baru kepada masyarakatnya. Apa yang ditonton, didengar, dan dibaca dapat memengaruhi perilaku warga masyarakat ke arah yang bersifat positif atau negatif. Termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat bergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan. Contohnya sebagai berikut.
1. Berita-berita peperangan, film-film yang menampilkan adegan kekerasan atau sadisme diyakini telah banyak memicu peningkatan perilaku agresif pada anak-anak yang menontonnya.
2. Adegan-adegan yang berbau pornografi disinyalir telah mengikis moralitas remaja dan peningkatan pergaulan bebas serta perbuatan asusila lainnya.
3. Suguhan iklan produk-produk yang bertebaran di mana-mana telah meningkatkan sikap konsumtif dan gaya hidup masyarakat.
Berbagai media sosialisasi tersebut mungkin memberikan ajaran-ajaran yang berbeda satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan yang didapatkan dari teman bermain, sekolah, atau media massa. Misalnya, di sekolah, anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, dan menggunakan narkoba, tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.

Proses sosialisasi dalam membentuk kepribadian seseorang akan berjalan lancar apabila pesan-pesan atau ajaran-ajaran yang diperoleh dari media sosialisasi tersebut tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalankan oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh media sosialisasi yang berlainan. Selain media utama tersebut, juga terdapat media sosialisasi lain seperti institusi agama, organisasi, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat persepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan.

1.5. Jenis-Jenis Sosialisasi


Sosialisasi dapat dilakukan sejak dimulai dari lingkungan yang paling dekat hingga berkembang ke lingkungan sosial yang lebih luas. Tahapan proses sosialisasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis sebagai berikut.

a. Sosialisasi Primer (Primary Socialization)

Sosialisasi primer merupakan sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil sampai ia menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi primer berlangsung mulai balita, anak-anak, dalam teman sepermainan, dan memasuki masa sekolah. Dalam tahap tersebut, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas. Corak kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh corak kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dan anggota keluarga terdekat, teman-temannya, dan sekolah. Dengan demikian, sosialisasi primer mengacu bukan saja pada masa awal anak mulai menjalani sosialisasi, tetapi lebih dari itu. Alasannya, apapun yang diserap anak di masa tersebut akan menjadi ciri mendasar kepribadian anak setelah dewasa.

b. Sosialisasi Sekunder (Secondary Socialization)

Sosialisasi sekunder merupakan proses sosialisasi kelanjutan dari sosialisasi primer. Proses ini terjadi ketika individu dimasukkan ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Sosialisasi ini diawali dengan istilah “desosialisasi”, dan “resosialisasi.” Dalam proses “desosialisasi”, seseorang mengalami “pencabutan” identitas diri yang lama. Adapun dalam “resosialisasi”, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Misalnya, seorang murid yang sudah lulus sekolah, kemudian memasuki jenjang Perguruan Tinggi.

Menurut Goffman (1961), kedua proses tersebut biasanya berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung, dan diatur secara formal. Institusi total tersebut contohnya lembaga pemasyarakatan, rumah sakit jiwa, atau lembaga pendidikan militer.

1.6. Faktor yang Mempengaruhi Sosialisasi

Selain diperlukan adanya media, dalam sosialisasi juga terdapat faktor-faktor yang memengaruhinya sebagai berikut.
Sifat dasar, merupakan sifat yang diturunkan oleh kedua orangtuanya.
1. Lingkungan prenatal, merupakan kondisi ketika seseorang masih dalam kandungan ibunya. Pada saat ini akan terjadi hubungan psikologis yang sangat kuat antara ibu dan janin yang dikandungnya.
2. Perbedaan perorangan, sebenarnya adalah perbedaan pribadi yang dalam hal ini, setiap manusia memiliki perbedaan pada kepribadiannya.
3. Lingkungan, dalam hal ini terdapat tiga lingkungan yang mempengaruhi kepribadian seseorang, yaitu lingkungan fisik, lingkungan budaya, dan lingkungan sosial.
4. Motivasi, merupakan kekuatan dorongan pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Makin besar dorongan dalam diri seseorang untuk bersosialisasi, makin cepat terjadinya proses sosialisasi.
B. Nilai dan Norma Sosial dalam Proses Sosialisasi

Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nilai merupakan taksiran atau ukuran terhadap sesuatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Adapun nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi kehidupan bersama. Keberadaan nilai sosial memiliki fungsi yang sangat berperan dalam proses sosialisasi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Alat motivasi untuk memberi semangat pada manusia agar mewujudkan dirinya dalam perilaku sosial.
2. Sarana untuk menetapkan harga sosial. Nilai-nilai sosial digunakan untuk mengukur penghargaan sosial yang patut diberikan kepada seseorang atau golongan.
3. Petunjuk arah atau cara berpikir dan bertindak warga masyarakat secara umum diarahkan oleh nilai-nilai sosial yang berlaku.
4. Alat solidaritas yang berfungsi mendorong masyarakat untuk saling bekerja sama untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai sendiri.
5. Kontrol sosial terhadap nilai-nilai yang dapat menjadi acuan bagi setiap tindakan individu, serta interaksi antar anggota masyarakat.
6. Sebagai benteng perlindungan, karena nilai sosial merupakan tempat perlindungan yang kuat dan aman terhadap ancaman dari luar sehingga masyarakat akan senantiasa menjaga dan mempertahankan nilai sosialnya.
Norma merupakan wujud konkret dari nilai yang merupakan pedoman. Di dalamnya terdapat hal yang mengharuskan individu atau masyarakat untuk melakukan tindakan dan perilaku yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai. Norma muncul dan tumbuh dari proses kemasyarakatan sebagai hasil dari proses bermasyarakat. Pada awalnya, aturan itu dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar sehingga norma tidak boleh dilanggar. Siapapun yang melanggarnya atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma, akan memperoleh hukuman.

Norma yang ada dalam masyarakat memiliki peranan untuk mengatur, mengendalikan, memberi arah, dan memberi sanksi bagi tingkah laku masyarakat. Setiap masyarakat selalu mempunyai aturan agar tercipta suatu kondisi tertib sosial. Untuk itulah norma diperlukan, bagi setiap masyarakat yang mengharapkan dan memaksa anggotanya untuk mengikuti norma sosial yang ada. Pelaksanaan norma akan selalu dilakukan sejak anak masih kecil. Saat pertama kali anak bersosialisasi dengan orangtuanya, mereka akan diajarkan untuk mengikuti perintah orangtuanya, seperti harus membantu orangtua, tidak boleh berbohong, berbuat baik dan menyayangi orang lain, dan sebagainya. Beberapa norma yang berperan dalam proses sosialisasi di antaranya norma agama, norma hukum, norma kesusilaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.

Agama merupakan sarana penting dalam mengembangkan nilai dalam diri seseorang, khususnya jika ditanamkan sejak dini. Tanpa nilai-nilai agama, seseorang akan kehilangan jati dirinya.

Contoh Soal (UN IPS 2003) :

Nilai dalam interaksi sosial berfungsi sebagai ....

a. alat penentu bagaimana masyarakat menentukan pola pikir
b. pengendali perilaku-perilaku menyimpang
c. penentu kebudayaan dalam masyarakat
d. pendorong masyarakat untuk menentukan harga sosial
e. pedoman dalam berpikir dan berperilaku

Jawaban: e

Di dalam masyarakat, selalu ada pedoman dan landasan yang menjadi tuntunan dalam bersikap, bertindak dan berperilaku. Nilai bisa berwujud dalam kebudayaan, baik yang bersifat formal maupun informal.

C. Kepribadian

Perhatikan teman-teman di kelas Anda. Apakah mereka menunjuk kan tingkah laku yang sama dengan Anda atau teman-teman lainnya? Pasti Anda akan mendapatkan keragaman tingkah laku yang diperlihatkan oleh teman-teman Anda. Bagaimana pula dengan tingkah laku yang diperlihatkan oleh individu-individu dalam kehidupan sosial? Tentunya akan lebih kompleks daripada di kelas, bukan? Dari sekian banyak perilaku yang diperlihatkan individu-individu tersebut, biasanya ada perilaku menonjol yang diperlihatkan secara konsisten dalam kehidupan sehari-harinya sehingga menjadi ciri khas yang identik dengan individu-individu tersebut. Oleh karena itu, kita sering mendengar seseorang berkata “Tuan x sangat kasar dan pemarah, dan Tuan Y lemah lembut dan baik hati”. Itulah gambaran keragaman kepribadian yang dimiliki setiap orang dilihat dari perilakunya.

Setelah melalui berbagai proses yang diterima individu, akan terbentuk kepribadian dalam dirinya. Pada dasarnya, semua manusia yang dilahirkan mempunyai sifat yang sama. Semua bayi yang baru lahir di belahan dunia manapun mempunyai sifat sama. Perubahan sifat kepribadian orang yang berbeda-beda terjadi karena pengalaman yang diperoleh pada waktu proses sosialisasi yang berbeda pula.

Setiap individu memiliki kepribadian sebagai hasil sosialisasi sejak ia dilahirkan. Kepribadian menunjuk pada pengaturan sikap-sikap seseorang untuk berbuat, berpikir, dan merasakan, khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Untuk itulah, pembahasan kepribadian sangat menarik dan penting dalam sosiologi. Hal ini disebabkan menyangkut karakteristik dari tingkah laku sosial seseorang dan erat kaitannya dengan proses sosialisasi.

3.1. Pengertian Kepribadian

Konsep kepribadian merupakan konsep yang luas, tetapi secara sederhana istilah kepribadian mencakup karakteristik perilaku individu. Setiap individu memiliki kepribadian unik yang dapat dibedakan dari individu lain. Hal yang tidak mungkin apabila seseorang dapat memiliki banyak kepribadian.

Agar lebih memahami konsep dan pengertian tentang kepribadian yang luas tersebut, marilah kita simak batasan yang telah diberikan oleh beberapa ahli berikut.
1. Theodore R. Newcombe, menjelaskan bahwa kepribadian adalah organisasi sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
2. Roucek dan Warren, menjelaskan bahwa kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku individu.
3. Yinger, berpendapat bahwa kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.
4. Koentjaraningrat, berpandangan bahwa kepribadian adalah ciriciri watak yang diperlihatkan secara konsisten dan konsekuen sehingga seorang individu memiliki suatu identitas yang khas dan berbeda dari individu-individu lainnya.
5. Robert Sutherland (dkk), menganggap bahwa kepribadian merupakan abstraksi individu dan kelakuannya sebagaimana halnya dengan masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian kepribadian digambarkan sebagai hubungan saling mempengaruhi antara tiga aspek tersebut.
Kesimpulan dari berbagai definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kepribadian sesungguhnya merupakan integrasi dari kecenderungan seseorang untuk berperasaan, bersikap, bertindak, dan berperilaku sosial tertentu. Dengan demikian, kepribadian memberi watak yang khas bagi individu dalam kehidupan sehari-hari. Kepribadian bukanlah perilaku, namun kepribadianlah yang membentuk perilaku manusia, sehingga dapat dilihat dari cara berpikir, berbicara, atau berperilaku. Kepribadian lebih berada dalam alam psikis (jiwa) seseorang yang diperlihatkan melalui perilaku. Contohnya, jika seseorang harus menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara dua orang. Keinginannya untuk menyelesaikan perselisihan merupakan kepribadiannya. Adapun tindakannya untuk mewujudkan keinginan tersebut merupakan perilakunya. Kepribadian mencakup kebiasaan, sikap, dan sifat seseorang yang khas dan berkembang apabila berhubungan dengan orang lain.

Gambar 1. Hubungan Kebudayaan dan Kepribadian.
Ada kalanya seseorang melihat perilaku yang “membabi buta”, yakni perilaku manusia yang didasarkan pada naluri, dorongan-dorongan, refleks, atau kelakuan manusia yang tidak lagi dipengaruhi dan ditentukan oleh akal dan jiwanya. Unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan perbedaan perilaku setiap individu merupakan susunan kepribadian yang meliputi sebagai berikut.

a. Pengetahuan

Pengetahuan individu terisi dengan fantasi, pemahaman, dan konsep yang lahir dari pengamatan dan pengalaman mengenai bermacam-macam hal yang berbeda dalam lingkungan individu tersebut. Semua itu direkam dalam otak dan diungkapkan dalam bentuk perilaku.

b. Perasaan

Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu. Bentuk penilaiannya selalu bersifat subjektif karena lebih didasarkan pada pertimbangan manusiawi daripada rasional. Perasaan mengisi penuh kesadaran manusia tiap saat dalam hidupnya.

c. Dorongan Naluri

Dorongan Naluri adalah kemauan yang sudah merupakan naluri pada setiap manusia. Sedikitnya ada enam macam dorongan naluri, yaitu:
1. dorongan mempertahankan hidup;
2. dorongan untuk berinteraksi;
3. dorongan untuk meniru;
4. dorongan untuk berbakti;
5. dorongan seksual;
6. dorongan akan keindahan.
3.2. Proses Pembentukan Kepribadian

Setelah Anda mengetahui tentang adanya perbedaan kepribadian antar individu manusia, mungkin muncul persoalan tentang apakah perbedaan kepribadian tersebut merupakan pembawaan sejak lahir yang diwariskan secara genetik? Untuk memastikan jawabannya, simak dalam penjelasan tentang bagaimana proses pembentukan kepribadian.

Pada uraian sebelumnya, dikatakan bahwa kepribadian merupakan hasil sosialisasi. Proses pembentukan kepribadian melalui sosialisasi dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Sosialisasi yang dilakukan dengan sengaja melalui proses pendidikan dan pengajaran.
2. Sosialisasi yang dilakukan tanpa sengaja melalui proses interaksi sosial sehari-hari dalam lingkungan masyarakatnya.
Proses sosialisasi tersebut berlangsung sepanjang hidup manusia (sejak lahir sampai tua) mulai lingkungan keluarga, kelompok, sampai kehidupan masyarakat yang lebih luas. Melalui serangkaian proses yang panjang inilah, tiap individu belajar menghayati, meresapi, kemudian menginternalisasi berbagai nilai, norma, pola-pola tingkah laku sosial ke dalam mentalnya. Dari berbagai hal yang diinternalisasi itulah seseorang memiliki kecenderungan untuk berperilaku menurut pola-pola tertentu yang memberi ciri watak yang khas sebagai identitas diri dan terbentuklah kepribadian.

Kelompok masyarakat tempat mereka tinggal, secara sengaja atau tidak, selalu berusaha untuk mengarahkan dan mempengaruhi anggota-anggotanya untuk selalu mematuhi nilai, norma, kebiasaankebiasaan sehingga individu-individu tersebut bertingkah laku sesuai dengan harapan kelompoknya. Jadi, sesungguhnya sosialisasi itu merupakan aktivitas dua pihak, yaitu pihak yang mensosialisasi dan pihak yang disosialisasi. Dari proses tersebut, terbentuklah kepribadian yang berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat lainnya. Misalnya, kepribadian orang Sunda berbeda dengan orang Batak.

Pengalaman sosialisasi yang dilakukan masing-masing individu bisa saja berbeda. Kepribadian yang tumbuh pada masing-masing individu tidak akan mungkin sepenuhnya sama. Oleh karena itu, seseorang dapat melihat keragaman kepribadian yang ditampilkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada pribadi-pribadi yang mempuyai sifat penyabar, ramah, pemarah, egois, atau rendah diri. Semuanya itu bergantung pada penyerapan dan pemahaman serta penghayatan nilai dan norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya.

3.3. Faktor-Faktor Pembentuk Kepribadian

Adanya perbedaan kepribadian setiap individu sangatlah bergantung pada faktor-faktor yang memengaruhinya. Kepribadian terbentuk, berkembang, dan berubah seiring dengan proses sosialisasi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.

a. Faktor Biologis

Beberapa pendapat menyatakan bahwa bawaan biologis berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Semua manusia yang normal dan sehat memiliki persamaan biologis tertentu, seperti memiliki dua tangan, panca indera, kelenjar seksual, dan otak yang rumit. Persamaan biologis ini membantu menjelaskan beberapa persamaan dalam kepribadian dan perilaku semua orang. Namun setiap warisan biologis seseorang bersifat unik. Artinya, tidak seorang pun yang mempunyai karakteristik fisik yang sama, seperti ukuran tubuh, kekuatan fisik, atau kecantikan. Bahkan, anak kembar sekali pun pasti ada perbedaan itu. Perhatikan teman di sekelilingmu, adakah di antara mereka yang memiliki kesamaan karakteristik fisik?

Faktor biologis yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian adalah jika terdapat karakteristik fisik unik yang dimiliki oleh seseorang. Contohnya, kalau orang bertubuh tegap diharapkan untuk selalu memimpin dan dibenarkan kalau bersikap seperti pemimpin, tidak aneh jika orang tersebut akan selalu bertindak seperti pemimpin. Jadi, orang menanggapi harapan perilaku dari orang lain dan cenderung menjadi berperilaku seperti yang diharapkan oleh orang lain itu. Ini berarti tidak semua faktor karakteristik fisik menggambarkan kepribadian seseorang. Sama halnya dengan anggapan orang gemuk adalah periang, orang yang keningnya lebar berpikir cerdas, orang yang berambut merah wataknya mudah marah, atau orang yang cacat fisik mempunyai sifat rendah diri. Anggapan seperti itu lebih banyak disebabkan apriori masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi budaya setempat.

Perlu dipahami bahwa faktor biologis yang dimaksudkan dapat membentuk kepribadian seseorang adalah faktor fisiknya dan bukan warisan genetik. Kepribadian seorang anak bisa saja berbeda dengan orangtua kandungnya bergantung pada pengalaman sosialisasinya. Contohnya, seorang bapak yang dihormati di masyarakat karena kebaikannya, sebaliknya bisa saja mempunyai anak yang justru meresahkan masyarakat akibat salah pergaulan. Akan tetapi, seorang yang cacat tubuh banyak yang berhasil dalam hidupnya dibandingkan orang normal karena memiliki semangat dan kemauan yang keras. Dari contoh tersebut dapat berarti bahwa kepribadian tidak diturunkan secara genetik, tetapi melalui proses sosialisasi yang panjang. Salah apabila banyak pendapat yang mengatakan bahwa faktor genetik sangat menentukan pembentukan kepribadian.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mengatakan bahwa karakteristik fisik tertentu menjadi suatu faktor dalam perkembangan kepribadian sesuai dengan bagaimana ia didefinisikan dan diperlakukan dalam masyarakat dan oleh kelompok acuan seseorang.

b. Faktor Geografis

Faktor lingkungan menjadi sangat dominan dalam mempengaruhi kepribadian seseorang. Faktor geografis yang dimaksud adalah keadaan lingkungan fisik (iklim, topografi, sumberdaya alam) dan lingkungan sosialnya. Keadaan lingkungan fisik atau lingkungan sosial tertentu memengaruhi kepribadian individu atau kelompok karena manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Contohnya, orang-orang Aborigin harus berjuang lebih gigih untuk dapat bertahan hidup karena kondisi alamnya yang kering dan tandus, sementara, bangsa Indonesia hanya memerlukan sedikit waktunya untuk mendapatkan makanan yang akan mereka makan sehari-hari karena tanahnya yang subur. Suku “Ik” di Uganda mengalami kelaparan berkepanjangan. karena lingkungan alam tempat mereka mencari nafkah telah banyak yang rusak. Mereka menjadi orang-orang yang paling tamak, rakus, dan perkelahian antara mereka sering terjadi semata-mata memperebutkan makanan untuk sekadar mempertahankan hidup. Contoh lain, orang-orang yang tinggal di daerah pantai memiliki kepribadian yang lebih keras dan kuat jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pegunungan. Masyarakat di pedesaan penuh dengan kesederhanaan dibandingkan masyarakat kota.

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa faktor geografis sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, tetapi banyak pula ahli yang tidak menganggap hal ini sebagai faktor yang cukup penting dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya.

c. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku dan kepribadian seseorang, terutama unsur-unsur kebudayaan yang secara langsung mempengaruhi individu. Kebudayaan dapat menjadi pedoman hidup manusia dan alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang berkembang di masyarakat dipelajari oleh individu agar menjadi bagian dari dirinya dan ia dapat bertahan hidup. Proses mempelajari unsur-unsur kebudayaan sudah dimulai sejak kecil sehingga terbentuklah kepribadian-kepribadian yang berbeda antar individu ataupun antarkelompok kebudayaan satu dengan lainnya. Contohnya, orang Bugis memiliki budaya merantau dan mengarungi lautan. Budaya ini telah membuat orang-orang Bugis menjadi keras dan pemberani.

Walaupun perbedaan kebudayaan dalam setiap masyarakat dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, para sosiolog ada yang menyarankan untuk tidak terlalu membesar-besarkannya karena kepribadian individu bisa saja berbeda dengan kepribadian kelompok kebudayaannya. Misalnya, kebudayaan petani, kebudayaan kota, dan kebudayaan industri tentu memperlihatkan corak kepribadian yang berbeda-beda. Memang terdapat karakteristik kepribadian umum dari suatu masyarakat. Sejalan dengan itu, ketika membahas bangsa-bangsa, suku bangsa, kelas sosial, dan kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaan, daerah, ataupun kelompok sosial lainnya, terdapat kepribadian umum yang merupakan serangkaian ciri kepribadian yang dimiliki oleh sebagian besar anggota kelompok sosial bersangkutan. Namun, tidak berarti bahwa semua anggota termasuk di dalamnya. Artinya, kepribadian individu bisa saja berbeda dengan kepribadian masyarakatnya.

Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayaan masyarakat tertentu mencerminkan karakteristik kepribadian masyarakatnya.

d. Faktor Pengalaman Kelompok

Pengalaman kelompok yang dilalui seseorang dalam sosialisasi cukup penting perannya dalam mengembangkan kepribadian. Kelompok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seseorang dibedakan menjadi dua sebagai berikut.

1) Kelompok Acuan (Kelompok Referensi)

Sepanjang hidup seseorang, kelompok-kelompok tertentu dijadikan model yang penting bagi gagasan atau norma-norma perilaku. Dalam hal ini, pembentukan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh pola hubungan dengan kelompok referensinya. Pada mulanya, keluarga adalah kelompok yang dijadikan acuan seorang bayi selama masa-masa yang paling peka. Setelah keluarga, kelompok referensi lainnya adalah teman-teman sebaya. Peran kelompok sepermainan ini dalam perkembangan kepribadian seorang anak akan semakin berkurang dengan semakin terpencar nya mereka setelah menamatkan sekolah dan memasuki kelompok lain yang lebih majemuk (kompleks).

2) Kelompok Majemuk

Kelompok majemuk menunjuk pada kenyataan masyarakat yang lebih beraneka ragam. Dengan kata lain, masyarakat majemuk memiliki kelompok-kelompok dengan budaya dan ukuran moral yang berbeda-beda. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya seseorang berusaha dengan keras mempertahankan haknya untuk menentukan sendiri hal yang dianggapnya baik dan bermanfaat bagi diri dan kepribadiannya sehingga tidak hanyut dalam arus perbedaan dalam kelompok majemuk tempatnya berada. Artinya, dari pengalaman ini seseorang harus mau dan mampu untuk memilah-milahkannya.

e. Faktor Pengalaman Unik

Pengalaman unik akan mempengaruhi kepribadian seseorang. Kepribadian itu berbeda-beda antara satu dan lainnya karena pengalaman yang dialami seseorang itu unik dan tidak seorang pun mengalami serangkaian pengalaman yang persis sama. Sekalipun dalam lingkungan keluarga yang sama, tetapi tidak ada individu yang memiliki kepribadian yang sama, karena meskipun berada dalam satu, setiap individu keluarga tidak mendapatkan pengalaman yang sama. Begitu juga dengan pengalaman yang dialami oleh orang yang lahir kembar, tidak akan sama. Sebagai mana menurut Paul B. Horton, kepribadian tidak dibangun dengan menyusun peristiwa di atas peristiwa lainnya. Arti dan pengaruh suatu pengalaman bergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.

Tentang hubungan kepribadian dengan kebudayaan, sebagaimana menurut Ralph Linton bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan, sikap, dan pola perilaku. Adapun kepribadian menurut Yinger adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu. Dengan demikian, antara kepribadian dan kebudayaan terdapat hubungan sebagai hasil dari suatu proses sosial yang panjang. Dalam proses yang disebut sosialisasi itu, kepribadian atau watak tiap-tiap individu pasti mempunyai pengaruh terhadap per kembangan kebudayaan itu secara keseluruhan. Gagasan-gagasan, tingkah laku, atau tindakan manusia itu ditata, dikendalikan, dan dimantapkan pola-polanya oleh berbagai sistem nilai dan norma yang hidup di masyarakatnya.

Sebaliknya, kebudayaan suatu masyarakat turut memberikan sumbangan pada pembentukan kepribadian seseorang. Kepribadian suatu individu dalam suatu masyarakat walaupun berbeda-beda satu sama lain, dirangsang dan dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam sistem budaya dan juga oleh sistem sosial yang telah diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup, sejak masa kecilnya.

Havilland (1988) mengatakan bahwa praktik pendidikan anak bersumber dalam adat kebiasaan pokok masyarakat yang berhubungan dengan pangan, tempat berteduh dan perlindungan, dan bahwa praktik pendidikan anak pada gilirannya menghasilkan kepribadian tertentu pada masa dewasa. Dari pernyataan tersebut, terlihat bagaimana kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat memberikan pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anggota masyarakatnya.

Selain kebudayaan sendiri menanamkan pengaruhnya terhadap individu, di sisi lain individu juga mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya terhadap adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan budayanya, yang dinamakan enkulturasi. Contohnya seorang anak menyesuaikan diri dengan waktu makan dan tidur secara teratur sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya.

Sebagai hasil mempelajari dan menyesuaikan pola pikirnya dengan unsur-unsur budaya secara berkelanjutan, terbentuklah kepribadian individu yang sesuai dengan lingkungan budayanya. Semua individu yang hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu mengalami pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama pertumbuhan. Oleh karena itu, individu-individu tersebut akan menampilkan suatu watak atau kepribadian yang seragam atau dinamakan juga dengan kepribadian umum.

Dalam studi Abraham Kardinar tentang hubungan kepribadian umum dengan kebudayaan, mengutarakan bahwa, semua warga dari suatu masyarakat memiliki struktur kepribadian dasar yang sama. Alasannya, karena warga masyarakat dari suatu lingkungan tertentu cenderung menjalani latihan bersama mengenai cara buang air kecil/besar, menjalani cara menertibkan yang sama dalam masa kanak-kanak, cara menyapih yang sama, dan sebagainya. Sebagai orang dewasa, mereka cenderung mempunyai unsur-unsur kepribadian tertentu yang sama.

Dari konsep kepribadian umum, makin dipertajam lagi dalam antropologi sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan basic personality structure atau kepribadian dasar, yaitu semua unsur kepribadian yang dimiliki sebagian besar warga suatu masyarakat. Misalnya, “kepribadian Barat” memiliki ciri individualis, adapun “kepribadian Timur” lebih bersifat gotong royong.

Soerjono Soekanto (1977) mencoba melihat adanya keterkaitan antara kebudayaan dan kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu “kebudayaan khusus” (sub culture). Menurutnya, ada beberapa tipe kebudayaan khusus yang mempengaruhi kepribadian sebagai berikut.
1. Kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan. Contohnya, “jiwa berdagang” identik dengan ciri khusus orang Minangkabau, “berlaut” merupakan ciri orang Bugis.
2. ara hidup di kota dan di desa yang berbeda. Contohnya, masyarakat kota cenderung individualistis dibandingkan masyarakat desa yang kekeluargaan dan gotong royong.
3. Kebudayaan khusus kelas sosial. Contohnya, cara berpakaian orang kaya berbeda dengan orang miskin.
4. Kebudayaan khusus atas dasar agama. Contohnya, adanya berbagai mazhab melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
5. Kebudayaan khusus berdasarkan profesi. Contohnya, kepribadian seorang guru sangat berbeda dengan politikus.
Rangkuman :

a. Sosialisasi merupakan suatu proses bagaimana seorang individu belajar menghayati berbagai macam nilai, norma, sikap, dan pola-pola peri laku dalam masyarakatnya sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berpartisipasi.
b. Tahapan sosialisasi menurut George Herbet Mead adalah :
1. Tahap persiapan (Preparatory stage)
2. Tahap meniru (Play stage)
3. Tahap siap bertindak (Game stage)
4. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized stage)
c. Media sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa.
d. Sosialisasi dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.
1. Sosialisasi primer merupakan sosialisasi yang dilakukan semasa kecil, ketika ia mulai menjadi anggota masyarakat.
2. Sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi yang terjadi ketika individu mulai dikenalkan ke dalam suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat.
e. Kepribadian terbentuk setelah terjadinya proses sosialisasi, dan konsep ini diartikan sebagai karakteristik khas dari perilaku individu.

Anda sekarang sudah mengetahui Sosialisasi. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Waluya, B. 2009. Sosiologi 1 : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 138.

Pengertian Lembaga Sosial Masyarakat, Contoh, Macam-macam, Jenis, Ciri-ciri, Sifat, Peran dan fungsi, Manfaat, Keluarga, Ekonomi, Politik, Pendidikan, Agama, Sosiologi
4:20 AM
Pengertian Lembaga Sosial Masyarakat, Contoh, Macam-macam, Jenis, Ciri-ciri, Sifat, Peran dan fungsi, Manfaat, Keluarga, Ekonomi, Politik, Pendidikan, Agama, Sosiologi - Apa yang dimaksud lembaga sosial itu? Dalam bab ini, Anda akan mempelajari tentang berbagai lembaga sosial yang hidup dalam masyarakat beserta fungsi dan proses terbentuknya. Anda diharapkan mampu memahami dan mendeskripsikan berbagai lembaga sosial yang dapat menunjang kebutuhan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia merupakan makhluk yang dinamis. Kedinamisan manusia tersebut digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam hidupnya. Meskipun kebutuhannya bersifat pribadi atau kelompok, manusia tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan masyarakat karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial.

Oleh karena itu, diperlukan sesuatu yang dapat mengatur perilaku manusia dan memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat. Sesuatu yang dapat mengatur perilaku tersebut ialah lembaga sosial. Lembaga sosial (sosial institution) atau dapat disebut juga dengan pranata sosial adalah suatu himpunan norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun norma adalah sejumlah ukuran atau patokan mengenai perilaku anggota masyarakat yang dijadikan pedoman dalam mengatur kehidupan bersama. Semua norma tersebut jika berkaitan dengan pengaturan terhadap suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat, akan berkembang menjadi suatu lembaga sosial.

Manusia mempunyai kebutuhan yang bermacam-macam dan lembaga sosial lah yang memenuhi kebutuhan individu pada masyarakat. Contohnya, manusia membutuhkan pendidikan. Orang tua akan mendaftarkan anaknya pada sekolah yang dituju, kemudian mengikuti tes atau ujian masuk, mematuhi peraturan sekolah, membayar iuran pendidikan atau uang sekolah, mengikuti pelajaran, dan lain sebagainya. Semua hal yang berkaitan dengan pendidikan diatur pada lembaga pendidikan. Manusia membutuhkan nafkah atau penghasilan, lembaga ekonomi yang mengaturnya. Misalnya, bekerja, berdagang, atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya.

Gambar 1. Lembaga Sosial.
A. Pengertian Lembaga Sosial

Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat norma yang berfungsi mengatur perilaku anggota-anggotanya. Proses terbentuknya norma itu sendiri berawal dari sejumlah nilai-nilai yang terinternalisasi dalam perilaku warganya. Proses ini melalui proses yang panjang dan membutuhkan waktu lama. Norma-norma tersebut kemudian membentuk sistem norma yang kita kenal sebagai pranata sosial. Proses sejumlah norma menjadi pranata sosial disebut pelembagaan atau institusionalisasi. Oleh karena itu, pranata sosial sering disebut sebagai lembaga sosial.

Secara garis besar, munculnya lembaga sosial dapat diklasifikasikan ke dalam dua cara, yakni secara tidak terencana dan terencana. Secara tidak terencana artinya bahwa lembaga tersebut lahir secara bertahap (berangsur-angsur) dalam praktik kehidupan masyarakat. Hal ini biasanya terjadi ketika manusia dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Contohnya, dalam kehidupan ekonomi. Sistem barter (tukar barang) sudah dianggap tidak efisien, masyarakat menggunakan mata uang untuk mendapatkan barang yang diinginkan dengan cara membelinya dari orang lain.

Adapun cara terencana yaitu lembaga sosial muncul melalui suatu perencanaan yang matang oleh seorang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang. Contohnya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah membentuk Koperasi Unit Desa (KUD) (Baca : koperasi). Hal tersebut dilakukan agar petani dapat menampung hasil panen dan membelinya dengan harga yang menguntungkan petani.

Untuk lebih jelasnya, sebaiknya Anda pahami beberapa definisi mengenai lembaga sosial dari para sosiolog berikut ini.

1. Robert Melver dan C.H. Page (Soekanto, 1990: 218), lembaga sosial adalah prosedur atau tata cara yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antarmanusia yang tergabung pada suatu kelompok dalam masyarakat.
2. Leopold Von Wiese dan Becker (Soekanto, 1990: 219), lembaga sosial adalah jaringan proses hubungan antar manusia dan antar kelompok yang berfungsi memelihara hubungan itu serta pola-polanya sesuai dengan minat dan kepentingan individu serta kelompoknya.
3. W.G. Sumner (Soekanto, 1990: 218), lembaga sosial merupakan perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sikap kekal serta bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Lembaga berfungsi agar ada keteraturan dan integrasi di dalam masyarakat.
4. Koentjaraningrat (1964: 113), lembaga sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan dalam kehidupan manusia.
5. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, lembaga sosial adalah kumpulan dari berbagai cara berperilaku (usage) yang diakui oleh anggota masyarakat sebagai sarana untuk mengatur hubungan-hubungan sosial.
6. Soerjono Soekanto, lembaga sosial atau pranata sosial adalah himpunan norma dari segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
Dari uraian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa lembaga sosial berkaitan dengan seperangkat norma yang saling berkaitan, bergantung, dan saling mempengaruhi; seperangkat norma yang dapat dibentuk, diubah, dan dipertahankan sesuai dengan kebutuhan hidup; seperangkat norma yang mengatur hubungan antar warga masyarakat agar dapat berjalan dengan tertib dan teratur.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, lembaga sosial memiliki ciri-ciri antara lain adanya tujuan, dapat digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama, tertulis atau tidak tertulis, diambil dari nilai-nilai dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, adanya prasarana seperti bangunan dan lambang tertentu. Di dalam lembaga sosial akan ditemukan unsur budaya dan unsur struktural, yaitu berupa norma dan peranan sosial. Lembaga sosial dapat dikatakan sebagai suatu adat kebiasaan dalam kehidupan bersama yang mempunyai sanksi yang sistematis dan dibentuk oleh kewibawaan masyarakat.

Selain itu, menurut Harsoja lembaga sosial juga memiliki sifat-sifat umum, yaitu sebagai berikut.
1. Lembaga sosial berfungsi sebagai satu unit dalam sistem kebudayaan yang merupakan satu kesatuan bulat.
2. Lembaga sosial biasanya mempunyai berbagai tujuan yang jelas.
3. Lembaga sosial biasanya relatif kokoh.
4. Lembaga sosial dalam melakukan fungsinya sering menggunakan hasil kebudayaan material.
5. Sifat karakteristik yang ada pada lembaga sosial merupakan sebuah lambang.
6. Lembaga sosial biasanya memiliki tradisi tertulis atau lisan.
A. Suhandi berpendapat bahwa dalam suatu sistem sosial, terdapat lembaga sosial jika memiliki beberapa syarat, yaitu sebagai berikut.
1. Harus memiliki aturan atau norma yang hidup dalam ingatan atau yang tertulis.
2. Aktivitas-aktivitas bersama tersebut harus memiliki suatu sistem hubungan yang didasarkan atas norma-norma tertentu.
3. Aktivitas-aktivitas bersama tersebut harus memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang disadari dan dipahami oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan.
4. Harus memiliki peralatan dan perlengkapan.
Oleh karena itu, lembaga merupakan kelompok individu yang memiliki norma dan berhubungan secara langgeng, dan anggotanya memiliki fungsi untuk mendukung fungsi lembaga itu sendiri.

Talcott Parson menyatakan bahwa pranata sosial adalah kompleks peranan yang telah melembaga dalam sistem sosial.

Duel kehormatan adalah perkelahian satu lawan satu karena merasa atau memang sungguh-sungguh diremehkan. Duel merupakan cara yang dilembagakan bagi para kesatria abad ke-15 sampai ke-16 untuk menyelesaikan persoalan. Ketika Alexander Hamilton ditantang Aaron Burr, dia hanya mempunyai dua pilihan: melayani tantangan atau mengundurkan diri dari kehidupan umum dengan menanggung malu. Namun kini, duel sudah tidak lazim lagi diterima di masyarakat Barat ataupun di negara lain. (Sumber: Sosiologi Jilid 2, 1982)

B. Klasifikasi Lembaga Sosial

Tipe-tipe lembaga sosial dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang. Menurut Gillin dan Gillin lembaga sosial dapat diklasifikasikan antara lain sebagai berikut.
1. Crescive institutions dan enacted institutions yang merupakan klasifikasi dari sudut perkembangannya. Crescive institutions disebut juga lembaga-lembaga paling primer dan merupakan lembaga yang secara tidak disengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat. Contohnya, hak milik, perkawinan, agama, dan seterusnya. Adapun enacted institutions dengan segaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu. Misalnya lembaga utang piutang, lembaga perdagangan, dan lembaga-lembaga pendidikan, yang semuanya berakar pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
2. Dilihat dari sudut nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat, timbul klasifikasi lembaga sosial berdasarkan basic institutions dan subsidiary institutions. Basic institutions dianggap sebagai lembaga sosial yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, keluarga, sekolah-sekolah, negara dan lain sebagainya dianggap sebagai basic institutions (lembaga yang pokok). Adapun subsidiary institutions dianggap lembaga yang kurang penting. Misalnya, kegiatan-kegiatan rekreasi. Ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu lembaga sosial penting atau tidak penting, setiap kelompok masyarakat memiliki penilaian yang berbeda.
3. Dari sudut penerimaan masyarakat, lembaga sosial dapat dibedakan menjadi social sanctioned institutions (approved) dan unsanctioned institutions. Social sanctioned institutions (approved) adalah lembaga-lembaga yang diterima oleh masyarakat. Misalnya, sekolah, atau perusahaan dagang. Adapun unsanctioned institutions merupakan lembaga yang ditolak keberadaannya oleh masyarakat walaupun kadang-kadang masyarakat itu sendiri tidak berhasil memberantasnya. Misalnya, kelompok penjahat, perampok, pemeras, atau pencoleng.
4. Perbedaan antara general institutions dan restricted institutions timbul jika klasifikasi tersebut didasarkan pada faktor penyebarannya, misal agama. Agama merupakan suatu general institutions karena hampir dikenal oleh seluruh masyarakat di dunia. Adapun agama Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya, merupakan restricted institutions karena dianut oleh masyarakat-masyarakat tertentu di dunia. Misalnya, agama Islam banyak dianut oleh masyarakat di Timur Tengah, dan Indonesia, Malaysia. Adapun di Amerika dan Eropa mayoritas penduduk memeluk agama Kristen.
5. Menurut fungsinya, lembaga sosial dibedakan atas operative institutions dan regulative institutions. Operative institutions berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti lembaga industrialisasi. Adapun regulative institutions bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak lembaga itu sendiri. Suatu contoh adalah lembaga-lembaga hukum, seperti kejaksaan, atau pengadilan.
Klasifikasi lembaga-lembaga sosial tersebut menunjukkan bahwa di dalam setiap masyarakat akan dijumpai bermacam-macam lembaga sosial. Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai yang menentukan lembaga sosial manakah yang dianggap sebagai pusat dan yang dianggap berada di atas lembaga-lembaga sosial lainnya. Pada masyarakat totaliter, misalnya, negara dianggap sebagai lembaga sosial pokok yang membawahkan lembaga-lembaga lainnya seperti keluarga, hak milik, perusahaan, atau sekolah. Akan tetapi, dalam setiap masyarakat akan dijumpai pola-pola yang mengatur hubungan antar lembaga sosial tersebut.

Sistem pola hubungan-hubungan tersebut lazimnya disebut institutional configuration. Masyarakat yang homogen dan tradisional mempunyai pola hubungan yang cenderung bersifat statis. Pada masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka bagi perubahan sosial budaya, sistem tersebut sering sekali mengalami kegoncangan-kegoncangan. Hal tersebut disebabkan oleh masuknya hal-hal yang baru.

C. Peran dan Fungsi Lembaga Sosial


Setiap hal memiliki peran dan fungsinya tersendiri. Demikian pula dengan keberadaan lembaga-lembaga sosial. Peran dan fungsi lembaga sosial sangat erat dengan orientasinya. Beberapa lembaga sosial yang tumbuh dan sangat dikenal dalam kehidupan sosial adalah sebagai berikut.

3.1. Lembaga Keluarga

Pengertian luas dari keluarga adalah kekerabatan yang dibentuk atas dasar perkawinan dan hubungan darah. Kekerabatan yang berasal dari satu keturunan atau hubungan darah merupakan penelusuran leluhur seseorang, baik melalui garis ayah maupun ibu ataupun keduanya. Hubungan kekerabatan seperti ini dikenal sebagai keluarga luas (extended family) yaitu ikatan keluarga dalam satu keturunan yang terdiri atas kakek, nenek, ipar, paman, anak, cucu, dan sebagainya.

Kekerabatan ini ada yang memiliki norma atau solidaritas ke dalam yang kuat sehingga ikatan kekerabatan menjadi erat sekali. Adapun kekerabatan atas dasar perkawinan merupakan proses masuknya seseorang dalam satu ikatan keluarga, baik masuk menjadi keluarga laki-laki maupun keluarga wanita atau keduanya.

Pembentukan keluarga yang ideal yaitu untuk mendirikan rumah tangga (household) yang berada pada satu naungan tempat tinggal sehingga satu rumah tangga dapat terdiri atas lebih dari satu keluarga inti. Hal tersebut disebabkan sulitnya mendapatkan tempat tinggal bagi keluarga inti atau salah satu keluarga inti sengaja melarang keluarga inti lainnya untuk berpisah. Bentuk kekerabatan seperti ini disebut sebagai keluarga poligamous, yaitu beberapa keluarga inti dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Akan tetapi, umumnya satu rumah tangga hanya memiliki satu keluarga inti. Mereka yang membentuk rumah tangga akan mengatur ekonominya sendiri serta bertanggung jawab terhadap pengurusan dan pendidikan anak-anaknya.

Contoh Soal (UN SMA IPS, 2004) :

Fungsi pranata keluarga yang paling alamiah adalah ....

a. mendidik anak
b. mewariskan budaya
c. membantu masyarakat
d. melanjutkan keturunan
e. membahagiakan keluarga

Jawaban: d

Fungsi keluarga yaitu:
1. melanjutkan keturunan atau reproduksi;
2. afeksi;
3. sosialisasi;
4. ekonomi;
5. kontrol sosial;
6. proteksi.
Keluarga yang ideal dibentuk melalui perkawinan dan akan memberikan fungsi kepada setiap anggotanya. Di dalam keluarga, akan terbentuk tingkat-tingkat sepanjang hidup individu (stages a long the life cycle), yaitu masa-masa perkembangan individu sejak masa bayi, masa penyapihan (anak yang sedang menyusu kepada ibunya), masa kanak-kanak, masa pubertas, masa setelah nikah, masa hamil, masa tua, dan seterusnya. Perkembangan kehidupan yang demikian dapat terjadi dalam kehidupan keluarga umum. Pada setiap masa perkembangan individu dalam keluarga, akan terjadi penanaman pengaruh dari lingkungan sosial tempat individu yang bersangkutan berada. Pengaruh tersebut secara langsung berasal dari orangtuanya melalui penanaman nilai-nilai budaya yang dianut atau pengaruh lingkungan pergaulan yang membentuk pribadi bersangkutan (sosialisasi).

Suatu keluarga dapat terbentuk karena hal-hal berikut.
1. Suatu kelompok yang memiliki nenek moyang yang sama sehingga perkawinan dapat terjadi di antara mereka yang memiliki satu keturunan, disebut endogami.
2. Suatu kelompok kekerabatan disatukan oleh darah atau perkawinan. Pasangan perkawinan tidak didapat dari kelompok sendiri yang berasal dari satu keturunan atau nenek moyang, tetapi pasangan hidup diperoleh dari kelompok lain sehingga di antara dua kelompok yang berbeda terikat oleh adanya perkawinan di antara keturunannya disebut eksogami.
3. Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak. Suatu keluarga adakalanya tidak dapat memiliki keturunan sehingga pasangan hidup dapat mengadopsi anak orang lain sebagai anggota untuk pelengkap keluarga batih.
4. Pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak. Akibat adanya keinginan untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah, tidak jarang di antara mereka mempunyai anak. Di negara-negara yang menganut paham bebas (liberal), hal ini dianggap sesuatu yang lumrah. Jika pasangan hidup di luar nikah memiliki anak dan mereka dapat hidup dengan rukun tanpa adanya ikatan perkawinan disebut samen leven atau kumpul kebo. Di Indonesia, perbuatan demikian dianggap menyeleweng dari kehidupan sosial yang sekaligus melanggar nilai dan norma masyarakat, dan melanggar norma agama.
5. Satu orang dapat hidup dengan beberapa orang anak. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pasangan hidup, ayah atau ibu, berpisah yang disebabkan oleh perceraian atau salah seorang dari mereka meninggal sehingga salah seorang di antara mereka harus memelihara anaknya.
Keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil memiliki struktur yang khas, diikat oleh aturan-aturan yang ada di masyarakat yang umumnya secara ideal dibentuk melalui perkawinan. Oleh karena itu, setiap orang tidak dapat seenaknya dalam menentukan pilihan. Pasangan hidup yang diperoleh melalui perkawinan merupakan pasangan resmi yang diakui masyarakat sehingga setiap orang tidak dapat mengganti pasangannya hanya berdasarkan kebutuhan atau keinginan semata-mata. Jika hal ini terjadi di masyarakat, orang yang berbuat demikian akan tercela bahkan diasingkan dalam kehidupan sehari-hari karena dianggap melanggar norma dan nilai yang telah melembaga di masyarakat.

Di dalam kehidupan keluarga dikenal keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri atas orangtua (ayah dan ibu) dan anak-anaknya yang belum menikah. Anak sebagai anggota dari keluarga inti dapat saja merupakan anak kandung, anak tiri, atau anak angkat. Mereka bersama-sama memelihara keutuhan rumah tangga sebagai suatu satuan sosial.

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang di kenal sebagai keluarga inti (nuclear family). Keluarga memiliki fungsi sosial majemuk bagi terciptanya kehidupan sosial dalam masyarakat. Dalam keluarga diatur hubungan antar anggota keluarga sehingga tiap anggota mempunyai peran dan fungsi yang jelas. Contohnya, seorang ayah sebagai kepala keluarga sekaligus bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya; ibu sebagai pengatur, pengurus, dan pendidik anak.

Keluarga inti biasanya disebut sebagai rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai tempat dan proses pergaulan hidup. Suatu keluarga inti dianggap sistem sosial karena memiliki unsur-unsur sosial yang meliputi kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas. Jika unsur-unsur tersebut diterapkan pada keluarga inti, akan dijumpai keadaan sebagai berikut.
1. Adanya kepercayaan bahwa terbentuknya keluarga inti merupakan kodrat yang Maha Pencipta.
2. Adanya perasaan-perasaan tertentu pada diri setiap anggota keluarga batih, yang berwujud rasa saling mencintai, saling menghargai, atau rasa saling bersaing.
3. Tujuan hidup, yaitu bahwa keluarga inti merupakan suatu wadah manusia mengalami proses sosialisasi dan mendapatkan jaminan ketenteraman jiwanya.
4. Setiap keluarga inti diatur oleh kaidah-kaidah yang mengatur timbal balik antar anggota-anggotanya ataupun dengan pihak-pihak luar dari keluarga yang bersangkutan.
5. Keluarga inti dan anggota-anggotanya mempunyai kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat.
6. Anggota-anggota keluarga inti, misalnya suami dan istri sebagai ayah dan ibu, mempunyai kekuasaan yang menjadi salah satu dasar bagi pengawasan proses hubungan kekeluargaan.
7. Setiap anggota keluarga inti mempunyai posisi sosial tertentu dalam hubungan kekeluargaan, kekerabatan, ataupun dengan pihak luar.
8. Lazimnya sanksi-sanksi positif ataupun negatif diterapkan dalam keluarga tersebut bagi mereka yang patuh serta mereka yang menyeleweng.
9. Biasanya ada fasilitas untuk mencapai tujuan berkeluarga.
Misalnya, sarana untuk mencapai proses sosialisasi.

a. Perkawinan

Sebelum terbentuknya keluarga, tentu saja didahului dengan adanya perkawinan di antara calon pasangan hidup untuk mengakhiri masa gadis bagi seorang wanita atau masa bujang bagi seorang laki-laki. Pembentukan keluarga melalui perkawinan disebut keluarga konyugal, sedangkan perkawinan adalah suatu pola sosial yang telah disetujui dan dua orang yang memiliki jenis kelamin berbeda telah bertekad untuk membentuk sebuah keluarga. Perkawinan adalah suatu transaksi yang menghasilkan suatu kontrak seseorang (pria atau wanita, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil) memiliki hak secara terus menerus untuk menggauli seorang wanita atau pria secara sah. Hak ini memiliki prioritas bagi laki-laki atau wanita untuk melakukannya secara berkesinambungan, sampai wanita dianggap telah memenuhi syarat untuk memiliki dan melahirkan anak.

Selanjutnya, perkawinan adalah penerimaan status baru untuk siap menerima hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri yang sah diakui masyarakatnya dan hukum. Status baru yang diperoleh dan diumumkan biasanya melalui perayaan dengan jalan mengundang kerabat, kenalan, handai taulan, dan lain-lain yang berhubungan dengan kedua belah pihak. Perkawinan berlangsung tentu saja disertai upacara keagamaan sesuai yang dianut oleh pasangan pengantin. Mereka yang telah membentuk sebuah keluarga akan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri di kemudian hari.

Pasangan hidup yang telah berumah tangga dan membentuk keluarga batih pada dasarnya memiliki fungsi sebagai berikut.
1. Unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual secara berkesinambungan yang sah secara hukum.
2. Wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses anggota-anggota masyarakat yang baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, menaati, dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai-nilai yang berlaku.
3. Unit terkecil masyarakat yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomis.
4. Unit terkecil dalam masyarakat tempat anggota-anggotanya mendapatkan perlindungan bagi ketenteraman dan perkembangan jiwanya.
Perkawinan untuk membentuk status baru yaitu rumah tangga, yang terjadi di masyarakat idealnya secara monogami, yaitu pasangan hidup antara seorang suami dan seorang istri. Akan tetapi, di masyarakat tidak menutup kemungkinan terjadi poligami, yaitu seseorang memiliki pasangan lebih dari satu. Poligami dibagi dua: poligini yaitu seorang suami memiliki pasangan lebih dari seorang istri dan poliandri yaitu seorang istri memiliki pasangan lebih dari seorang suami. Poliandri di Indonesia dilarang dilaksanakan, selain bertentangan dengan norma agama, juga status anak yang dilahirkan oleh istri tidak jelas ayahnya.

Perkawinan tidak boleh dilangsungkan apabila terjadi perkawinan sumbang yang disebut incest,yaitu perkawinan sedarah antara kakak beradik, atau orangtua dengan anaknya. Larangan perkawinan sumbang ini sifatnya universal di setiap kelompok manusia karena dianggap melanggar norma yang berlaku.

Secara umum, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat dan tidak dibenarkan untuk dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Hidup bersama atas dasar suka sama suka yang tidak diikat oleh tali perkawinan (kumpul kebo).
2. Adanya istri simpanan bagi laki-laki, atau suami simpanan bagi wanita.
3. Melahirkan anak di luar nikah.
4. Hubungan suami istri sebelum pernikahan atau pada masa tunangan.
5. Melakukan hubungan suami istri dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya yang sah (perzinaan).
Keutuhan keluarga adakalanya mengalami perpecahan berupa perceraian, sebagai akibat hilangnya keserasian untuk mempertahankan keutuhan keluarga. Beberapa masyarakat tertentu (berhubungan dengan agama yang dianut oleh keluarga) melarang adanya perceraian karena perkawinan merupakan anugerah yang tidak boleh dipisahkan, kecuali oleh kematian. Oleh karena itu, untuk bercerai akan mengalami kesulitan, kalaupun dapat terjadi perceraian biasanya melalui prosedur yang berbelit-belit. Akan tetapi, adapula masyarakat yang membolehkan suatu keluarga mengalami perceraian. Hal ini biasanya apabila suami istri satu sama lain bersepakat untuk mengakhiri rumah tangganya sehingga perceraian dapat dilaksanakan dan masing-masing menempuh jalan hidupnya sendiri.

Persoalan akibat perceraian adalah anak dari keluarga yang bersangkutan. Mereka dapat mengikuti salah satu orangtuanya, tetapi dalam jiwa anak akan terjadi konflik batin yang dapat mengakibatkan ketidakpuasan akan kehidupan yang dihadapi. Oleh karena itu, mereka mencari penyelesaian sendiri terhadap persoalan yang dihadapinya. Tidak jarang di antara mereka terjerumus pada pergaulan negatif yang dapat merugikan diri sendiri dan merugikan lingkungan sosialnya, baik dalam bentuk penyimpangan perilaku di masyarakat maupun terjerumus dalam penyalahgunaan obat terlarang.

Di Jepang pada 1888 tercatat ada 300 perceraian dari 1000 perkawinan. Survei rumah tangga di masyarakat Cina dan India menunjukkan angka perceraian 3,3% sampai 5,5%. Usia perkawinan orang-orang desa rata-rata lebih lama daripada orang bangsawan karena ada syarat bahwa pasangan itu harus mempunyai lahan mereka sendiri. (Sumber: Sosiologi Keluarga, 2002)

b. Fungsi Keluarga

Setiap kehidupan yang terjadi di masyarakat, terutama keluarga sebagai lembaga terkecil, struktur kelembagaannya akan berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat untuk menye lesaikan tugastugas tertentu. Adapun tugas atau fungsi keluarga adalah sebagai berikut.

1) Fungsi Melanjutkan Keturunan atau Reproduksi

Pada awal terbinanya keluarga, tentu saja banyak yang mendambakan kehadiran anak, sebagai hasil perkawinan dari hubungan suami istri yang dilakukan secara sah.

2) Fungsi Afeksi

Seseorang memiliki kebutuhan dasar yang telah ditanamkan sejak dilahirkan, berupa kasih sayang, rasa cinta orang tua yang melahirkan atau yang mengasuhnya. Kebutuhan dasar yang demikian akan terus berlanjut sampai dewasa, bahkan sampai tua dan kemudian saat sebelum meninggal dunia. Kebutuhan kasih sayang atau rasa cinta dapat diperoleh dari orang tuanya atau orang lain terhadap dirinya apabila yang bersangkutan turut pula memberikan kebutuhan dasar kepada orang lain sehingga terjadi saling mengisi kebutuhan dasar.

Fungsi afeksi ini dapat berupa tatapan mata, ucapan-ucapan mesra, sentuhan-sentuhan halus, yang semuanya akan merangsang anak dalam membentuk kepribadiannya. Dengan demikian, fungsi afeksi harus dimulai dari lingkungan keluarga karena orangtua langsung berhubungan terus-menerus dengan anaknya sehingga anak akan menerima komunikasi dari orangtuanya dan merasakan adanya rangsangan rasa kasih sayang yang mereka perlukan.

3) Fungsi Sosialisasi

Keluarga merupakan sistem yang menyelenggarakan sosialisasi terhadap calon-calon warga masyarakat baru. Seseorang yang dilahirkan di suatu keluarga akan melalui suatu proses penyerapan unsur-unsur budaya yang mengatur masyarakat bersangkutan. Calon warga masyarakat baru dipersiapkan oleh orangtuanya, kemudian oleh orang lain dan lembaga pendidikan sekolah, untuk dapat menjalankan peranan dalam kehidupan bermasyarakat, di bidang ekonomi, agama, atau politik sesuai dengan kebutuhan setiap anggota masyarakat. Keluarga merupakan tempat awal terbinanya sosialisasi bagi seseorang.

Dijumpai tiga proses yang menjadi dasar hubungan antara manusia dan dunia kehidupan nya sebagai lingkungan sosial (walaupun tidak selalu berurutan), yaitu sebagai berikut.
1. Eksternalisasi adalah proses pembentukan pengetahuan latar belakang yang tersedia untuk dirinya serta untuk orang lain.
2. Objektivasi adalah proses meneruskan pengetahuan latar belakang tersebut kepada generasi berikutnya secara objektif.
3. Internalisasi adalah proses yang menjadikan kenyataan sosial yang sudah menjadi kenyataan objektif itu ditanamkan ke dalam kesadaran, terutama pada anggota masyarakat baru, dalam konteks proses sosialisasi.
c. Peran Keluarga

Seseorang tidak dilahirkan langsung menjadi anggota masyarakat, tetapi bagian dari anggota keluarga sebagai satuan unit masyarakat yang terkecil. Di dalam keluarga, seseorang akan mendapat pendidikan awal untuk mengenal lingkungan sosialnya, yang kemudian berpartisipasi di dalamnya. Hal itu dianggap sosialisasi primer untuk mempersiapkan anggota keluarga menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah suatu proses bagi individu untuk mengenal dan memahami lingkungan sosialnya secara lebih luas. Hal ini merupakan awal menjadi anggota masyarakat yang disebut juga sebagai proses internalisasi. Internalisasi adalah dasar untuk memahami sesama anggota masyarakat dan untuk memahami dunia kehidupan sosial sebagai kenyataan sosial yang penuh makna bagi seorang individu.

Proses pemahaman lingkungan sosial bagi anggota masyarakat tidak ditafsirkan secara perorangan, tetapi melihat keterlibatan setiap anggota masyarakat yang terdapat di dalamnya. Selanjutnya, seseorang akan meleburkan diri dan mengikuti kehidupan yang berlaku di tempat individu tersebut berada atau tinggal. Memahami dunia kehidupan sosial dimulai dari dunia kehidupan keluarga sebagai dunia awal bagi seseorang untuk melakukan sosialisasi. Setelah yang bersangkutan dewasa maka harus memahami dunia kehidupan yang lebih luas dari dunia sebelumnya, yang turut membentuk dan mempengaruhi kepribadiannya. Proses pemahaman lingkungan sosial tidak hanya terbatas pada lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, tetapi akan meluas ke berbagai bidang kehidupan dan bergantung pada aktivitas kehidupan seseorang.

Keluarga tidak hanya berfungsi sebagai satuan sosial yang menyelenggarakan sosialisasi, tetapi juga sebagai satuan yang memberikan kepuasan emosional dan rangsangan perasaan para anggotanya. Keluarga merupakan lembaga atau pranata yang besar pengaruhnya terhadap sosialisasi anak.

Kondisi demikian menyebabkan pentingnya peranan keluarga, yaitu sebagai berikut.
1. Keluarga batih merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi langsung secara tetap dan berkesinambungan. Dengan demikian, perkembangan anak dapat diikuti secara saksama oleh kedua orangtuanya, dan kepribadian anakpun dapat lebih mudah dibentuk dalam tahap sosialisasi primer. Perhatian yang besar orangtua terhadap anak-anaknya dapat mendorong mereka berprestasi di sekolah.
2. Orangtua yang berpandangan maju memiliki motivasi yang kuat dalam mendidik anaknya. Anak diharapkan dapat memiliki status dan peran yang baik di masyarakat.
3.2. Lembaga Ekonomi

Cabang ekonomi adalah lembaga-lembaga yang berkisar pada lapangan produksi, distribusi, konsumsi (pemakaian) barang-barang dan jasa yang diperlukan bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Setiap masyarakat akan menyusun pola pemenuhan kebutuhan ekonominya yang disebut konsumsi atau pengeluaran pendapatannya berupa makanan, pakaian, perumahan yang harus tersedia agar mereka dapat bertahan hidup. Setiap pemenuhan kebutuhan tidak selamanya dapat dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri, adakalanya memerlukan kelompok masyarakat lain. Oleh karena itu, timbullah proses tukar-menukar barang-barang kebutuhan yang prosesnya dimulai dari sistem barter, kemudian penggunaan uang sebagai alat tukar yang sah sesuai dengan harga yang disepakati bersama.

Menelaah ekonomi melalui sosiologi dapat dikaji dengan pendekatan struktural, yakni melihat relasi atau hubungan antara subjek dan objek atau komponen-komponen yang merupakan bagian dari suatu sistem pemenuhan kebutuhan. Struktur adalah pola dari berbagai sistem relasi. Ekonomi akan melibatkan berbagai sistem yang terdapat di dalamnya, termasuk hubungan antar manusia yang terlibat dalam proses ekonomi.

Dengan demikian, unsur manusia sebagai unsur sosial akan selalu terlibat dalam suatu proses produksi, distribusi, serta konsumsi barang dan jasa. Hal ini akan menjadi suatu permasalahan struktural dalam sosial-ekonomi karena perekonomian masyarakat akan melibatkan hubungan antarmanusia, baik sebagai konsumen maupun sebagai produsen, yang juga merupakan relasi sosial sehingga masalah sosial ekonomi mencakup antara lain sebagai berikut.
1. Pola relasi antara manusia sebagai subjek dan sumber kemakmuran ekonomi, seperti alat produksi, fasilitas dari negara, perbankan, dan kenyataan sosial. Adapun masalah struktural dalam ekonomi akan berkisar pada bagi hasil, sewa-menyewa, keuntungan, pinjaman ke bank, dan lain-lain.
2. Pola relasi antara manusia sebagai subjek dan hasil produksi, meliputi masalah distribusi hasil, masalah penghasilan yang didapat dengan prestasi yang dicapai.
3. Pola relasi antar subjek sebagai komponen sosial ekonomi sehingga merupakan mata rantai dalam sistem produksi.
Dengan demikian, proses produksi, distribusi, ataupun konsumsi barang dan jasa akan selalu melibatkan subjek atau pihak lain sehingga lembaga ekonomi tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek pendukungnya, yaitu manusia yang terlibat di dalamnya.

a. Produksi

Produksi adalah proses yang diorganisasikan secara sosial yang di dalamnya barang dan jasa diciptakan atau dihasilkan. Pada tahap produksi, lingkungan alam digarap dan diubah oleh hasil kerja manusia yang melibatkan segi fisik dan berbagai perangkat teknologi serta unsur-unsur sosial yang terdapat di dalamnya. Proses produksi dapat pula dilakukan secara perorangan ataupun kelompok, bergantung pada tujuan dari hasil produksi atau barang yang dibutuhkan sehingga akan menyangkut berbagai kepentingan. Kepentingan tersebut dapat menyangkut individu ataupun kelompok. Barang atau hasil produksi yang merupakan hasil kerja akan menembus berbagai jaringan sosial di masyarakat sehingga memiliki nilai tersendiri.

b. Distribusi

Manusia selalu berhubungan dengan manusia lain guna memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Kebutuhan tersebut baik untuk dikonsumsi ataupun ditukar maka terbentuklah konsep distribusi, yaitu proses alokasi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat. Barang atau jasa tersebut dapat digunakan sendiri atau ditukar untuk melengkapi kebutuhan akan barang dan jasa yang tidak diperoleh di lingkungannya.

c. Konsumsi

Konsumsi merupakan suatu pengeluaran dari pendapatan yang diperoleh seseorang, masyarakat, atau lembaga tertentu untuk dibelanjakan terhadap barang atau hal yang dibutuhkan. Pengeluaran tersebut dapat berupa belanja rumah tangga, belanja perusahaan, belanja pemerintah, dan lain-lain yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan.

Pemenuhan kebutuhan akan barang dan jasa dapat diperoleh dari masyarakat lain yang sengaja melakukan produksi. Lalu terjadi distribusi yang hasilnya diperoleh untuk memenuhi setiap orang, masyarakat, atau lembaga yang membutuhkannya.

3.3. Lembaga Politik

Istilah politik adalah kegiatan manusia yang berkenaan dengan pengambilan dan pelaksanaan keputusan. Politik merupakan suatu aspek kehidupan sosial yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap orang di dalam suatu negara. Politik pada umumnya disamakan dengan penggunaan pengaruh, perjuangan kekuasaan, dan persaingan di antara individu dan kelompok atas alokasi ganjaran atau nilai-nilai di dalam masyarakat. Politik juga mencakup proses pengendalian sosial, termasuk lingkungan dan pencapaian tujuan bersama.

Lembaga politik adalah suatu pola tingkah laku manusia yang sudah mapan, yang terdiri atas interaksi sosial dan tersusun di dalam suatu kerangka nilai yang sesuai. Pranata politik dibentuk berdasarkan konstitusi dokumen-dokumen dasar atau beberapa kebiasaan sehingga terbentuk struktur dan proses formal legislatif, eksekutif, adminitratif, dan hukum. Lembaga politik menentukan hasil-hasil dalam proses politik dengan penetapan batas-batas kekuasaan, yang digunakan di dalamnya dengan mempengaruhi isi dan arah komunikasi politik. Mengkaji lembaga politik dapat menggunakan latar belakang sejarah dan perundang-undangan yang berlaku. Memahami sejarah perkembangan lembaga politik akan memberikan gambaran yang berguna bagi penelaahan struktur-struktur pemerintahan. Adapun perundang-undangan memberikan dasar hukum bagi tingkah laku sosial yang terjadi di masyarakat.

Analisis lembaga politik sekarang ini lebih banyak difokuskan pada masalah wewenang kekuasaan dan keabsahan yang terdapat di dalamnya.

Lembaga politik dapat dipahami apabila kita mengenal sosiologi politik, yang artinya merupakan studi tentang pranata-pranata dan proses politik di dalam lingkungan sosial. Sosiologi politik mempelajari pengaruh gejala politik dan pengaruh aspek-aspek lain dari masyarakat. Pendekatan masyarakat secara menyeluruh (makro) berhubungan dengan dasar-dasar kekuasaan masyarakat, pengaruh adanya pertentangan (konflik) dari suatu kelas sosial tertentu dengan kelompok- kelompok lain terhadap lembaga politik, dan pengaruh timbal balik antara lembaga-lembaga politik dan perilaku stratifikasi (kelas) sosial serta kelompok. Pendekatan secara sempit terhadap masyarakat (sempit) dalam sosiologi politik dipusatkan pada pranata-pranata politik tertentu seperti organisasi sosial, yang di dalamnya termasuk tatanan sosial formal dan informal, pola-pola kepemimpinan, metode pengendalian konflik, dan hubungan dengan organisasi-organisasi lainnya.

Lembaga politik memiliki fungsi untuk memelihara ketertiban dalam negeri dan menjaga keamanan luar negeri, mengusahakan kesejahteraan umum, dan mengatur proses politik. Lembaga politik bertujuan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan dalam sebuah negara. Oleh karena itu, dalam menjalankan sebuah negara diperlukan kekuasaan dari pemerintah yang dapat melindungi kepentingan rakyat dan kesejahteraan umum dari berbagai tekanan dan rongrongan pihak yang ingin mengacaukan kehidupan masyarakat. Rakyat perlu mendapatkan rasa aman dan tenteram agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu, perlu adanya kesadaran politik dari setiap warga negara. Kesadaran politik ialah apabila seluruh warga negara menyadari kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Kepentingan negara tidak sama dengan kepentingan pemerintah karena negara tidak hanya dibentuk oleh pemerintah, tetapi oleh seluruh warga negara. Di sinilah pentingnya kesadaran politik, bagi negara untuk semua warga negara atau rakyat.

3.4. Lembaga Pendidikan

Pendidikan mulai diterapkan sejak bayi berada dalam kandungan ibunya. Pendidikan keluarga pun mulai dilaksanakan sebagai pendidikan yang paling awal diterima dari lingkungan si bayi. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang diselenggarakan setiap orang dewasa atau orangtua kepada orang lain sejak yang bersangkutan dilahirkan. Orangtua akan mengajarkan anaknya berjalan, berbicara, dan sopan-santun. Proses sosialisasi merupakan proses awal untuk mengenal lingkungan sosial, kemudian dipersiapkan untuk meneruskan nilai tradisi atau norma yang berlaku di masyarakat jika yang bersangkutan siap menerima.

Penyelenggaraan pendidikan sekolah dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pendidikan sekolah dan luar sekolah. Pada bagian tersebut akan dikaji mengenai pendidikan sekolah untuk proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, mereka berhak melanjutkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, baik melalui jalur pendidikan umum, kedinasan, maupun kejuruan sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 2 tahun 1989. Begitu pula halnya anak yang memiliki kelainan, baik fisik maupun mental, berhak mendapatkan pendidikan luar biasa.

Pada prinsipnya, pendidikan hampir sama dengan proses sosialisasi terhadap anak. Selain itu, pendidikan sekolah merupakan proses sosialisasi, media transformasi pengetahuan dasar dari setiap bidang ilmu, dan mensosialisasikan kebudayaan kepada komunitas masyarakat, terutama generasi muda, dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

a. Fungsi Pendidikan

Pendidikan memiliki fungsi mempertahankan atau melestarikan sistem nilai yang berlaku. Pendidikan juga dituntut untuk dapat berperan penuh dalam mempercepat perubahan sosial. Nilai dan budaya diwariskan kepada generasi penerus, salah satunya melalui pendidikan sekolah. Warisan nilai dan budaya yang diwariskan dapat berupa perilaku untuk membentuk kepribadian yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa dengan tidak melepaskan diri dari nilai dan norma yang sesuai dengan identitas dan jati diri bangsa.

Pendidikan sekolah memegang peran penting dalam proses perubahan di masyarakat yaitu mengembangkan kehidupan masyarakat agar lebih baik. Anak didik yang mendapat pengetahuan diharapkan dapat memacu kehidupan bangsa yang lebih baik dan menyongsong kemajuan masyarakat yang dicita-citakan.

b. Perkembangan Lembaga Pendidikan

Keluarga merupakan lembaga pendidikan dan sosialisasi paling awal bagi seseorang. Semakin berkembang kehidupan masyarakat, semakin penting peran lembaga yang dapat mendidik generasi mudanya untuk melanjutkan sistem nilai dan budaya yang dianut sehingga muncullah lembaga pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah dalam masyarakat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Demi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, pada setiap saat kurikulum pendidikan ditinjau kembali dan disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang terbaru agar tidak terjadi ketertinggalan kebudayaan (culture lag).

Hubungan pendidikan dengan perkembangan masyarakat yaitu perkembangan pendidikan dalam masyarakat selalu mengalami perubahan. Dalam hal tersebut terdapat empat tahapan perkembangan pendidikan yang meliputi hal-hal berikut.

1) Pendidikan Masyarakat Tanpa Aksara

Proses belajar melalui keluarga, yakni proses pendewasaan anak diserahkan kepada orangtuanya. Anak belajar berdasarkan kebiasaan orangtua sehingga segala kemampuan yang dimiliki orangtua akan diwariskan kepada anak, seperti keterampilan yang berhubungan dengan produksi, ekonomi, atau mensosialisasikan kehidupan masyarakat. Sebagai pengajar selain orangtua dapat juga berasal dari anggota keluarga yang lebih tua dan dianggap telah dewasa, yang mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki kepada anggota keluarga yang lebih muda.

2) Pendidikan di Luar Pendidikan Keluarga

Pendidikan keluarga merupakan proses awal anak melakukan sosialisasi. Anak mengetahui tradisi atau nilai budaya yang dimiliki masyarakat diajarkan oleh orang tertentu. Komunitas masyarakat mendidik generasi mudanya melalui orang yang dipercaya untuk menangani hal tersebut terutama yang berhubungan dengan pewarisan nilai budaya yang disampaikan secara lisan, begitu juga pendidikan keterampilan dan kepercayaan yang dianut sebagai milik masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab masyarakat berkembang sesuai dengan pelestarian nilai budaya yang dimiliki pada generasi mudanya.

3) Pendidikan terhadap Masyarakat yang Semakin Kompleks

Dewasa ini, kehidupan masyarakat semakin berkembang, jenis-jenis pekerjaan mulai ditangani secara khusus oleh orang-orang tertentu (ahli) atau keterampilan tertentu hanya dapat dimiliki seseorang melalui hasil belajar. Setiap jenis pekerjaan mulai ditangani oleh orang yang benar-benar dapat menjalankannya. Pendidikan anak diserahkan kepada lembaga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, yaitu pendidikan sekolah. Dengan demikian, masyarakat memerlukan pendidikan sekolah untuk menanamkan sikap, memberikan keterampilan-keterampilan yang diperlukan guna memelihara, mengembangkan, dan menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang terdapat di masyarakat sehingga lulusan pendidikan sekolah dapat bekerja menempati lembaga yang terdapat di masyarakat.

Kurikulum di sekolah mulai diperhitungkan sehingga peran guru diperlukan untuk mendidik dan mengajar di sekolah. Agar tujuan masyarakat terpenuhi, disusun dan dipusatkan pada pengetahuan serta pengembangan bahasa, pengetahuan umum, dan falsafah, sebagai tambahannya diajarkan tata susila, hukum, dan agama.

4) Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat yang Lebih Maju

Kehidupan masyarakat menjadi sangat kompleks pada berbagai bidang kehidupan. Setiap warga masyarakat terspesialisasi terhadap pekerjaannya. Setiap jenis pekerjaan diserahkan kepada ahlinya. Masyarakat tersebut menunjukkan ciri sebagai masyarakat industri atau masyarakat modern. Pendidikan setelah pendidikan keluarga seutuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, yaitu pendidikan sekolah. Selain itu, bermunculan pendidikan luar sekolah yang mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu, seperti kursus komputer, montir, dan bahasa. Kurikulum pada setiap jenjang yang ada dibakukan secara nasional, sesuai dengan kebutuhan negara berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pendidikan sekolah telah menyebar dan meluas ke berbagai pelosok tanah air sehingga pendidikan sekolah memiliki peran yang penting dalam meningkatkan perubahan sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa sekolah tidak hanya sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan pada setiap lulusannya, tetapi sekolah merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan sekolah membekali anak didiknya dengan pengetahuan yang berguna agar setiap lulusannya dapat hidup mandiri terutama pada pendidikan yang bersifat kejuruan. Adapun pendidikan umum mengharapkan siswanya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di samping membekali dengan kemampuan atau keterampilan dasar.

Masyarakat modern memandang pendidikan sekolah sebagai pendidikan pokok dalam mendidik generasi penerusnya. Oleh karena itu, fungsi sekolah dalam masyarakat modern, yaitu:
1. pengawasan (custodial care),
2. penyeleksi peran sosial (social role selection),
3. indoktrinasi (indoktrination),
4. pendidikan (education).
Pendidikan sekolah bagi pengembangan industri akan menghasilkan beberapa hal, yaitu:
1. ilmu pengetahuan (knowledge),
2. keterampilan (skills),
3. jasa pengawasan (culstodial care),
4. sertifikasi (sertification),
5. kegiatan komunitas (community activity).
Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha untuk mencetak, memperoleh, dan mengembangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan negara.

Pendidikan sekolah dilaksanakan oleh anak yang telah cukup usianya, yaitu 6 tahun berhak untuk mengikutinya dan anak yang berusia 7 tahun wajib mengikutinya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun bertujuan agar setiap anak usia sekolah (6–15 tahun) wajib mengikuti pendidikan yang diselenggarakan di SD selama 6 tahun dan di SLTP selama 3 tahun. (Sumber: Sosiologi Pembangunan: Kesenjangan dan Pembangunan, 1992)

Contoh Soal (UN SMA IPS, 2001) 2 :

Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan disebut ....

a. basic institution
b. kin ship institution
c. scientific institution
d. economic institution
e. education institution

Jawaban: e

Pranata adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan, berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Salah satu fungsi pranata menurut J.L. Gillin dan S.F. Nade adalah memenuhi keperluan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, yaitu educational institutions.

Pada usia 18 tahun, seorang pemuda Amerika menghabiskan waktunya lebih banyak menonton televisi daripada pergi ke sekolah. Televisi menyuguhkan program yang lebih menarik daripada mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Televisi juga menyajikan beberapa program serius, seperti acara yang berjudul Sesame Street, yang dirancang untuk mendidik anak dalam bentuk film kartun. Namun pada 1983, pemerintah Reagan mengeluarkan kebijakan “penghapusan peraturan” maka Komisi Komunikasi Pemerintahan Federal menghentikan siaran acara anak-anak dalam bentuk film kartun dan menggantikannya dengan siaran-siaran yang bukan film katun. (Sumber: Sosiologi Jilid 1, 1999)

3.5. Lembaga Agama

Manusia menjalani kehidupan bersama dengan manusia lain. Manusia memerlukan adanya kerukunan sehingga diperlukan suatu pedoman yang dapat mengaturnya. Pedoman tersebut dapat berupa aturan tertulis ataupun pedoman yang berdasarkan agama-agama yang dianut setiap warga masyarakat. Setiap agama mengatur hubungan antar manusia yang juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sehingga agama merupakan pedoman hidup yang kekal.

Kehidupan manusia di seluruh dunia pada umumnya menghendaki adanya kerukunan dan kedamaian satu sama lain. Agar penganut agama satu sama lain dapat saling menghargai, dan saling menghormati dalam pergaulan hidup sampai akhir zaman, di antara mereka diperlukan adanya upaya saling mengenal; serta adanya tanggapan pikiran, sikap, dan perilaku masing-masing, baik tentang latar belakang yang berbeda maupun antar agama dan budaya masing-masing.

Sebagai sebuah lembaga sosial, agama berarti sistem keyakinan dan praktik keagamaan yang penting dari masyarakat, yang telah dibakukan dan dirumuskan serta dianut secara luas dan dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan dan benar. Asosiasi agama merupakan kelompok orang yang terorganisasi, yang secara bersama-sama menganut keyakinan dan menjalankan praktik suatu agama.

Sebagaimana lembaga-lembaga lainnya, agama juga memiliki fungsi atau peran. Peran lembaga agama di bidang sosial adalah sebagai penentu, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Peran agama sebagai sosialisasi individu akan tampak secara nyata pada saat individu tumbuh menjadi dewasa. Pada saat itu, individu memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitasnya dalam masyarakat dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Pendidikan agama merupakan tanggung jawab dari orangtua untuk mengenalkan, memberikan contoh, dan menanamkan ajaran-ajaran moral kepada anak-anaknya. Agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, anak harus diajarkan dan diberikan contoh untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah-Nya.

Adapun fungsi lembaga keagamaan menurut Bruce J. Cohen, yaitu:
1. bantuan terhadap pencarian identitas moral;
2. memberikan penafsiran-penafsiran untuk membantu memperjelas keadaan lingkungan fisik dan sosial seseorang;
3. peningkatan kadar keramahan bergaul, kohesi sosial, dan solidaritas kelompok.
Rangkuman :

a. Konflik terjadi karena adanya perbedaan atau kesalahpahaman antara individu atau kelompok masyarakat yang satu dan individu atau kelompok masyarakat yang lainnya.
b. Konflik merupakan proses sosial yang akan terus terjadi dalam masyarakat, baik individu atau kelompok, dalam rangka perubahan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara menentang lawannya. Adapun kekerasan merupakan gejala yang muncul sebagai salah satu efek dari adanya proses sosial yang biasanya ditandai oleh adanya perusakan dan perkelahian.
c. Indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut.
1. Demonstrasi (a protest demonstration)
2. Kerusuhan
3. Serangan bersenjata (armed attack)
4. Jumlah kematian
Anda sekarang sudah mengetahui Lembaga Sosial. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Waluya, B. 2009. Sosiologi 3 : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 146.

Pengertian Interaksi Sosial Asosiatif dan Disosiatif, Bentuk-bentuk, Contoh, Pola, Faktor, Keteraturan, Proses, Macam-macam, Dinamika, Teori, Sosiologi
4:04 AM
Pengertian Interaksi Sosial Asosiatif dan Disosiatif, Bentuk-bentuk, Contoh, Pola, Faktor, Keteraturan, Proses, Macam-macam, Dinamika, Teori, Sosiologi - Pernahkah Anda membayangkan jika harus hidup tanpa ada orang lain? Mungkin Anda tidak akan dapat hidup seperti sekarang ini. Suatu penelitian pernah dilakukan terhadap seorang anak yang diisolasi dari manusia lain. Anak tersebut disekap dalam suatu ruangan tanpa dikenalkan dengan dunia luar, dan hanya diberi makan minum. Ternyata dalam waktu yang cukup lama, si anak tersebut tidak tahu cara untuk makan, berbicara, dan menyapa. Akibatnya anak tersebut tidak berperilaku seperti manusia. Lama kelamaan karena anak tersebut tidak mampu beradaptasi dalam mempertahankan hidupnya, anak tersebut kemudian meninggal.

Pada bab ini Anda akan mempelajari interaksi kehidupan manusia yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran sesamanya. Hal ini membuktikan hakikatnya sebagai makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan manusia lain. Hubungan yang berlangsung tersebut menghasilkan keteraturan dan dinamika sosial.

A. Interaksi Sosial

Manusia memiliki keinginan untuk bergaul, dan dalam pergaulannya terdapat suatu hubungan saling mempengaruhi sehingga cenderung menimbulkan sikap saling membutuhkan. Terdapat beberapa perilaku yang berhubungan dengan interaksi sosial sebagai jalan untuk mencapai tujuan manusia sebagai makhluk sosial. Sebelum membahas tentang interaksi sosial, terlebih dahulu Anda harus mengenal tindakan sosial yang berasal dari tindakan setiap individu. Hal ini dapat memberikan corak terhadap tindakan sosial itu sendiri ataupun interaksi sosial yang terjadi.

Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang memiliki arti bagi dirinya yang diarahkan pada tindakan orang lain. Tindakan sosial yang dimulai dari tindakan individu-individu memiliki keunikan atau ciri tersendiri. Namun, sebagai makhluk sosial, tindakan manusia seunik apapun tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosialnya. Tindakan apapun yang kita lakukan bisa jadi mempengaruhi atau dipengaruhi oleh orang-orang yang berada di sekitar kita.

Mengacu pada panduan Max Weber (1864–1920), tindakan sosial dibedakan menjadi empat tipe tindakan, yaitu sebagai berikut.

1). Rasionalitas Instrumental

Tindakan ini merupakan tindakan sosial murni, yang menunjukkan bahwa tindakan dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dan tujuan yang akan dicapai (bersifat rasional). Contohnya, seorang siswa memutuskan untuk membeli komputer daripada sepeda motor. Alasannya, komputer lebih menunjang kegiatan belajarnya. Kemudian, ia memilih jenis dan spesifikasi komputer yang harganya terjangkau, sesuai dengan uang yang dimilikinya. Contoh lain, seorang penyanyi yang beraksi di hadapan penggemarnya. Dengan berbagai aksinya tersebut diharapkan penonton dapat puas melihatnya.

2). Rasionalitas Berorientasi Nilai

Tindakan ini dilakukan dengan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang dicapai tidak terlalu dipertimbangkan, yang penting tindakan tersebut baik dan benar menurut penilaian masyarakat. Contohnya, Anda menolong teman yang sedang kesusahan, dan tujuan menolong jelas bukan untuk Anda, tetapi manfaatnya dapat dirasakan jika Anda sedang merasakan kesusahan dan mendapatkan pertolongan orang lain. Tolong-menolong merupakan nilai yang baik dalam masyarakat. Contoh lainnya, orang yang sedang beribadah hanya akan memikirkan tujuan, yaitu agar ibadahnya dapat diterima oleh Tuhan Yang Mahakuasa.

3). Tindakan Afektif

Tindakan ini dilakukan dengan dibuat-buat dan didasari oleh perasaan atau emosi dan kepura-puraan seseorang. Tindakan ini tidak dapat dipahami atau irrasional. Contohnya, seseorang mendapat tawaran untuk melakukan pekerjaan, karena orang tersebut ingin mendapat perhatian (pujian) orang lain, ia menyanggupi pekerjaan tersebut yang sebetulnya ia tidak dapat melakukannya. Contoh lain, seorang siswa berteriak sambil melompat-lompat dengan tangan ke atas saat diketahui dirinya lulus masuk perguruan tinggi yang diinginkannya.

4). Tindakan Tradisional

Tindakan ini didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang-orang terdahulu, tanpa per hitungan secara matang, dan sama sekali tidak rasional. Contohnya, seorang pedagang untuk menjaga uang hasil dagangannya disimpan bersama-sama dengan bawang putih, bawang merah, kemenyan, dan lainnya dengan maksud agar uangnya tidak hilang karena diambil makhluk halus. Contoh lain, misalnya upacara tradisional seringkali tidak dapat diterima secara logika, tetapi masyarakat tetap melakukannya. Tindakan sosial pada diri seseorang baru terjadi apabila tindakan tersebut dihubungkan dengan orang lain. Tindakan seseorang kadangkala tidak digolongkan ke dalam tindakan sosial. Misalnya, seseorang yang sedang melamun dengan membayangkan dirinya sebagai seorang artis. Ia tersenyum karena dalam bayangannya banyak sekali hal yang ia lakukan. Walaupun demikian, tindakan orang tersebut bukan merupakan tindakan sosial.

Ilmu pengetahuan telah mengubah pola pikir seseorang menjadi rasional. Berpikir berdasarkan rasio dan pertimbangan-pertimbangan rasional. Hal ini bisa disebut sebagai rasionalitas instrumental masyarakat modern.

1.1. Pengertian Interaksi Sosial


Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu berhubungan antara yang satu dan yang lainnya, sejak bangun pagi hingga tidur malam. Hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial dapat dicirikan dengan adanya tindakan untuk berhubungan. Tindakannya tersebut dapat memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku individu lain, atau sebaliknya. Tindakan seperti ini dinamakan interaksi sosial. Interaksi sosial akan menyebabkan kegiatan hidup seseorang semakin bervariasi dan kompleks.

Interaksi sosial merupakan intisari kehidupan sosial. Artinya, kehidupan sosial dapat terwujud dalam berbagai bentuk pergaulan. Melakukan bersalaman, menyapa, berbicara dengan orang lain, sampai perdebatan yang terjadi di sekolah merupakan contoh interaksi sosial. Pada gejala seperti itulah, kita menyaksikan salah satu bentuk kehidupan sosial.

Sejak kapan manusia melakukan interaksi sosial? Sejak manusia lahir ke dunia, proses interaksi sudah mulai dilakukan walaupun terbatas pada hubungan yang dilakukan seorang bayi terhadap ibunya. Interaksi sosial erat kaitannya dengan naluri manusia untuk selalu hidup bersama dengan orang lain dan ingin bersatu dengan
lingkungan sosialnya. Naluri ini dinamakan gregariousness. Interaksi dapat terjadi apabila salah seorang (individu) melakukan aksi terhadap orang lain dan kemudian mendapatkan balasan sebagai reaksinya. Jika salah satu pihak melakukan aksi dan pihak yang lain tidak melakukan reaksi, interaksi tidak akan terjadi. Misalnya, seseorang berbicara dengan patung atau gambar maka tidak akan menimbulkan reaksi apapun. Oleh karena itu, interaksi sosial dapat terjadi apabila dua belah pihak saling berhubungan dan melakukan tindakan timbal balik (aksi-reaksi).

Dari pengertian tersebut, dapat digarisbawahi bahwa interaksi sosial memiliki dua syarat utama, yaitu:
1. adanya kontak sosial, aksi-reaksi yang meliputi kontak primer melalui berhadapan langsung (face to face) dan kontak sekunder, yaitu kontak sosial yang dilakukan melalui perantara, seperti melalui telepon, orang lain, dan surat kabar;
2. adanya komunikasi sosial, baik langsung (tanpa perantara) maupun tidak langsung, yaitu melalui media komunikasi. Tidak selamanya kontak diikuti oleh komunikasi. Contohnya ketika akan bicara maka seseorang akan bertemu dengan lawan bicaranya. Berarti untuk berkomunikasi, seseorang harus melakukan kontak terlebih dulu.
1.2. Faktor-Faktor Interaksi Sosial

Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang juga sedang menatap Anda, tetapi kemudian berlalu begitu saja? Tentu pernah. Pada kejadian tersebut terjadi peristiwa kontak (saling memandang), tetapi tidak terjadi komunikasi. Adapun yang mendorong ter jadinya interaksi sosial dipengaruhi (digerakkan) oleh faktor-faktor dari luar individu.

Terdapat empat faktor yang menjadi dasar proses interaksi sosial, yaitu sebagai berikut.

a. Imitasi

Berarti meniru perilaku dan tindakan orang lain. Sebagai suatu proses, imitasi dapat berarti positif apabila yang ditiru tersebut adalah perilaku individu yang baik sesuai nilai dan norma masyarakat. Akan tetapi, imitasi bisa juga berarti negatif apabila sosok individu yang ditiru adalah perilaku yang tidak baik atau menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Contohnya sebagai berikut.
1. Seorang siswa meniru penampilan selebritis yang ada di televisi, seperti rambut gondrong (panjang), memakai anting, memakai gelang dan kalung secara berlebihan. Tindakan seperti itu dapat mengundang reaksi dari masyarakat yang menilai penampilan itu sebagai urakan ataupun tidak sopan.
2. Seorang balita mulai mengucapkan kata-kata yang diajari ayah atau ibunya.
Terdapat beberapa syarat bagi seseorang sebelum melakukan imitasi, yaitu:
1. adanya minat dan perhatian yang cukup besar terhadap hal yang akan ditiru;
2. adanya sikap mengagumi hal-hal yang diimitasi;
3. hal yang akan ditiru cenderung mempunyai penghargaan sosial yang tinggi.
b. Sugesti

Sugesti merupakan suatu proses yang menjadikan seorang individu menerima suatu cara atau tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak mengikuti pandangan itu dan menerimanya secara sadar atau tidak sadar tanpa berpikir panjang. Misalnya, seorang siswa bolos sekolah karena diajak temannya bermain. Tanpa diamati manfaat nya, ajakan tersebut diterima dan dilaksanakannya.

Sugesti biasanya dilakukan oleh orang-orang yang berwibawa atau memiliki pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Akan tetapi, sugesti dapat pula berasal dari kelompok besar (mayoritas) terhadap kelompok kecil (minoritas) ataupun orang dewasa terhadap anak-anak. Cepat atau lambatnya proses sugesti ini sangat bergantung pada usia, kepribadian, kemampuan intelektual, dan keadaan fisik seseorang. Misalnya, seorang kakak akan lebih mudah mengan jurkan adiknya untuk rajin belajar agar menjadi anak yang pintar, daripada sebaliknya.

Sugesti dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Sugesti kerumunan (crowd suggestion) adalah penerimaan yang bukan didasarkan pada penalaran, melainkan karena keanggotaan atau kerumunan. Contohnya, adanya tawuran antar pelajar. Siswa-siswa yang terlibat dalam tawuran pada umumnya dilakukan atas dasar rasa setia kawan.
2. Sugesti negatif (negative suggestion) adalah sugesti yang ditujukan untuk menghasilkan tekanan-tekanan atau pembatasan tertentu. Contohnya, seorang pemuda akan mengancam kekasihnya apabila cintanya berpaling kepada pemuda lain sehingga kekasih pemuda tersebut akan menurut.
3. Sugesti prestise (prestige suggestion) adalah sugesti yang muncul sebagai akibat adanya prestise orang lain. Contohnya, tokoh masyarakat menganjurkan agar semua warganya melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan maka anjuran tersebut akan dilaksanakan tanpa didahului dengan proses berpikir.
c. Identifikasi

Identifikasi adalah kecenderungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi merupakan bentuk lebih lanjut dari proses imitasi dan proses sugesti yang pengaruhnya cukup kuat. Orang lain yang menjadi sasaran identifikasi dinamakan idola. Contohnya seorang remaja mengidentifikasikan dirinya dengan seorang penyanyi terkenal yang ia kagumi. Kemudian, ia akan berusaha mengubah penampilan dirinya agar sama dengan penyanyi idolanya, mulai dari model rambut, pakaian, gaya bicara, bahkan sampai makanan kesukaan.

Sikap, perilaku, keyakinan, dan pola hidup yang menjadi idola akan melembaga bahkan menjiwai para pelaku identifikasi sehingga sangat berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kepribadiannya.

d. Simpati

Simpati merupakan faktor yang sangat penting dalam proses interaksi sosial, yang menentukan proses selanjutnya. Simpati merupakan proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik kepada orang lain. Rasa tertarik ini didasari oleh keinginan untuk memahami pihak lain dan memahami perasaannya ataupun bekerja sama dengannya.

Dengan demikian, simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan semata-mata, seperti pada proses identifikasi. Contohnya, ucapan turut sedih dan rasa bela sungkawa kepada teman yang tertimpa musibah; mengucapkan selamat dan turut bergembira kepada orang lain yang menerima kebahagiaan. Dibandingkan ketiga faktor interaksi sosial sebelumnya, simpati terjadi melalui proses yang relatif lambat, namun pengaruh simpati lebih mendalam dan tahan lama. Agar simpati dapat berlangsung, diperlukan adanya saling pengertian antara kedua belah pihak. Pihak yang satu terbuka mengungkapkan pikiran ataupun isi hatinya. Adapun pihak yang lain mau menerimanya. Itulah sebabnya, simpati dapat menjadi dasar terjalinnya hubungan persahabatan.

1.3. Pola Interaksi Sosial

Bentuk jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu dan kelompok, dan kelompok dan kelompok bersifat dinamis dan mempunyai pola tertentu. Apabila interaksi sosial tersebut diulang menurut pola yang sama dan bertahan untuk jangka waktu yang lama, akan terwujud hubungan sosial yang relatif mapan.

Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Berdasarkan kedudukan sosial (status) dan peranannya. Contohnya, seorang guru yang berhubungan dengan muridnya harus mencerminkan perilaku seorang guru. Sebaliknya, siswa harus menaati gurunya.
2. Merupakan suatu kegiatan yang terus berlanjut dan berakhir pada suatu titik yang merupakan hasil dari kegiatan tadi. Contohnya, dari adanya interaksi, seseorang melakukan penyesuaian, pembauran, terjalin kerja sama, adanya persaingan, muncul suatu pertentangan, dan seterusnya.
3. Mengandung dinamika. Artinya, dalam proses interaksi sosial terdapat berbagai keadaan nilai sosial yang diproses, baik yang mengarah pada kesempurnaan maupun kehancuran. Contohnya, penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat dapat menciptakan keteraturan sosial.
4. Tidak mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial dapat terjadi kapan dan di manapun, dan dapat berakibat positif atau negatif terhadap kehidupan masyarakat. Contohnya, sebuah sekolah yang terkenal memiliki disiplin dan tata tertib yang ketat dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, pada suatu ketika menjadi tercemar karena ada siswanya yang melakukan tindakan amoral.
Klasifikasi interaksi sosial. Berdasarkan bentuknya, interaksi sosial dapat diklasifikasikan menjadi tiga pola, yaitu sebagai berikut.

a. Pola Interaksi Individu dengan Individu

Dalam mekanismenya, interaksi ini dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan yang mengakibatkan munculnya beberapa fenomena, seperti jarak sosial, perasaan simpati dan antipati, intensitas, dan frekuensi interaksi. Jarak sosial sangat dipengaruhi oleh status dan peranan sosial. Artinya, semakin besar perbedaan status sosial, semakin besar pula jarak sosialnya, dan sebaliknya. Anda mungkin pernah menyaksikan “si kaya” (bersifat superior) yang suka menjaga jarak dengan “si miskin” (bersifat inferior) dalam pergaulan sehari-hari karena adanya perbedaan status sosial di antara mereka. Apabila jarak sosial relatif besar, pola interaksi yang terjadi cenderung bersifat vertikal, sebaliknya apabila jarak sosialnya kecil (tidak tampak), hubungan sosialnya akan berlangsung secara horizontal.

Simpati seseorang didasari oleh adanya kesamaan perasaan dalam berbagai aspek kehidupan. Sikap ini dapat pula diartikan sebagai perasaan kagum atau senang terhadap orang lain ketika salah satu pihak melakukan sebuah tindakan ataupun terjadi interaksi di antara keduanya. Adapun antipati muncul karena adanya perbedaan penafsiran terhadap sesuatu sehingga menimbulkan perasaan yang berbeda dengan pihak lain.

Dua orang saudara bisa saja tidak saling mengenal akibat intensitas dan frekuensi interaksi di antara keduanya tidak ada atau jarang sekali terjadi. Akan tetapi, dua orang yang baru berkenalan bisa saja menjadi sahabat bahkan saudara karena intensitas dan frekuensi interaksinya yang sering.

Pola interaksi individu dengan individu ditekankan pada aspek-aspek individual, yang setiap perilaku didasarkan pada keinginan dan tujuan pribadi, dipengaruhi oleh sosio-psikis pribadi, dan akibat dari hubungan menjadi tanggung jawabnya. Contohnya, seseorang sedang tawar menawar barang dengan pedagang di kaki lima; dua insan sedang berkasih-kasihan; orang-orang bertemu di jalan dan saling menyapa. Untuk mengukur keakraban seseorang, umumnya digunakan sosiometri seperti pada bagan berikut ini.

Gambar 1. Sosiometri.
Dari sosiometri tersebut dapat diketahui beberapa hal berikut.
1. Makin sering seseorang bergaul dengan orang lain, hubungannya akan semakin baik. Sebaliknya, makin sedikit atau jarang bergaul ia akan terasing atau terisolasi.
2. Keintiman seseorang sangat bergantung pada frekuensi dan intensitas nya melakukan pergaulan.
3. Dalam pergaulan, seseorang akan memilih atau menolak siapa yang akan dijadikan temannya.
b. Pola Interaksi Individu dengan Kelompok

Pola ini merupakan bentuk hubungan antara individu dan individu sebagai anggota suatu kelompok yang menggambarkan mekanisme kegiatan kelompoknya. Dalam hal ini, setiap perilaku didasari kepentingan kelompok, diatur dengan tata cara yang ditentukan kelompoknya, dan segala akibat dari hubungan merupakan tanggung jawab bersama. Contohnya, hubungan antara ketua dengan anggotanya pada karang taruna tidak dikatakan sebagai hubungan antar individu, tetapi hubungan antar individu dengan kelompok sebab menggambarkan mekanisme kelompoknya.

Pola interaksi individu dengan kelompok memiliki beberapa bentuk ideal yang merupakan deskripsi atau gambaran dari pola interaksi yang ada di masyarakat. Harold Leavitt, menggambarkan terdapat empat pola interaksi ideal, yaitu pola lingkaran, pola huruf X, pola huruf Y, dan pola garis lurus.

Gambar 2. Bentuk-Bentuk Pola Interaksi.
Pola lingkaran merupakan pola interaksi yang menunjukkan adanya kebebasan dari setiap anggota untuk berhubungan dengan pihak manapun dalam kelompoknya (bersifat demokratis), baik secara vertikal maupun horizontal. Akan tetapi, pola ini sulit dalam menentukan keputusan karena harus ditetapkan bersama. Pola huruf X dan Y ditandai dengan terbatasnya hubungan antar anggota kelompok sebab hubungan harus dilakukan melalui birokrasi yang kaku, tetapi mekanisme kelompok mudah terkendali karena adanya pemimpin yang dapat menguasai dan mengatur anggotanya walaupun dipaksakan.

Pola garis lurus hampir sama dengan pola huruf X dan Y, yang di dalamnya hubungan antaranggota tidak dilakukan secara langsung atau melalui titik sentral. Akan tetapi, pihak yang akan menjadi mediator dalam hubungan tersebut, bergantung pada individu-individu yang akan berhubungan seperti pada pola lingkaran. Terbatasnya hubungan antar anggota pada pola ini bukan karena otoritas pemimpin, melainkan keterbatasan wawasan setiap anggota dalam berhubungan karena adat istiadat dalam masya rakat. Oleh karena itu, pola garis lurus biasanya menyangkut aspek-aspek kehidupan yang khusus.

c. Pola Interaksi Kelompok dengan Kelompok

Hubungan ini mempunyai ciri-ciri khusus berdasarkan pola yang tampak. Pola interaksi antarkelompok dapat terjadi karena aspek etnis, ras, dan agama, termasuk juga di dalamnya perbedaan jenis kelamin dan usia, institusi, partai, organisasi, dan lainnya. Misalnya, kehidupan dalam masyarakat yang saling berbaur walaupun mereka berbeda agama, etnis atau ras; rapat antar fraksi di DPR yang membahas tentang RUU.

Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik. Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.

1.3. Tahapan dalam Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan suatu proses sosial. Dalam hal ini, terdapat tahapan yang bisa mendekatkan dan tahapan yang bisa merenggangkan orang-orang yang saling berinteraksi. Tahap yang mendekatkan diawali dari tahap memulai (initiating), menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan (integrating), dan mempertalikan (bonding). Contohnya, pada saat Anda memulai masuk sekolah, kemudian menjajaki hubungan dengan orang lain melalui tegur sapa, saling berkenalan, dan bercerita. Hasil penjajakan ini dapat menjadi dasar untuk memutuskan apakah hubungan Anda akan ditingkatkan atau tidak dilanjutkan. Jika hubungan sudah semakin meningkat, biasanya muncul perasaan yang sama atau menyatu untuk kemudian menjalin tali persahabatan.

Pada tahap yang meregangkan, dimulai tahap membeda-bedakan (differentiating), membatasi (circumscribing), menahan (stagnating), menghindari (avoiding), dan memutuskan (terminating). Contohnya, di antara dua orang yang dahulunya selalu bersama. Kemudian, mulai melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Oleh karena sering tidak bersama lagi, pembicaraan di antara mereka pun mulai dibatasi.

Dalam hal ini, antarindividu mulai saling menahan sehingga tidak terjadi lagi komunikasi. Hubungan lebih mengarah pada terjadinya konflik sehingga walaupun ada komunikasi hanya dilakukan secara terpaksa.

B. Interaksi Sosial dan Keteraturan


2.1. Proses Asosiatif

Keteraturan sosial merupakan keadaan yang menggambarkan suatu kehidupan masyarakat yang tertib, serasi, penuh persatuan, dan terjaga dari adanya penyimpangan nilai-nilai atau norma yang ada dalam masyarakat. Menurut Gillin dan Gillin, terdapat dua jenis proses sosial yang muncul akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses yang mengarah pada terwujudnya persatuan dan integrasi sosial (asosiatif) dan proses oposisi yang berarti cara berjuang untuk melawan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu (disosiatif). Di antara kedua proses sosial tersebut, asosiatif merupakan bentuk interaksi yang akan mendorong terciptanya keteraturan sosial.

Bentuk-bentuk asosiatif adalah sebagai berikut.

a. Kerja Sama

Kerja sama atau kooperasi (cooperation) adalah jaringan interaksi antara orang perorangan atau kelompok yang berusaha bersama untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama berawal dari kesamaan orientasi dan kesadaran dari setiap anggota masyarakat.

Beberapa bentuk kerja sama yang umum dapat kita temukan di masyarakat sebagai berikut.

1) Berdasarkan Sifatnya
1. Kerja sama langsung (directed cooperation), adalah kerja sama sebagai hasil dari perintah atasan kepada bawahan atau penguasa terhadap rakyatnya.
2. Kerja sama spontan (spontaneus cooperation), adalah kerja sama yang terjadi secara serta-merta.
3. Kerja sama kontrak (contractual cooperation), adalah kerja sama atas dasar syarat-syarat atau ketetapan tertentu, yang disepakati bersama.
4. Kerja sama tradisional (traditional cooperation), adalah kerja sama sebagian atau unsur-unsur tertentu dari sistem sosial.
2) Berdasarkan Pelaksanaannya
1. Kerukunan atau gotong royong.
2. Bargaining, adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang atau jasa antara dua organisasi atau lebih.
3. Kooptasi, adalah proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dan pelaksanaan politik organisasi sebagai satu-satunya cara untuk menghindari konflik yang bisa mengguncang organisasi. Contohnya, amandemen terhadap anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
4. Koalisi, adalah kerja sama antara dua organisasi atau lebih yang keduanya mempunyai tujuan yang sama. Akan tetapi, pada koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil karena mereka memiliki strukturnya masing-masing. Contohnya, koalisi antara dua partai politik.
5. Joint-venture, adalah kerja sama dalam pengusahaan proyek tertentu. Contohnya, pengeboran minyak di Natuna antara Indonesia dan Amerika Serikat dan dalam pembuatan Jalan Layang Pasupati di Bandung.
Kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang universal pada masyarakat manapun. Walaupun demikian, banyak ahli yang berpendapat bahwa masyarakat yang terlalu mementingkan kerja sama cenderung kurang inisiatif dan tidak mandiri. Masyarakat seperti itu terlalu mengandalkan bantuan dan didahului oleh rekannya.

b. Akomodasi

Akomodasi (accomodation) dalam sosiologi memiliki dua pengertian, yaitu menggambarkan suatu keadaan dan proses. Akomodasi yang menggambarkan suatu keadaan, berarti adanya keseimbangan interaksi sosial yang berkaitan dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai suatu proses menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan per tentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Akomodasi mempunyai beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Koersi (coercion), adalah bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang lebih lemah. Berarti, terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas kelompok yang lemah. Contohnya, dalam sistem perbudakan atau penjajahan.
2. Kompromi (compromise), adalah bentuk akomodasi ketika pihak-pihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melaksanakan kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya.
3. Arbitrasi (arbitration), adalah bentuk akomodasi apabila pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup mencapai kompromi sendiri sehingga dilakukan melalui pihak ketiga. Pihak ketiga di sini dapat ditunjuk oleh dua belah pihak atau oleh suatu badan yang dianggap berwenang. Contohnya, pertentangan antara karyawan dan pengusaha diselesaikan melalui serikat buruh serta Departemen Tenaga Kerja sebagai pihak ketiga.
4. Mediasi (mediation), adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir sama dengan arbitrasi. Namun, pihak ketiga yang bertindak sebagai penengah bersikap netral dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan-keputusan penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak. Contohnya mediasi pemerintah RI untuk mendamaikan faksi-faksi yang berselisih di Kamboja. RI hanya menjadi fasilitator, sedangkan keputusan mau berdamai atau tidak bergantung niat baik tiap-tiap faksi yang bertikai.
5. Konsiliasi (conciliation), adalah bentuk akomodasi untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang bertikai untuk tercapainya kesepakatan bersama. Konsiliasi bersifat lebih lunak dan membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengadakan asimilasi. Contohnya, panitia tetap penyelesaian masalah ketenagakerjaan mengundang perusahaan dan perwakilan karyawan untuk menyelesaikan pemogokan.
6. Toleransi (toleration), adalah bentuk akomodasi yang terjadi tanpa persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak. Contohnya, umat yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, tidak makan di sembarang tempat.
7. Stalemate, adalah bentuk akomodasi ketika kelompok yang bertikai mempunyai kekuatan yang seimbang. Lalu, keduanya sadar bahwa tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur sehingga pertentangan atau ketegangan antara keduanya akan berhenti dengan sendirinya. Contohnya, persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur Eropa berhenti dengan sendirinya tanpa ada pihak yang kalah ataupun menang.
8. Ajudikasi (adjudication), adalah penyelesaian masalah atau sengketa melalui pengadilan atau jalur hukum. Contohnya, persengketaan tanah warisan yang diselesaikan di pengadilan.
9. Displacement, adalah bentuk akomodasi yang merupakan cara untuk mengakhiri suatu pertentangan dengan cara mengalihkan perhatian pada objek bersama. Contohnya adanya persengketaan Indonesia–Australia tentang batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) berakhir setelah dilakukan pembagian eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Celah Timor. Persengketaan yang terjadi karena keberadaan sumberdaya alam, bukan ZEE.
10. Konversi (Convertion), adalah bentuk akomodasi dalam menyelesaikan konflik yang menjadikan salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain. Contohnya, dua keluarga besar bermusuhan karena perbedaan prinsip. Akan tetapi, karena anak mereka saling menjalin cinta yang tidak mungkin dipisahkan, sikap permusuhan pun luluh dan bersedia saling menerima pernikahan anak-anaknya.
c. Asimilasi

Asimilasi (assimilation) adalah proses penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan sekitar. Gillin dan Gillin menjelaskan bahwa suatu proses sosial dikategorikan pada asimilasi apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Berkurangnya perbedaan karena adanya usaha-usaha untuk mengurangi dan menghilangkan perbedaan antar individu atau kelompok.
2. Mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.
3. Setiap individu sebagai kelompok melakukan interaksi secara langsung dan intensif secara terus-menerus.
4. Setiap individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dan kelompok lain, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada akan hilang atau melebur menjadi satu.
Asimilasi merupakan proses sosial pada tahap lanjut atau tahap penyempurnaan. Artinya, asimilasi terjadi setelah melalui tahap kerja sama dan akomodasi. Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut.
1. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2. Terjadi pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dalam waktu yang relatif lama.
3. Kebudayaan setiap kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.
Proses asimilasi dapat diilustrasikan seperti pada bagan berikut.

Gambar 3. Proses Asimilasi.
Selain persyaratan tersebut, proses asimilasi akan berjalan lancar apabila ditunjang oleh faktor-faktor berikut.
1. Sikap toleransi
2. Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi.
3. Sikap menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaannya.
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.
5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan universal.
6. Perkawinan campuran antarkelompok yang berbeda budaya.
7. Adanya musuh bersama dari luar.
Sebaliknya, ada pula faktor-faktor yang menjadi penghambat terjadinya asimilasi sebagai berikut.
1. Terisolasinya kehidupan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat, atau sikap menutup diri (isolasi). Contohnya kehidupan suku pedalaman Baduy.
2. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi. Contohnya, dengan menggunakan komputer dapat memudahkan pekerjaan daripada dengan menggunakan mesin ketik. Akan tetapi, karena tidak bisa menggunakannya, pekerjaan akan menjadi lebih lama daripada mesin ketik.
3. Adanya prasangka negatif atau adanya perasaan takut terhadap pengaruh kebudayaan baru yang dihadapi. Contohnya, kerja keras dapat menjadikan sikap orang menjadi serakah. Padahal, kerja keras sangat diperlukan dalam mayarakat modern.
4. Adanya perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompoknya sehingga kelompok tersebut memisahkan diri dan menjadikan jarak yang semakin jauh.
5. Adanya perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut. Contohnya, etnosentrime, rasialisme, dan apartheid.
6. Adanya perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi.
7. Adanya gangguan golongan minoritas terhadap golongan yang berkuasa. Contohnya, adanya gangguan terhadap golongan minoritas Jepang yang tinggal di Amerika setelah penyerangan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbour oleh tentara Jepang pada 1942.
d. Akulturasi

Akulturasi (acculturation) adalah berpadunya unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaannya yang asli. Lamanya proses akulturasi sangat bergantung pada persepsi masyarakat setempat terhadap budaya asing yang masuk. Akulturasi bisa terjadi dalam waktu yang relatif lama apabila masuknya melalui proses pemaksaaan. Sebaliknya, apabila masuknya melalui proses damai, akulturasi tersebut akan relatif lebih cepat. Contohnya, Candi Borobudur merupakan perpaduan kebudayaan India dengan kebudayaan Indonesia; musik Melayu bertemu dengan musik Spanyol menghasilkan musik keroncong.

Apabila diilustrasikan, proses akulturasi adalah seperti pada bagan sebagai berikut.

Gambar 4. Proses Akulturasi.
2.2. Proses Disosiatif

Dalam interaksi sosial yang terjadi di masyarakat, untuk mencapai tujuan bersama, wujudnya dapat berupa kerja sama ataupun pertentangan atau pertikaian. Kerja sama tidak serta merta selalu baik, tanpa adanya keteraturan sosial di masyarakat, kerja sama pun akan mengalami penyimpangan-penyimpangan atau menjadi tidak sehat dan bukan tidak mungkin dapat menimbulkan permusuhan. Contohnya, jika Anda bekerja sama dalam tugas kelompok dari guru, lalu teman yang Anda pilih selalu teman-teman berprestasi di kelas, tanpa memperhatikan teman atau kesempatan kelompok lainnya, bukan tidak mungkin teman atau kelompok lainnya akan merasakan ketidakadilan dan antipati atau memusuhi Anda atau kelompok Anda. Demikian pula dengan pertentangan, tidak selalu pertentangan itu buruk, jika terjadi dan selalu merujuk pada keteraturan sosial serta tanpa kekerasan dan ancaman, bukan tidak mungkin sebuah pertentangan akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Dari uraian tersebut, kiranya perlu untuk Anda ketahui juga mengenai bentuk-bentuk interaksi disosiatif. Walaupun proses sosial ini kurang mendorong terciptanya keteraturan sosial, bahkan cenderung ke arah oposisi yang berarti cara yang bertentangan dengan seseorang ataupun kelompok untuk mencapai tujuan tertentu, ada juga manfaatnya demi tercipta suatu keteraturan sosial. Proses disosiatif dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk sebagai berikut.

a. Persaingan

Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial ketika berbagai pihak saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Persaingan terjadi apabila beberapa pihak menginginkan sesuatu yang jumlahnya sangat terbatas atau sesuatu yang menjadi pusat perhatian umum. Contohnya persaingan 12 besar para penyanyi dalam acara Akademi Fantasi Indonesia (AFI) yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta.

Persaingan dilakukan dengan norma dan nilai yang diakui bersama. Kecil kemungkinan persaingan menggunakan kekerasan atau ancaman. Dengan kata lain, persaingan dilakukan secara sehat atau sportif. Misalnya, dalam sepakbola dikenal istilah fair play. Hasil dari suatu persaingan akan diterima dengan kepala dingin oleh berbagai pihak yang bersaing, tanpa ada rasa dendam, karena sejak awal, tiap pihak telah menyadari akan ada yang menang dan kalah. Oleh karena itu, persaingan sangat baik bagi Anda untuk meningkatkan prestasi, misalnya untuk menjadi juara kelas.

Persaingan memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut.
1. Menyalurkan keinginan individu atau kelompok yang sama-sama menuntut dipenuhi, padahal sulit dipenuhi semuanya secara serentak.
2. Menyalurkan kepentingan serta nilai-nilai dalam masyarakat, terutama yang menimbulkan konflik.
3. Menyeleksi individu yang pantas memperoleh status dan peran yang sesuai dengan kemampuannya.
b. Kontravensi

Kontravensi (contravention) adalah proses sosial yang ditandai adanya ketidakpuasan, ketidakpastian, keraguan, penolakan, dan penyangkalan terhadap kepribadian seseorang atau kelompok yang tidak diungkapkan secara terbuka. Kontravensi adalah sikap menentang secara tersembunyi agar tidak sampai terjadi perselisihan secara terbuka. Penyebab kontravensi antara lain perbedaan pendirian antara kalangan tertentu dengan kalangan lain dalam masyarakat, atau bisa juga dan pendirian masyarakat, contoh jenis ini adalah perang dingin. Perang dingin merupakan kontravensi karena tujuannya membuat lawan tidak tenang atau resah. Dalam hal ini, lawan tidak diserang secara fisik, tetapi secara psikologis. Melawan secara psikologis merupakan hal yang tersembunyi (tidak terbuka).

Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker, terdapat lima bentuk kontravensi, yaitu sebagai berikut.
1. Kontravensi umum, contohnya penolakan, perlawanan, protes, gangguan, dan mengancam pihak lawan.
2. Kontravensi sederhana, contohnya menyangkal pernyataan orang di depan umum, dan memaki melalui surat selebaran atau mencerca.
3. Kontravensi intensif, contohnya penghasutan, penyebaran desasdesus, dan memfitnah.
4. Kontravensi rahasia, contohnya pembocoran rahasia, khianat, dan subversi.
5. Kontravensi taktis, contohnya mengejutkan pihak lawan, provokasi, dan intimidasi.
Akibat positif dari adanya kontravensi yang mengarah pada terjadinya keteraturan sosial, yaitu sebagai berikut.
1. Dalam diskusi ilmiah, dan seminar-seminar tentang permasalahan tertentu, biasanya perbedaan pendapat justru diharapkan untuk melihat kelemahan-kelemahan suatu pendapat sehingga dapat ditemukan pendapat atau pilihan-pilihan yang lebih kuat sebagai jalan keluar suatu pemecahan masalah yang diseminarkan tersebut.
2. Menambah rasa memiliki atau kesatuan yang kuat (solidaritas) dalam kelompok. Misalnya, dengan adanya pertentangan antara suatu kelompok dan kelompok lainnya, persatuan kelompok akan lebih kuat dari setiap anggotanya, bahkan mereka merasa lebih erat dan siap berkorban demi kelompoknya untuk menghadapi ancaman yang datang dari luar.
3. Mendorong adanya perubahan atau memperbaiki kelemahan-kelemahan sehingga memiliki sesuatu yang lebih benar dan baik lagi.
c. Pertikaian

Pertikaian merupakan bentuk lanjut dari kontravensi. Hal ini disebabkan, di dalam pertikaian, perselisihan sudah bersifat terbuka. Pertikaian terjadi karena semakin tajamnya perbedaan antara kalangan tertentu dalam masyarakat. Semakin tajam perbedaan mengakibatkan amarah dan rasa benci yang mendorong tindakan untuk melukai, menghancurkan, atau menyerang pihak lain. Pertikaian jelas sekali mengarah pada disintegrasi antar individu ataupun kelompok.

d. Konflik

Pertentangan atau konflik (conflict) adalah suatu perjuangan individu atau kelompok sosial untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Pengertian konflik yang paling sederhana adalah saling memukul (configere). Namun, konflik tidak hanya berwujud pertentangan fisik semata. Dalam definisi yang lebih luas, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua pihak atau lebih, yang di dalamnya pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan yang sulit didamaikan. Perbedaan tersebut antara lain menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, dan keyakinan. Konflik merupakan situasi wajar dalam setiap masyarakat. Bahkan, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik, entah dalam cakupan kecil ataupun besar. Konflik dalam cakupan kecil, misalnya konflik dalam keluarga. Adapun konflik dalam cakupan besar, misalnya konflik antar golongan atau antar kampung.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik adalah sebagai berikut.
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula.
3. Perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok, di antaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Konflik memiliki bentuk-bentuk khusus, di antaranya:
1. konflik pribadi,
2. konflik rasial,
3. konflik antar kelas sosial,
4. konflik politik dan konflik internasional.
Konflik kadang-kadang diperlukan dalam suatu kelompok atau organisasi sosial. Adanya pertentangan dalam suatu kelompok atau organisasi sosial merupakan hal biasa. Apabila dari pertentangan tersebut dapat dihasilkan kesepakatan, akan terwujud integrasi yang lebih erat dari sebelumnya. Konflik juga akan membawa akibat positif asalkan masalah yang dipertentangkan dan kalangan yang bertentangan memang konstruktif. Artinya, konflik itu sama-sama dilandasi kepentingan menjadikan masyarakat lebih baik.

Contohnya, konflik mengenai kebebasan informasi. Kalangan yang satu menghendaki bebasnya informasi dengan alasan melatih masyarakat untuk menyaring informasi secara mandiri. Kalangan yang lain menghendaki adanya lembaga sensor karena khawatir adanya informasi yang tidak mendidik. Kedua kalangan sama-masa menginginkan masyarakat yang semakin berkualitas.

C. Interaksi Sosial dan Dinamika Sosial

Perubahan sosial merupakan momentum dari adanya abad Renaissance (abad ke-16), Revolusi Prancis (abad ke-17), Revolusi Industri (abad-18).

Interaksi sosial akan menyebabkan kegiatan hidup seseorang semakin bervariasi dan kompleks. Jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu dan kelompok, serta kelompok dan kelompok sangat bersifat dinamis dan mempunyai pola tertentu yang membentuk suatu kehidupan bermasyarakat. Masyarakat merupakan suatu populasi yang membentuk organisasi sosial yang bersifat kompleks. Dalam organisasi sosial terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial, serta peraturan-peraturan untuk bertingkah laku dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat.

Meskipun norma, nilai, pranata, dan peraturan dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat dengan tingkat peradaban berbeda, tidak menjamin setiap anggota masyarakat mengetahui sekaligus menyetujuinya. Kenyataan ini cenderung menyebabkan ketidakaturan atau konflik di tengah-tengah masyarakat. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk sosial dalam banyak hal akan selaras dan seimbang apabila diatur dan diarahkan sebagaimana mestinya.

3.1. Perubahan Sosial

Setiap masyarakat akan mengalami perubahan dan dinamika sosial budaya, baik di desa maupun di kota. Perubahan dan dinamika itu merupakan akibat dari adanya interaksi antar manusia dan antar kelompok yang menyebabkan perubahan dan dinamika sosial. Ini berarti perubahan sosial tidak bisa dielakkan. Apalagi di zaman yang terbuka ini, kemajuan teknologi yang amat pesat telah membawa berbagai macam pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar. Semua pengaruh itu begitu mudah hadir di tengah-tengah kehidupan seseorang. Lambat laun tanpa disadari orang telah mengadopsi nilai-nilai baru tersebut. Perubahan dan dinamika yang terjadi di masyarakat bisa berupa perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma yang berlaku di masyarakat, pola-pola perilaku individu dan organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan ataupun kelas-kelas dalam masyarakat, kekuasaan, wewenang, interaksi sosial, dan masih banyak lagi.

Dengan kata lain, perubahan sosial bisa meliputi perubahan organisasi sosial, status, lembaga, dan struktur sosial masyarakat. William F. Ogburn mengemukakan ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik material maupun yang immaterial. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Mac Iver mengartikan bahwa perubahan sosial sebagai perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.

Adapun GilIin & Gillin mengartikan perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, dan ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat

Dari berbagai definisi tersebut, disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Perubahan-perubahan dan dinamika sosial tidak selalu berarti kemajuan, tetapi dapat pula berarti kemunduran dalam bidang-bidang kehidupan tertentu. Meskipun demikian, perubahan sosial merupakan topik yang menarik. Alasannya, perubahan sosial menyangkut segala macam perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

3.2. Teori-Teori Perubahan dan Dinamika Sosial

Adanya perubahan sosial merupakan suatu hal yang wajar dan akan terus berlangsung sepanjang manusia saling berinteraksi dan bersosialisasi. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan unsur-unsur dalam kehidupan masyarakat, baik yang bersifat materiil maupun immaterial, sebagai cara untuk menjaga keseimbangan masyarakat dan menyesuaikan dengan per kembangan zaman yang dinamis. Misalnya, unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.

Para sosiolog berpendapat tentang perubahan sosial bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Kondisi yang dimaksud, antara lain kondisi-kondisi ekonomis, teknologis, geografis, ataupun biologis. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek kehidupan sosial lainnya. Beberapa teori yang menjelaskan sebab-sebab mengapa terjadi perubahan sosial antara lain sebagai berikut.

a. Teori Evolusi (Evolutionary Theory)

Teori ini berpijak pada teori evolusi Darwin dan dipengaruhi oleh pemikiran Herbert Spencer. Tokoh yang berpengaruh pada teori ini adalah Emile Durkheim dan Ferdinand Tonnies. Durkheim berpendapat bahwa perubahan karena evolusi mempengaruhi cara pengorganisasian masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kerja. Adapun Tonnies memandang bahwa masyarakat berubah dari masyarakat sederhana yang mempunyai hubungan yang erat dan kooperatif menjadi tipe masyarakat besar yang memiliki hubungan yang terspesialisasi dan impersonal.

Tonnies tidak yakin bahwa perubahan-perubahan tersebut selalu membawa kemajuan. Bahkan, dia melihat adanya fragmentasi sosial (perpecahan dalam masyarakat), individu menjadi terasing, dan lemahnya ikatan sosial sebagai akibat langsung dari perubahan sosial budaya ke arah individualisasi dan pencarian kekuasaan. Gejala itu tampak jelas pada masyarakat perkotaan.

Teori ini masih belum memuaskan banyak pihak karena tidak mampu menjelaskan jawaban terhadap pertanyaan mengapa masyarakat berubah. Teori ini hanya menjelaskan bagaimana proses perubahan terjadi.

b. Teori Konflik (Conflict Theory)

Menurut teori ini, konflik berasal dari pertentangan kelas antara kelompok tertindas dan kelompok penguasa sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini berpedoman pada pemikiran Karl Marx yang menyebutkan bahwa konflik kelas sosial merupakan sumber yang paling penting dan berpengaruh dalam semua perubahan sosial. Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa semua perubahan sosial merupakan hasil dari konflik kelas di masyarakat. la yakin bahwa konflik dan pertentangan selalu ada dalam setiap bagian masyarakat. Menurut pandangannya, prinsip dasar teori konflik yaitu konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat dalam struktur masyarakat.

c. Teori Fungsional (Functional Theory)

Teori fungsionalis berusaha melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi memengaruhi mereka. Teori ini berhasil menjelaskan perubahan sosial yang tingkatnya moderat. Konsep kejutan budaya menurut William Ogburn berusaha menjelaskan perubahan sosial dalam kerangka fungsionalis ini.

Menurutnya, meskipun unsur-unsur masyarakat saling berhubungan satu sama lain, beberapa unsurnya bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur lainnya tidak secepat itu sehingga “tertinggal di belakang.” Ketertinggalan itu menjadikan kesenjangan sosial dan budaya antara unsur-unsur yang berubah sangat cepat dan unsur yang berubah lambat. Kesenjangan ini akan menyebabkan adanya kejutan sosial dan budaya pada masyarakat.

Ogburn menyebutkan perubahan teknologi biasanya lebih cepat daripada perubahan budaya nonmaterial seperti kepercayaan, norma, dan nilai-nilai yang mengatur masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa perubahan teknologi seringkali menghasilkan kejutan budaya yang pada gilirannya akan memunculkan pola-pola perilaku yang baru meskipun terjadi konflik dengan nilai-nilai tradisional. Contohnya, Ketika alat-alat kontrasepsi pertama kali diluncurkan untuk mengendalikan jumlah penduduk dalam program keluarga berencana (KB), banyak pihak menentang program itu karena bertentangan dengan nilai-nilai agama serta norma yang berlaku di masyarakat pada waktu itu. Namun, lambat laun masyarakat mulai menerima dan menerapkan kehadiran teknologi baru tersebut karena bermanfaat untuk mencegah pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali.

d. Teori Siklus (Cyclical Theory)

Teori ini mempunyai perspektif (sudut pandang) yang menarik dalam melihat perubahan sosial karena beranggapan bahwa perubahan sosial tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun, bahkan orang-orang ahli sekalipun. Dalam setiap masyarakat terdapat siklus yang harus diikutinya. Kebangkitan dan kemunduran suatu peradaban (budaya) tidak dapat dielakkan, dan tidak selamanya perubahan sosial membawa kebaikan.

Oswald Spengler mengemukakan teorinya bahwa setiap masyarakat berkembang melalui empat tahap perkembangan seperti pertumbuhan manusia, yaitu masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. la merasa bahwa masyarakat barat telah mencapai masa kejayaannya pada masa dewasa, yaitu selama zaman pencerahan (renaissance) abad ke-18. Sejak saat itu, tidak terelakkan lagi peradaban barat mulai mengalami kemunduran menuju ke masa tua. Tidak ada yang dapat menghentikan proses ini, seperti yang terjadi pada peradaban Babilonia, Mesir, Yunani, dan Romawi yang terus mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh.

Ralf Dahrendolf menyebutkan bahwa perubahan sosial tidak hanya datang dari dalam, tetapi dapat juga dari luar masyarakat. Perubahan dari dalam masyarakat tidak selalu disebabkan konflik sosial dan bahwa selain
konflik kelas terdapat pula konflik sosial yang berbentuk lain.

3.3. Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Sosial

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan sosial dalam dua golongan besar yaitu sebagai berikut.

a. Faktor Internal

1) Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk

Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat dapat menyebabkan perubahan dalam struktur masyarakat seperti munculnya kelas sosial yang baru dan profesi yang baru.

2) Adanya Penemuan Baru

Pada setiap masyarakat selalu ada sejumlah individu yang sadar akan kekurangan kebudayaan masyarakatnya. Mereka terdorong untuk memperbaiki dan menyempurnakannya melalui penemuan baru.

3) Pertentangan (Konflik) Masyarakat

Pada masyarakat yang heterogen dan dinamis, pertentangan-pertentangan mungkin saja terjadi antara individu dan kelompok-kelompok tertentu.

4) Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi

Perubahan yang terjadi secara cepat dan mendasar yang dilakukan oleh individu atau kelompok akan berpengaruh besar pada struktur masyarakat.

5) Ideologi

Ideologi bisa diartikan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai, dan norma yang saling berhubungan yang dapat mengarahkan pada tujuan tertentu.

b. Faktor Eksternal

1) Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia

Penyebab perubahan yang bersumber dari lingkungan alam fisik kadang kala disebabkan oleh masyarakat itu sendiri. Misalnya,terjadinya bencana alam, seperti banjir, longsor, atau gempa bumi.

2) Peperangan

Peperangan antara satu negara dan negara lain bisa menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan, baik pada lembaga kemasyarakatan maupun struktur masyarakatnya.

3) Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain

Di zaman yang semakin terbuka, tidak ada negara atau masyarakat yang menutup dirinya dari interaksi dengan bangsa atau masyarakat lain. Interaksi yang dilakukan antara dua masyarakat atau bangsa mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik.

Rangkuman :

a. Interaksi sosial memiliki dua syarat, yakni adanya kontak sosial dan komunikasi sosial.
b Faktor-faktor yang menjadi dasar proses interaksi sosial adalah:
1. Imitasi, yaitu meniru perilaku dan tindakan orang lain.
2. Sugesti, yaitu suatu proses yang menjadikan seorang individu menerima suatu cara atau tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.
3. Identifikasi, yaitu kecenderungan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain.
4. Simpati, yaitu proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik kepada orang lain.
c. Pola interaksi sosial, yaitu:
1. individu dengan individu,
2. individu dengan kelompok,
3. kelompok dengan kelompok.
d. Interaksi sosial memiliki dua bentuk yakni asosiatif dan disosiatif.

Anda sekarang sudah mengetahui Interaksi Sosial. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Waluya, B. 2009. Sosiologi 1 : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 138.

Pengertian Kelompok Sosial, Contoh, Ciri-ciri, Proses Pembentukan, Macam-macam, Jenis-jenis, Masyarakat Multikultural, Norma, Perkembangan, Sosiologi
4:16 AM
Pengertian Kelompok Sosial, Contoh, Ciri-ciri, Proses Pembentukan, Macam-macam, Jenis-jenis, Masyarakat Multikultural, Norma, Perkembangan, Sosiologi - Kelompok merupakan kumpulan individu yang diberi kesamaan berdasarkan sesuatu hal. Kelompok di dalam kehidupan masyarakat sangat banyak jumlahnya. Hal ini merupakan pengkategorian terhadap tujuan dari setiap anggotanya yang sama, jenis kegiatan yang sama, dan orientasi yang sama. Anggota-anggota dari suatu kelompok berinteraksi secara langsung, dan melakukan proses sosial secara akrab dan intensif. Pergaulan manusia tersebut akan menimbulkan suatu perasaan yang saling membutuhkan. Semuanya itu menimbulkan kelompok-kelompok sosial (social group) yang merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama dan saling berhubungan, seperti masyarakat yang terdiri atas anggota-anggotanya, namun lebih bersifat kompleks.

Gambar 1. Peta Konsep Kelompok Sosial.
A. Kelompok Sosial

Suatu kelompok pada hakikatnya merupakan individu-individu yang saling berhubungan, saling memperhatikan, dan sadar akan adanya suatu kemanfaatan bersama. Ciri-ciri utama kelompok adalah anggota-anggotanya mempunyai sesuatu yang dianggap sebagai milik bersama. Mereka menyadari bahwa apa yang dimiliki bersama mengakibatkan adanya perbedaan dengan kelompok lain. Dengan demikian, pengelompokan manusia ke dalam wadah-wadah tertentu yang merupakan bentuk-bentuk kehidupan bersama (kelompok sosial) senantiasa dilandaskan pada kriteria-kriteria tertentu yang menjadi milik dan tujuan bersama seperti usia, jenis kelamin, partai politik, latar belakang pendidikan, suku bangsa, agama, dan seterusnya. Oleh karena itu, akan terbentuk berbagai macam kelompok sosial dalam kehidupan manusia sebagai suatu masyarakat yang majemuk.

Masyarakat majemuk atau masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa suku bangsa, agama, ras, politik, ekonomi yang dipersatukan dan diatur oleh sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Masyarakat dengan kebudayaaan yang kompleks bersifat plural (jamak) dan heterogen (beraneka ragam). Pluralitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri atas beraneka ragam dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa dijadikan satu kelompok. Demikian pula dengan kebudayaan mereka, heterogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya.

Setiap masyarakat suku bangsa secara turun-temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya. Tempat tersebut merupakan sumber daya warga masyarakat suku bangsa yang memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup mereka.

1.1. Pengertian Kelompok Sosial

Kelompok sosial terbentuk setelah di antara individu yang satu dan individu yang lain bertemu. Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi, seperti adanya kontak, komunikasi, kerja sama, akomodasi, asimilasi, dan akulturasi untuk mencapai tujuan bersama, bahkan mungkin mengadakan persaingan, pertikaian, dan konflik. Dengan demikian, interaksi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi agar terbentuk kelompok sosial.

Sejak dilahirkan, manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Untuk dapat menyesuaikan diri, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya.

Di dalam menghadapi lingkungannya, seperti udara yang dingin, alam yang keras, dan sebagainya, manusia kemudian menciptakan rumah, pakaian, dan lain-lain. Manusia juga harus makan agar badannya tetap sehat. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, dia juga mengambilnya dari alam dengan menggunakan akal, misalnya di laut manusia akan menjadi nelayan untuk mendapatkan ikan. Semuanya itu menimbulkan kelompok-kelompok sosial (social group) di dalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok manusia tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong.

Sebagai gambaran Anda tentang pengertian kelompok sosial, berikut ini merupakan beberapa kutipan pengertian yang diambil dari beberapa sosiolog.


a. Astrid Soesanto

Kelompok sosial adalah kesatuan dari dua atau lebih individu yang mengalami interaksi psikologis satu sama lain.

b. Robert K. Merton

Kelompok sosial adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola-pola yang telah mapan.

c. Hendropuspito

Kelompok sosial adalah suatu kumpulan yang nyata, teratur, dan tetap dari orang-orang yang melaksanakan peranannya yang saling berkaitan guna mencapai tujuan yang sama. Kelompok sosial adalah sejumlah orang yang saling berhubungan secara teratur.

d. Soerjono Soekanto

Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, antar anggotanya saling berhubungan, saling mempengaruhi dan memiliki kesadaran untuk saling menolong.

e. Bierens de Haan

Kelompok sosial bukan merupakan jumlah anggotanya saja, melainkan suatu kenyataan yang ditentukan oleh datang dan pergi anggota-anggotanya. Kenyataan kelompok ditentukan oleh nilai-nilai yang dihadapi bersama oleh fungsi kelompok sebagaimana disadari oleh anggotanya.

Dengan demikian, kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Oleh karena itu, kelompok sosial bukan hanya merupakan kumpulan manusia, tetapi juga mempunyai suatu ikatan psikologis yang diwujudkan dalam bentuk interaksi sosial secara tetap dan teratur.

Menurut Robert K. Merton, terdapat tiga kriteria suatu kelompok, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi.
2. Pihak yang berinteraksi mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok.
3. Pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok.
1.2. Ciri-Ciri Kelompok Sosial


Robert Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya organisasi, hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan kesadaran jenis. (Sumber: Sosiologi Suatu Pengantar, 1990)

Beberapa puluh tahun lampau beberapa sosiolog di antaranya Albion W. Small (1905) memberikan suatu konsep bahwa tidak ada perbedaan antara keluarga batih, kelas sosial, kerumunan, dan seterusnya. Namun, konsep sosial tersebut sifatnya sangat abstrak dan tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan internal yang mungkin ada. (Sumber: Sosiologi Suatu Pengantar, 2000)

Tidak selamanya sekumpulan orang-orang dapat dikatakan sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial harus memiliki ciri-ciri yang menjadi kriteria kelompok tersebut. Suatu kelompok sosial harus dibedakan dari bentuk-bentuk kehidupan bersama lainnya seperti kelas. Pengelompokan manusia ke dalam wadah-wadah tertentu yang merupakan bentuk-bentuk kehidupan bersama, seharusnya dilandaskan pada kriteria tertentu. Tanpa kriteria yang mantap sulit untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kelompok ataupun pengaruh kelompok terhadap pembentukan kepribadian individual.

Oleh karena itu, R.M. Mac Iver dan Charles H. Page mengemukakan bahwa suatu kesatuan atau himpunan manusia baru bisa disebut kelompok sosial apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

a. Merupakan kesatuan yang nyata atau ada tidaknya organisasi. Hal ini berarti suatu kelompok sosial merupakan kumpulan manusia yang dapat dikenali atau diketahui pihak lain, biasanya terorganisasi secara formal ataupun informal.
b. Setiap anggota kelompok sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompoknya. Keanggotaan suatu kelompok sosial dilakukan melalui dua cara, yaitu mengukuhkan diri menjadi anggota kelompok dan dikukuhkan orang lain sebagai anggota kelompok.

Gejala yang menunjukkan bahwa setiap anggota kelompok menyadari bahwa ia merupakan bagian dari kelompoknya, adalah:
1. adanya sikap imitasi terhadap segala aspek dalam kelompoknya yang dilakukan melalui proses sosialisasi;
2. mengidentifikasikan diri terhadap kelompoknya, berarti setiap anggota suatu kelompok cenderung ingin sama dengan orang lain di dalam kelompoknya;
3. internalisasi, yaitu suatu sikap dan perilaku seseorang yang menggambarkan pola perilaku suatu kelompok sosial;
4. keinginan untuk membela dan mempertahankan kelompoknya.
c. Ada hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antar anggotanya. Ciri ini cukup menonjol dari suatu kelompok sosial, terutama dalam kelompok sosial kecil yang frekuensi dan intensitas hubungan antaranggota kelompok relatif tinggi dan berlangsung secara akrab karena di antara mereka saling mengenal dengan baik. Hubungan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya hasrat dan kebutuhan dari setiap anggota yang dalam pemenuhan nya tidak dapat dilakukan oleh sendiri.
d. Adanya faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan di antara anggotanya bertambah erat, misalnya, nasib, kepentingan, tujuan, dan ideologi politik yang sama.
e. Memiliki struktur, aturan-aturan, dan pola perilaku. Hal ini berarti setiap orang atau anggota-anggota dari suatu kelompok mempunyai status sosial tertentu. Setiap status sosial tersebut (baik sederajat maupun tidak sederajat) memiliki keterkaitan yang sangat erat sehingga membentuk suatu struktur. Contohnya, kelompok sosial umumnya terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan atas, menengah, dan bawah. Lapisan-lapisan tersebut diatur oleh suatu aturan-aturan yang berfungsi sebagai pedoman yang menjelaskan kepada setiap anggota kelompok tentang peranan yang harus dilakukan sesuai dengan statusnya, apa yang menjadi hak dan kewajibannya, dan bagaimana harus bersikap dan bertindak dalam hubungan sosial. Dengan demikian, aturanaturan juga berfungsi sebagai alat kontrol dan pengendalian sosial guna menciptakan keseimbangan hidup dalam kelompok.

Dari hubungan yang berlangsung secara terus-menerus dan mapan akan dihasilkan corak, tata cara bersikap, dan berperilaku tertentu yang kemudian disebut pola perilaku.

Suatu klasifikasi lain yaitu pembedaan antara in-group dan out-group. In-group didasarkan pada persahabatan kerja sama dalam kelompoknya. Out-group cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang, dan perampokan. (Sumber: Pengantar Sosiologi, 1993)

1.3. Pembentukan Kelompok Sosial

Bergabung dengan sebuah kelompok merupakan sesuatu yang murni muncul dari keinginan diri sendiri atau secara kebetulan. Misalnya, seseorang terlahir dalam keluarga tertentu. Namun, ada juga yang merupakan sebuah pilihan yang diinginkan seseorang. Dua faktor utama yang tampaknya mengarahkan pilihan tersebut adalah kedekatan dan kesamaan. Pengelompokan manusia umumnya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. keyakinan bersama akan perlunya pengelompokan;
2. harapan yang dihayati oleh anggota-anggota kelompok;
3. ideologi yang mengikat seluruh anggota;
4. setiap kelompok sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompoknya;
5. ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dan lainnya;
6. ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar anggota bertambah erat.
Pembentukan kelompok diawali dengan adanya kontak dan komunikasi sosial yang menghasilkan proses sosial dalam interaksi sosial. Kontak sosial adalah usaha atau tindakan dan reaksi pertama, tetapi belum berarti terbentuknya suatu komunikasi yang terus-menerus. Komunikasi merupakan suatu proses interaksi yang menjadikan suatu rangsangan (stimulus) yang memiliki makna tertentu dijawab oleh orang lain sebagai respons, baik secara lisan, tertulis, maupun isyarat atau sikap. Komunikasi menghasilkan interaksi sosial dan proses sosial yang melahirkan kelompok.

Selain itu, kelompok-kelompok manusia juga terbentuk melalui hasil pengalaman praktis, intelektual, dan emosional berikut.
1. Pengalaman praktis, adalah pengelompokan yang didasarkan pada aktivitas yang dilakukan manusia guna memenuhi hasrat dan keinginannya.
2. Pengalaman intelektual, adalah pengelompokan yang didasarkan pada keterbatasan akal seseorang sehingga memerlukan bimbingan dan arahan manusia lain.
3. Pengalaman emosional, adalah pengelompokan yang di dasarkan pada naluri untuk hidup bersama dengan manusia lain.
Pembentukan kelompok-kelompok sosial yang terdapat di masyarakat pada umumnya didasari hal-hal sebagai berikut.
1. Kesamaan kepentingan. Orang-orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama cenderung mendirikan kelompok yang tetap dan teratur. Faktor-faktor lain seperti keturunan, ciri fisik, dan daerah asal dikesampingkan, demi tercapainya tujuan dan kepentingan yang diharapkan.
2. Kesamaan keturunan. Secara konvensional, ikatan darah atau keturunan yang sama merupakan dasar dan ikatan persaudaraan yang paling kuat. Keberadaan ini dipertahankan melalui perkawinan hingga membentuk suatu ikatan keluarga besar. Oleh karena itu, tidak heran apabila penduduk suatu desa penduduknya mempunyai ikatan keluarga.
3. Kesamaan daerah. Orang-orang yang tinggal bersama pada suatu daerah cenderung membentuk kelompok sosial yang mantap. Interaksi dapat berlangsung dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi berkat dekatnya jarak fisik di antara orang yang satu dan orang lainnya. Dari hasil interaksi umumnya terbentuk kebudayaan yang sama dalam suatu kesatuan kelompok teritorial. Contohnya, kesatuan orang-orang pada suatu rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW). Di daerah perantauan, sering kita temukan kelompok-kelompok sosial yang dibentuk atas dasar kesamaan daerah asal. Munculnya rasa senasib dan seperjuangan di daerah perantauan telah memperkuat ikatan dalam kelompok sosial seperti ini. Contohnya, kelompok mahasiswa asal Pandeglang Banten atau disingkat “Kumandang”, kelompok orang-orang asal Ciamis yang disebut “Wargi Galuh”, “Paguyuban Pasundan”, “Persatuan Penduduk Ranah Minang”, dan sebagainya.
4. Kesamaan ciri-ciri fisik. Ciri-ciri badaniah, seperti warna kulit, warna mata, dan rambut merupakan salah satu faktor pendorong pembentukan kelompok. Contohnya, Organisasi buruh kulit hitam di Amerika Serikat, Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Papua.
1.4. Klasifikasi atau Macam-macam Kelompok Sosial

Salah seorang ahli sosiologi awal yang secara terperinci membahas perbedaan dalam kelompok sosial adalah Emile Durkheim. Ia membedakan bentuk solidaritas mekanik yaitu ciri kelompok yang ditandai dengan masyarakat yang masih sederhana, dengan solidaritas organik, yaitu bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat yang kompleks (masyarakat yang mengenal pembagian kerja secara terperinci). (Sumber: Sosiologi Suatu Pengantar, 2000)

Konsep kelompok mempunyai berbagai makna. Di kalangan ahli sosiologi dijumpai berbagai usaha untuk mengklasifikasikan jenis kelompok. Salah satu di antaranya yaitu Robert Bierstedt. Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada-tidaknya organisasi (formal), hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan kesadaran jenis.

Bierstedt membedakan empat jenis kelompok, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok statistik (statistical group) merupakan kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut. Kelompok statistik hanya ada dalam arti analisis dan merupakan ciptaan para ilmuwan sosial. Contohnya, pengelompokan penduduk berdasarkan usia, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan sebagainya.
2. Kelompok kemasyarakatan (societal group) merupakan kelompok yang hanya memiliki satu kriteria, yaitu kesadaran akan adanya persamaan di antara anggotanya. Di dalam kelompok ini belum ada kontak dan komunikasi antar anggota kelompok, juga belum ada pengorganisasian. Contohnya, kelompok berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), kelompok orang-orang miskin dan kaya, dan sebagainya.
3. Kelompok sosial (social group) merupakan kelompok yang memiliki dua kriteria yaitu kesadaran jenis dan antaranggota saling berhubungan, tetapi belum ada pengorganisasian. Contohnya, kelompok teman, kelompok kerabat, dan kelompok-kelompok pada masyarakat tradisional seperti kesenian, olahraga, keagamaan atau majelis ta’lim.
4. Kelompok asosiasi (associational group) dalam kelompok ini para anggotanya memiliki kesadaran jenis, yaitu dijumpainya persamaan kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama. Selain itu, para anggota asosiasi saling berhubungan melalui kontak dan komunikasi akibat adanya ikatan organisasi formal. Contohnya, sekolah, organisasi politik, Persatuan Guru Republik Indonesia, ikatan alumni suatu sekolah atau perguruan tinggi.
Didasarkan pada faktor-faktor yang melatarbelakanginya, kelompok-kelompok di masyarakat diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Didasarkan Atas Kepentingan Bersama Tanpa Pengorganisasian (Kelompok Tidak Teratur)

Kelompok manusia yang dalam mekanismenya tanpa pengorganisasian atau kelompok sosial tidak teratur dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu sebagai berikut.

1) Kerumunan Sosial

Kerumunan sosial atau social aggregate adalah sekumpulan orang yang berada di suatu tempat, akan tetapi di antara mereka tidak berhubungan secara tetap. Pengelompokan manusia seperti itu disebut juga kolektivitas, yaitu kumpulan manusia pada suatu tempat dan suatu waktu yang sifatnya sementara. Suatu kelompok manusia disebut kerumunan apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Orang-orang dalam suatu kerumunan sosial tidak saling mengenal.
2. Kehadiran orang-orang di tempat berkumpul hanya bersifat fisik atau tidak ada kontak batin.
3. Motivasi berkumpul disebabkan adanya sesuatu yang menjadi pusat perhatian umum dan terjadi secara kebetulan.
4. Antara individu yang satu dan individu lainnya tidak terorganisasi.
5. Interaksi antarindividu bersifat spontan, tidak terduga, sangat lemah, dan singkat.
6. Orang-orang yang hadir dan berkumpul mempunyai kedudukan sosial yang sama (tidak berstruktur) walaupun berasal dari status sosial yang berbeda.
7. Setiap orang bebas masuk atau keluar dari tempat kerumunan.
8. Kerumunan terwujud pada tempat tertentu dan hanya untuk sementara.
9. Orang dalam kerumunan identitas pribadinya hilang karena pengaruh kumulatif atau sengaja menghilangkan identitas pribadinya untuk menyembunyikan status sosial yang sebenarnya.
Bentuk kerumunan yang dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut.

a) Kerumunan yang berartikulasi dengan struktur sosial
1. Formal audience atau khalayak penonton atau pendengar formal merupakan kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan. Contohnya, penonton film, orang-orang yang menghadiri khotbah keagamaan.
2. Expressive group atau kelompok ekspresif adalah kerumunan yang perhatiannya tidak begitu penting, tetapi mempunyai persamaan tujuan yang terpusat dalam aktivitas kerumunan tersebut serta kepuasan yang dihasilkannya. Fungsinya adalah sebagai penyalur ketegangan yang dialami orang karena pekerjaannya sehari-hari. Contohnya, orang yang berpesta atau berdansa.
b) Kerumunan yang bersifat sementara (casual crowd)
1. Inconvenient aggregations atau kumpulan yang kurang menyenangkan. Dalam kerumunan tersebut kehadiran orang lain merupakan penghalang terhadap tercapainya maksud atau tujuan seseorang. Contohnya, orang-orang yang antre untuk membeli karcis, orang-orang yang menunggu bus, dan sebagainya.
2. Panic crowds adalah kerumunan orang-orang yang sedang dalam keadaan panik. Mereka merupakan orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri dari suatu bahaya. Dorongan dalam diri masing-masing individu dalam kerumunan tersebut cenderung mempertinggi rasa panik.
3. Spectator crowds atau kerumunan penonton ingin melihat kejadian tertentu, kegiatan yang dilakukan umumnya tidak terkendali. Contohnya, kerumunan yang menyaksikan suatu kecelakaan atau musibah bencana alam.
c) Kerumunan yang berlawanan dengan norma hukum (lawless crowds)
1. Acting mobs atau gerombolan adalah kerumunan yang bertindak emosional, sifatnya tidak terkendali karena setiap orang tidak mampu mengontrol diri (secara fisik ataupun psikis). Suatu gerombolan cenderung melakukan perbuatan yang destruktif, antisosial bahkan dikategorikan pada pemberontakan. Timbulnya gerombolan disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat membakar emosi massa, seperti konflik sosial karena unsur SARA, cemburu sosial, hasutan dan adu domba, kebijaksanaan pemerintah, kekecewaan dan sebagainya. Contohnya, gerombolan pedagang kaki lima mengamuk dan merusak fasilitas umum karena dilarang berjualan di suatu tempat yang dapat mengganggu kelancaran lalu lintas.
2. Immoral crowds adalah kerumunan yang tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat. Contohnya, kumpulan orang yang sedang mabuk.
d) Kerumunan pasif atau crowd

Dalam kerumunan ini, individu-individu hanya berkumpul secara fisik, tenang atau tidak mengganggu orang lain, dan tidak mempunyai maksud atau tujuan tertentu. Orang-orang yang berkumpul di tempat tersebut dilatarbelakangi berbagai alasan atau motivasi. Contohnya, orang-orang yang menonton tukang sulap, dan tukang obral.

e) Manifestasi umum (demonstration) atau unjuk rasa

Kerumunan jenis ini bersifat lebih teratur daripada himpunan penonton. Artinya sebelum melakukan kegiatan tersebut orangorang membuat rencana terlebih dahulu walaupun organisasinya sering kurang tegas. Contohnya, demonstrasi menentang kebijaksanaan pemerintah Orde Baru.

f) Kerumunan berdasarkan tempat tinggal atau residential aggregate

Kerumunan ini merupakan kesatuan manusia yang mempunyai tempat tinggal yang sama, tetapi tidak saling mengenal. Lokasinya ditemukan di kota-kota besar. Di tengah kota besar banyak orang yang tidak mengenal tetangganya sehingga tidak terjadi hubungan di antara mereka, di pinggiran kota besar, ditemukan kerumunan orang yang disebut gelandangan.

g) Kerumunan rungsional atau functional aggregate

Kerumunan fungsional terdiri atas sekumpulan orang yang mempunyai tugas atau fungsi tertentu, tetapi mereka tidak dapat dimasukkan dalam pengertian kelompok sosial atau komunitas sosial. Contohnya, daerah-daerah di perkotaan yang dijadikan tempat perdagangan atau pasar.

Horton dan Hunt berpendapat bahwa perilaku kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud, dan kebutuhan serupa. Teori ini kemudian disebut dengan Teori Konvergensi. (Sumber: Pengantar Sosiologi, 1993)

2) Publik

Publik merupakan kelompok yang bukan merupakan kesatuan. Interaksi berlangsung melalui alat-alat komunikasi dan tidak langgeng. Contohnya, pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus atau gosip, surat kabar, radio, televisi, film, dan sebagainya. Dengan alat-alat penghubung seperti ini mungkin publik mempunyai pengikut yang luas dan berjumlah besar. Setiap aksi publik diprakarsai oleh keinginan individual, misalnya pemungutan suara dalam pemilihan umum.

3) Massa

Massa diartikan sebagai keseluruhan dari kerumunan sosial. Pengertian massa timbul sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mengarah pada pola kehidupan modern. Oleh karena itu, pengertian massa menjadi ciri khas masyarakat modern yang pada umumnya bertempat tinggal di perkotaan. Ciri-ciri massa yang menonjol adalah suatu kumpulan orang yang heterogen sehingga identitasnya sulit diketahui. Keanekaragaman massa tampak dari diferensiasi status sosial, taraf hidup, pendidikan, keturunan, pekerjaan, dan agama.

b. Didasarkan Atas Kepentingan Bersama dengan Pengorganisasian (Kelompok Teratur)

Kelompok manusia yang dalam mekanismenya berlangsung secara terorganisasi atau dengan pengorganisasian.

1) Kelompok Dasar (Basic Group)

Kelompok dasar adalah kelompok yang dibentuk secara spontan dari bawah untuk melindungi anggota-anggotanya terhadap tekanan negatif dari masyarakat besar dan sekaligus berfungsi sebagai sumber kegiatan bagi pembaruan masyarakat besar (induk) itu sendiri. Suatu kesatuan manusia dikategorikan sebagai kelompok dasar apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Kelompok dasar pada umumnya merupakan kelompok yang relatif kecil dan terdiri atas orang-orang yang tidak puas terhadap masyarakat sekitarnya.
2. Kelompok dasar dibentuk dari bawah secara spontan, tidak didasarkan atas perintah atau desakan unsur pimpinan masyarakat yang sedang memegang kekuasaan. Sering pembentukan kelompok dasar tidak direstui pemerintah karena bertentangan dengan kehendak pemerintah.
3. Kelompok dasar dibentuk khusus guna melindungi anggota kelompoknya dan secara umum melindungi masyarakat luas dari tekanan anonim unsur kekuasaan yang merugikan lapisan bawah.
4. Kelompok dasar dapat berfungsi sebagai pembaharu masyarakat besar (masyarakat politik atau negara dan masyarakat agama) yang dirasa telah kehilangan vitalitasnya dalam menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Contoh kelompok dasar yang terdapat di masyarakat di antaranya kelompok yang berlandaskan agama. Kelompok agama muncul karena unsur-unsur penting telah kehilangan fungsinya bagi masyarakat.
2) Kelompok Besar (Big Group) dan Kelompok Kecil (Small Group)

Besar kecilnya suatu kelompok ditentukan oleh kriteria tugas-tugas sosial dan jumlah anggotanya. Suatu kelompok disebut besar apabila bobot tugas yang ditangani atau tugas-tugas sosial yang dilaksanakan nya penting dan universal. Tugas-tugas tersebut mencakup pemenuhan kebutuhan dasar guna mempertahankan kehidupan masyarakat. Kelompok besar adalah kelompok yang memiliki jumlah anggota relatif besar dan biasanya terbentuk dari beberapa kelompok kecil yang masing-masing kelompok menangani tugas tertentu.

Kebutuhan sosial yang dinilai umum sebagai kebutuhan dasar harus selalu ada dalam setiap masyarakat, yaitu ekonomi, politik, pendidikan, keagamaan, kesenian, dan sebagainya. Kelompok kecil adalah kelompok yang jumlah anggotanya relatif kecil (paling sedikit dua orang) dan dibentuk atas dasar kebutuhan atau kepentingan kecil dan spesifik. Kelompok-kelompok kecil selalu timbul atau pasti akan timbul di dalam kelompok yang lebih besar dan luas. Hal ini terjadi karena manusia mempunyai kepentingan yang berbeda. Manusia memerlukan bantuan dan perlindungan dari sesamanya. Manusia mempunyai kemampuan yang terbatas dan sebagainya. Keadaan yang demikian menyebabkan timbulnya kelompok kecil (small group). Contohnya, kelompok belajar dan kelompok diskusi merupakan kelompok kecil dari suatu kelompok pendidikan (sekolah).

Kelompok kecil mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelompok besar sebab memiliki beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok kecil mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat dan perilaku setiap individu. Kelompok kecil, dimana seseorang menjadi anggota, tidak saja merupakan sumber simpati, tetapi juga sebagai sumber ketegangan, tekanan, dan kekecewaan.
2. Dalam kelompok kecil, pertemuan antara kepentingan sosial dengan kepentingan individu berlangsung secara tajam dan jelas.
3. Kelompok kecil pada hakikatnya merupakan sel yang menggerakkan suatu organisme yang dinamakan masyarakat.
4. Kelompok-kelompok kecil merupakan bentuk khusus dalam kerangka sosial secara keseluruhan. kelompok kecil seolah-olah miniatur masyarakat yang mempunyai pembagian kerja, kode etik, pemerintahan, prestise, ideologi, dan sebagainya.
3) Kelompok Primer (Primary Group) dan Kelompok Sekunder (Secondary Group)

Kelompok primer (primary group) adalah kesatuan hidup manusia yang ditandai dengan hubungan antar anggotanya yang berlangsung secara tatap muka, saling mengenal, mesra dan akrab, kerja sama yang erat dan bersifat pribadi. Faktor-faktor yang memungkinkan hubungan manusia dalam suatu kelompok berlangsung secara akrab dan mesra di antaranya sebagai berikut.
1. Jumlah anggota relatif kecil sehingga mereka saling mengenal kepribadian masing-masing.
2. Adanya rasa solidaritas yang tinggi di antara anggota-anggotanya. Mereka merasa mempunyai kepentingan yang sama, memegang nilai-nilai budaya yang sama, berasal dari keturunan yang sama.
3. Merasa mempunyai nasib yang sama karena pengalaman sejarah yang sama. Contohnya, kelompok primer, yaitu keluarga beserta kerabatnya.
Kelompok sekunder (secondary group) adalah kelompok yang hubungan antaranggotanya kurang akrab, renggang bahkan tidak saling mengenal. Dalam kehidupan masyarakat setiap orang pada umumnya memiliki dua keanggotaan sekaligus. Selain sebagai anggota kelompok primer, dia juga sebagai anggota kelompok sekunder. Faktor yang menyebabkan terbentuknya kelompok sekunder adalah hasrat dan kebutuhan hidup. Hasrat dan kebutuhan hidup itulah yang mendorong manusia untuk hidup berkelompok.

Manusia merupakan makhluk yang selalu ingin hidup bersama dan tidak mungkin dapat bertahan hidup tanpa manusia lain. Pada saat suatu kebutuhan tidak bisa dipenuhi oleh diri sendiri atau kelompoknya (primer), manusia akan membentuk atau memasuki kelompok sekunder.

Manusia sebagai pribadi dalam kelompok sekunder kurang mendapat perhatian sebab yang menjadi pusat perhatian adalah tugas dan prestasi kerja. Contohnya, dalam sebuah perusahaan, aspek yang dihargai dari seseorang adalah kepandaian, keterampilan, keluwesan bekerja sama, dan kepemimpinannya. Demi efisiensi, prinsip utamanya adalah menempatkan seseorang untuk melakukan suatu jenis pekerjaan sesuai dengan keahliannya.

W.G. Sumner mengemukakan bahwa “masyarakat primitif” yang merupakan kelompok kecil yang tersebar di suatu wilayah, muncul diferensiasi antara kelompok dalam (in-group) dengan kelompok luar (out-group). (Sumber: Kamanto Sunarto, 2000)

4) Kelompok Dalam (In-Group) dan Kelompok Luar (Out-Group)

Istilah in-group atau kelompok dalam muncul ketika para anggota suatu kelompok merasa bahwa mereka mempunyai suatu tujuan dan cita-cita yang sama, menaati norma-norma yang sama, nasib yang sama. Kelompok tersebut menganggap inilah kelompok kami atau orang-orang kita. Dalam ucapan, sikap dan perilakunya terkandung makna bahwa orang lain yang bukan termasuk kelompoknya (orang luar). Contohnya, kami warga RT 007 sedangkan mereka warga RT 10; kami siswa Kelas XI, sedangkan mereka siswa Kelas X. Sikap out-group atau kelompok luar ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipati. Hubungan dengan orang-orang yang bukan anggota kelompoknya berlangsung kurang akrab, dan berhati-hati.

Perasaan in-group dan out-group atau perasaan dalam dan luar kelompok merupakan suatu sikap yang dinamakan fanatisme, yaitu suatu sikap untuk menilai orang lain dengan menggunakan nilai-nilai dan norma kelompok sendiri. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu dalam kelompoknya adalah yang terbaik. Menilai kelompok lain sering kali bersifat stereotip, yaitu gambaran atau anggapan dari suatu kelompok terhadap kelompok lain yang bersifat merendahkan obyek tertentu atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sikap stereotip mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti agama atau kepercayaan, etnis, pekerjaan, dan sebagainya.

In-group dan out-group dapat dijumpai di semua masyarakat walaupun kepentingannya berbeda-beda. Dalam masyarakat bersahaja mungkin jumlahnya tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan masyarakat kompleks sebab pembedaan unsur-unsur sosial tidak tampak secara jelas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap kelompok sosial adalah in group bagi anggotanya dan out-group bagi anggota kelompok.

5) Paguyuban (Gemeinschaft) dan Patembayan (Gesselschaft)

Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama yang para anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut bersifat nyata dan organis yang dapat diumpamakan tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban akan dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabat, rukun tetangga, dan sebagainya.

Suatu kelompok dinamakan paguyuban apabila mempunyai beberapa ciri berikut.
1. Intimate, adalah hubungan menyeluruh dan akrab.
2. Private, adalah hubungan yang bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang saja.
3. Exclusive, adalah hubungan tersebut hanya untuk kita saja dan tidak untuk orang lain di luar kita.
Di dalam paguyuban terdapat suatu kemauan bersama. Ada suatu pengertian serta kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Menurut Tonnies, dalam setiap masyarakat selalu dapat dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban.
1. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood) adalah paguyuban yang terbentuk didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Contohnya, keluarga, kelompok kekerabatan.
2. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place) adalah suatu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang berdekatan tempat tinggalnya sehingga dapat saling menolong. Contohnya, rukun tetangga, rukun warga, atau arisan.
3. Paguyuban karena jiwa dan pikiran (gemeinschaft of mind) adalah suatu paguyuban yang terdiri atas orang-orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mereka mempunyai pikiran dan ideologi yang sama.
Patembayan adalah ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran berkala serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk gesselschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik. Contohnya, ikatan pedagang, organisasi pengusaha, atau sarikat buruh.

Tabel 1. Hubungan yang terjadi di dalam paguyuban dan patembagan

Hubungan
Paguyuban Patembayan
Personal Interpersonal
Informal Formal, Kontraktual
Tradisional Utilitarian
Sentimental Realistis, “Ketat”
Umum Khusus

6) Kelompok Informal (Informal Group) dan Kelompok Formal (Formal Group)

Kelompok informal adalah kesatuan hidup manusia yang tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan berulang kali dan pertemuan tersebut menjadi dasar bagi bertemunya kepentingan-kepentingan dan pengalaman yang sama. Contohnya, Klik (clique) yaitu suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar. Klik tersebut ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan timbal balik antar anggota, biasanya bersifat antara kita saja (egalitas).

Kelompok formal adalah kelompok-kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan sengaja diciptakan oleh angota-anggotanya untuk mengatur hubungan antara anggota-angotanya. Hubungan antar anggota berlangsung secara terkoordinasi melalui usaha-usaha untuk mencapai tujuan berdasarkan bagian-bagian organisasi yang bersifat spesialisasi. Kegiatannya didasarkan pada aturan-aturan yang sebelumnya sudah ditentukan. Organisasi biasanya ditegakkan pada landasan mekanisme administratif. Staf administratif bertanggung jawab memelihara organisasi dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan organisasi. Contohnya, unit kepolisian lalu lintas terdiri atas bagian-bagian, yaitu bagian administrasi, lapangan atau patroli, logistik, pembinaan atau penyuluhan.

7) Kelompok Okupasional (Occupational Group) dan Kelompok Volunter (Voluntary Group)

Kelompok okupasional adalah kelompok yang terdiri atas orang-orang yang melakukan pekerjaan sejenis. Kelompok okupasional biasa terdapat pada masyarakat heterogen. Pada masyarakat ini berkembang sistem pembagian kerja yang semakin didasarkan pada pengkhususan atau spesialisasi. Warga masyarakat melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing.

Melalui keahliannya, mereka membantu masyarakat untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu. Oleh karena itu, muncul kelompok-kelompok profesi yang terdiri atas kalangan profesional yang seolah-olah mempunyai monopoli terhadap bidang ilmu dan teknologi tertentu.

Semakin berkembangnya sistem komunikasi mengakibatkan ruang jangkau suatu masyarakat semakin luas. Secara praktis tidak ada masyarakat yang tertutup terhadap dunia luar. Hal ini menyebabkan semakin heterogennya masyarakat tersebut sehingga tidak semua kepentingan individual warga dapat dipenuhi secara mantap. Salah satu akibat dari tidak terpenuhinya kepentingan-kepentingan tersebut, baik material maupun spiritual adalah munculnya kelompok-kelompok volunter. Kelompok volunter mencakup orang-orang yang mempunyai kepentingan sama, namun tidak mendapatkan perhatian masyarakat yang daya jangkaunya semakin luas. Mereka mencoba memenuhi kepentingan anggota dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga tidak mengganggu kepentingan masyarakat secara luas.

Kelompok-kelompok volunter mungkin didasarkan pada kepentingan-kepentingan primer yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan, keselamatan jiwa dan harta benda, harga diri, mengembangkan potensi diri, kasih sayang, dan sebagainya. Selain itu, kepentingan primer juga didasarkan pada kepentingan sekunder, misalnya kebutuhan rekreasi. Dengan berbagai landasan tersebut, timbul aneka macam kelompok volunter yang mungkin berkembang menjadi kelompok-kelompok yang mantap dan diakui masyarakat umum.

8) Kelompok Keanggotaan (Membership Group) dan Kelompok Acuan (Reference Group)

Kelompok keanggotaan (membership group atau appartenance group) adalah kelompok yang menunjukkan seseorang secara resmi dan secara fisik menjadi anggota. Orang lain dapat dengan mudah dan pasti menentukan dari kelompok mana orang tersebut berasal atau sebagai anggota kelompok mana melalui tanda pengenal yang dimilikinya. Contohnya, Andi berprofesi sebagai guru, bukti yang menunjukkan dia sebagai anggota dari membership group adalah Kartu Anggota PGRI yang menjelaskan bahwa Andi telah diterima secara sah sebagai anggota PGRI.

Dalam masyarakat yang belum mengenal administrasi secara baik, keanggotaan seseorang ditunjukkan dengan keberadaannya secara fisik yang selalu bersama-sama dengan anggota kelompok. Kelompok acuan (reference group) adalah kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Seseorang yang bukan anggota kelompok (orang dari luar kelompok) menerima pengaruh dari suatu kelompok, dia menjalin ikatan batin dan berusaha menyesuaikan diri serta mengidentifikasikan diri dengan kelompok tadi karena dia berpandangan bahwa kelompok tersebut berguna untuk mengembangkan kehidupannya. Contohnya, Andi sebagai anggota PGRI menjalin hubungan secara tersembunyi atau terang-terangan dengan koperasi yang ada di daerahnya. Walaupun bukan anggota koperasi tersebut, dia berusaha mengembangkan prinsip-prinsip koperasi dalam kehidupannya karena terbukti bahwa koperasi sangat bermanfaat bagi pengembangan ekonomi keluarganya. Koperasi dalam hal ini merupakan reference group bagi Andi.

Kenyataan sosial menunjukkan bahwa jumlah anggota masyarakat yang menjadi reference group jumlahnya relatif banyak, terutama dengan kelompok keagamaan. Artinya tidak menjadi anggota resmi agama tertentu, tetapi mereka berusaha menyesuaikan diri dengan ajaran agama yang secara hakiki dapat menciptakan ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Dalam keadaan tertentu, antara reference group dan membership group agak sulit dipisahkan. Contohnya, seorang anggota partai politik menjadi anggota DPR. DPR merupakan membership baginya, tetapi jiwa dan jalan pikirannya tetap terikat pada partainya. Hal ini sering menampak kan segi-segi negatif karena anggota dewan yang terhormat terlampau berpegang pada prinsip-prinsip reference group (partainya).

9) Kelompok Penekan (Pressure Group)

Kelompok penekan adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya bertujuan memperjuangkan kepentingan mereka di tengah masyarakat luas dengan cara menggunakan tekanan sosial. Kelompok penekan termasuk kelompok sekunder dan umumnya mempunyai anggota relatif besar, tetapi yang digunakan sebagai penekan hanyalah sebagian kecil dari anggota kelompoknya. Mereka terdiri atas orang-orang potensial yang mampu menguasai dan mengendalikan masyarakat sehingga mampu mempromosikan kepentingannya. Kelompok penekan umumnya terdapat dalam masyarakat yang menganut sistem demokrasi liberal, yaitu setiap individu sebagai anggota masyarakat mempunyai kebebasan yang sangat besar untuk menyampaikan aspirasinya.

c. Kelompok Teritorial atau Komunitas Sosial

Kata komunitas (community) berasal dari bahasa Latin (communire) atau communia yang berarti memperkuat. Dari kata ini, dibentuk istilah komunitas yang artinya persatuan, persaudaraan, kumpulan, masyarakat. Komunitas sosial adalah suatu kelompok teritorial yang membina hubungan para anggotanya dengan menggunakan sarana-sarana yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Komunitas merupakan kelompok sosial yang memiliki ciri tersendiri dalam hal kebersamaannya. Komunitas merupakan bagian dari masyarakat, tetapi berbeda dengan kolektivitas atau kerumunan.

1) Ciri-Ciri Komunitas Sosial

a) Kesatuan Hidup yang Tetap dan Teratur

Sebagai suatu kelompok sosial, komunitas merupakan kesatuan hidup manusia yang tetap dan teratur. Hubungan antar anggotanya berlangsung secara akrab, kekeluargaan, saling mengenal (face to face), saling menolong.

b) Bersifat Teritorial

Unsur utama dan khas yang menunjukkan suatu kelompok sosial sebagai komunitas sosial adalah daerah yang sama tempat kelompok tersebut berada. Oleh karena itu, komunitas sering disebut masyarakat setempat. Contohnya, kelompok sosial yang bertempat tinggal di lingkungan RT, RW, desa. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam komunitas tidak mengandung pengertian regionalisme atau daerah yang luas seperti kabupaten atau provinsi.

2) Jenis Komunitas Sosial

a) Komunitas Pedesaan

Orang-orang memberikan pengertian tentang desa didasarkan pada sudut pandang masing-masing. Ditinjau dari sudut administrasi, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah kepemimpinan seorang kepala desa dan berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan suatu negara.

Secara geografis, desa adalah hasil perpaduan antara kegiatan kelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau penampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi dalam hubungannya dengan daerah lain. Phillips

Ruop mengemukakan bahwa secara sosiologis, desa merupakan sebagai berikut.
1. Daerah yang sama dilihat dan segi geografis dan administratif;
2. Nilai sosial yang sama, artinya seluruh anggota masyarakat desa menganut nilai-nilai sosial yang sama;
3. Kegiatan yang sama terutama dalam sistem mata pencaharian.
Masyarakat desa pada umumnya di bidang pertanian yang tidak lepas dari pengaruh lingkungan alam seperti, tanah, iklim dan morfologi (dataran, pegunungan, pantai); dan tata kelakuan. Corak kehidupan di desa didasarkan pada kekeluargaan yang erat dan termasuk pada masyarakat paguyuban.

b) Komunitas Perkotaan

Para sarjana sosiologi memberikan definisi tentang kota secara berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

(1) Max Weber

Suatu tempat disebut kota apabila penduduk atau masyarakatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.

(2) Wright

Kota adalah pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, serta dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Akibatnya hubungan sosial menjadi longgar, acuh tak acuh dan tidak bersifat pribadi.

(3) Haris dan Ulman

Kota merupakan pusat pemukiman dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Kota-kota sekaligus merupakan paradoks. Pertumbuhannya cepat dan luasnya kota-kota menunjukkan keunggulan dalam mengeksploitasi bumi. Di pihak lain, berakibat munculnya lingkungan miskin bagi manusia.

Berdasarkan pengertian tersebut, tampak beberapa aspek yang merupakan ciri kehidupan dalam komunitas perkotaan.
1. Suatu tempat disebut kota apabila penduduk atau masyarakatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
2. Masyarakat perkotaan bertempat tinggal di tempat-tempat yang strategis untuk dua kebutuhan penting, yaitu perekonomian dan pemerintahan. Tempat-tempat yang demikian memberi jaminan terhadap kelancaran transportasi, komunikasi, dan informasi. Misalnya, di sepanjang jalannya, di daerah pantai dan di sekitar sungai besar.
3. Struktur hidup perkotaan yang mencakup keanekaragaman penduduk, ras, etnis dan kebudayaan.
4. Kota merupakan kumpulan kelompok sekunder, seperti asosiasi pendidikan, partai politik, pemerintahan, perekonomian.
5. Pergaulan hidup penduduk kota bersifat individualisme, setiap orang tidak bergantung kepada orang lain. Akibatnya antar individu tidak saling mengenal, hubungan pribadi berubah menjadi hubungan kontrak, komunikasi dilakukan melalui media komunikasi massa, seperti koran, majalah, radio, televisi, telepon dan sebagainya.
6. Terdapat permukiman yang terbagi dalam beberapa lokasi atau blok sesuai dengan jenis pekerjaan orang yang menempatinya, seperti, daerah pertokoan, daerah kemiliteran, daerah kumuh (slum).
7. Kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat tampak secara jelas yang tercermin dalam sarana atau prasarana kehidupan penduduk.
8. Pola berpilar bersifat rasional dan cenderung disesuaikan dengan situasi yang berkembang di masyarakat.
9. Memiliki jiwa urbanisme, sikap dan perilaku masyarakat kota selalu berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c) Komunitas Religius

Komunitas religius adalah suatu bentuk kehidupan bersama yang didasarkan atas motif keagamaan. Setiap aspek kehidupan dilandasi nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama. Berikut ciri-ciri yang tampak dalam komunitas religius.
1. Sikap dan perilaku yang diwujudkan dalam tindakan dan interaksi sosial senantiasa memperhatikan norma-norma yang sesuai dengan agama yang dianutnya.
2. Simbol-simbol yang digunakan dalam pakaian, tempat ibadah serta benda lain diwarnai ajaran agamanya.
3. Menciptakan keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
4. Bertempat tinggal di lingkungan tempat-tempat ibadah atau tempat menuntut ilmu keagamaan.
d) Komunitas Ekonomi

Komunitas ekonomi adalah suatu bentuk hidup bersama yang sebagian besar kegiatan penduduknya berorientasi di bidang ekonomi. Setiap aspek kehidupan dilandasi dengan hal-hal yang memiliki nilai-nilai ekonomi. Komunitas ekonomi pada umumnya berada di kawasan perindustrian, perdagangan, dan jasa. Contohnya, masyarakat Cibaduyut di Kota Bandung, hampir seluruh anggota masyarakatnya berprofesi sebagai pengrajin sepatu (home industry).

Beberapa ahli sosiologi juga mengklasifikasikan kelompok sosial ke dalam beberapa jenis sebagai berikut.
1. Emille Durkheim membagi kelompok sosial yang didasarkan pada Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri dari masyarakat yang sederhana dan belum mengenal adanya pembagian kerja. Tiap-tiap kelompok dapat memenuhi keperluan mereka sendiri tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Pada masyarakat dengan solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah persamaan perilaku dan sikap. Kesadaran kolektif menjadi dasar ikatan seluruh warga masyarakat, yaitu suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok yang ada di luar warga dan bersifat memaksa. Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat yang telah mengenal adanya pembagian kerja (masyarakat kompleks) sehingga unsur-unsur di dalam masyarakat tersebut saling bergantung. Pada masyarakat dengan solidaritas organik, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat adalah kesepakatan yang terjalin di antara berbagai profesi.
2. Ferdinand Toennies memberi penjelasan bahwa kelompok di dalam masyarakat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gemeinschaft dan gesselschaft. Gemeinschaft atau paguyuban adalah kehidupan bersama yang anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, alamiah, dan kekal. Contohnya, keluarga dan rukun tetangga. Adapun gesselschaft atau patembayan adalah ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek dan dinamis. Contohnya, ikatan antara pedagang dan pembeli atau organisasi buruh dalam suatu pabrik.
3. Charles H. Cooley dan Ellsworth Farris berpendapat bahwa di dalam masyarakat terdapat kelompok primer yang ditandai dengan hubungan antar anggotanya berlangsung secara bertatap muka, saling mengenal, mesra dan akrab, kerja sama yang erat dan bersifat pribadi. Ruang lingkup terpenting kelompok ini adalah keluarga, teman sepermainan, rukun tetangga. Pergaulan yang intim ini menghasilkan keterpaduan indvidu dalam satu kesatuan yang membuat seseorang hidup dan memiliki tujuan kelompok bersama.
4. W.G. Sumner membagi kelompok menjadi dua yaitu in-group (kelompok dalam) dan out-group (kelompok luar). Kelompok sosial yang individu mengidentifikasi dirinya merupakan in-group-nya dalam kelompok tersebut. Adapun out-group diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in-group-nya. Sikap ingroup biasanya didasarkan pada faktor simpati, kedekatan dengan anggota kelompok, kerja sama, keteraturan, dan kedamaian. Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipati. Jika kelompok dalam berhubungan dengan kelompok luar maka terjadi rasa kebencian, permusuhan, perang atau perampokan. Rasa kebencian ini terus diwariskan hingga membentuk perasaan kelompok dalam (in-group feeling). Anggota kelompok dalam menganggap kelompok mereka sendiri sebagai pusat segalanya (etnosentris).
Kajian Sumner tersebut dapat dijelaskan dalam masalah tawuran antarsiswa. Di kalangan siswa dari suatu sekolah dapat muncul in group feeling yang kuat dan terwujud dalam rasa solidaritas, kesetiaan, dan pengorbanan. Perasaan tersebut memunculkan etnosentrisme sehingga mereka memandang siswa dari sekolah lain dengan penuh rasa permusuhan yang terus diwariskan ke adik kelasnya.

1.5. Terbentuknya Norma Kelompok

Perilaku kelompok, sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku dalam kelompok itu. Dalam dunia sosial pada umumnya, kegiatan dalam kelompok tidak muncul secara acak. Setiap kelompok memiliki suatu pandangan tentang perilaku mana yang dianggap pantas untuk dijalankan para anggotanya. Dalam hal ini, adanya pedoman atau patokan agar seseorang dapat berperilaku sebagaimana aturan yang telah disepakati bersama berupa aturan atau kaidah yang mengatur kehidupan anggotanya, baik berupa suatu keharusan, anjuran, maupun larangan. Aturan atau kaidah tersebut sering disebut sebagai norma kelompok dan norma-norma ini mengarahkan interaksi kelompok.

Norma muncul melalui proses interaksi yang perlahan-lahan di antara anggota kelompok. Pada saat seseorang berperilaku tertentu, pihak lain menilai kepantasan atau ketidakpantasan perilaku tersebut, atau menyarankan perilaku alternatif. Norma terbentuk dari proses akumulatif interaksi kelompok. Oleh karena itu, ketika seseorang masuk ke dalam sebuah kelompok, perlahan-lahan akan terbentuk norma, yaitu norma kelompok. Contohnya, kedisiplinan dalam kelompok Paskibra di sekolah, kerja sama dalam klub sepakbola. Apabila salah seorang pemain sepakbola tidak mengerti aturan kerja sama, ia dikenakan sanksi dengan dikeluarkan dari klubnya. Dengan kata lain, norma kelompok ialah ukuran suatu kelompok yang menentukan apa yang harus dilakukan, apa yang harus dimiliki, dipercayai, dan dikehendaki oleh seseorang sebagai anggota kelompok tersebut.

B. Perkembangan Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. (Sumber: Pengantar Sosiologi, 1993)

Multikultural berasal dari kata multi yang berarti banyak (lebih dari dua) dan culture artinya kebudayaan. Secara sederhana, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki lebih dari dua kebudayaan. Masyarakat multikultural tersusun atas berbagai budaya yang menjadi sumber nilai bagi terpeliharanya kestabilan kehidupan masyarakat pendukungnya. keragaman budaya tersebut berfungsi untuk mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakatnya.

Menurut Fuad Hassan, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupan sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang unik. Oleh karena itu, perbedaan antar kebudayaan justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.

Multikultural masyarakat dalam tatanan sosial agama dan suku bangsa telah ada sejak zaman nenek moyang. Kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khazanah budaya nasional. Diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lain, tetapi kurang dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Oleh karena itu, permasalahan multikultural justru merupakan suatu keindahan apabila identitas setiap budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya, serta dapat dihormati oleh kelompok masyarakat lain. Hal ini untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok apalagi apabila diwarnai kepentingan politik tertentu seperti digunakannya simbol-simbol budaya Jawa yang salah kaprah untuk membangun struktur dan budaya politik yang sentralistik.

Keragaman atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini, dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara tidak mengandung kebudayaan nasional yang tunggal.

Akan tetapi, keragaman tersebut hendaklah tidak ditafsirkan secara tunggal. Komitmen untuk mengakui keragaman merupakan salah satu ciri dan karakter utama masyarakat, negara-bangsa. Keragaman tidak lantas menjadi sumber kekacauan, distruksi sosial ataupun konflik yang berkepanjangan. Hal tersebut disebabkan adanya simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama.

Masyarakat Indonesia adalah gabungan semua kelompok manusia yang hidup di Indonesia. Suatu kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Akan tetapi, keadaan multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan untuk menyusun suatu kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa.

Pandangan “multikultural” sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika”, mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam kesatuan. Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Harus diupayakan secara terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Keragaman suku bangsa merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang seringkali dibanggakan. Banyak yang belum menyadari bahwa keragaman tersebut juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Semuanya ini, memiliki fokus terhadap kolaborasi, kerja sama, dan negosiasi perbedaan-perbedaan untuk menyelesaikan konflik. Sebagian besar masyarakat Indonesia menekankan pada kehidupan bersama, saling mendukung, dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hak dan kewajiban personal maupun komunal. Pada tahap ini, komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humanness), komitmen, dan kohesi kemanusiaan termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal. Manusia, ketika berhadapan dengan simbol-simbol, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola-pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkap kan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan (baik secara personal maupun komunal) dan kebudayaan yang dihasilkannya.

Dalam konteks ini, multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang beradab. Multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basic) bagi kewarganegaraan dan pendidikan. Masyarakat Indonesia adalah seluruh gabungan semua kelompok manusia yang hidup di Indonesia. Suatu kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”.

Dalam model multikulturalisme, suatu masyarakat dilihat sebagai sebuah kesatuan hidup manusia yang mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut, yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat yang lebih kecil sehingga membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, dan mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut. (Sumber: Reed.ed, 1997)


Gambar 2. Garuda Pancasila merupakan lambang negara Indonesia yang mencerminkan kesatuan masyarakat Indonesia yang multikultural. [1]
Multikulturalsime adalah sebuah ideologi, alat, atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, ekonomi dan bisnis, politik, dan berbagai kegiatan lainnya di masyarakat. Kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber daya, merupakan sumbangan sangat besar dan penting dalam upaya mengembangkan serta memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan juga sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri, terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan dalam memahami dan mengembang kan kehidupan bermasyarakat.

Untuk dapat memahami multikulturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep tersebut harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.

Kelompok sosial merupakan kelompok yang dinamis. Setiap kelompok sosial pasti mengalami perkembangan serta perubahan. Untuk meneliti gejala tersebut, perlu ditelaah lebih lanjut perihal dinamika kelompok sosial tersebut. Beberapa kelompok sosial bersifat lebih stabil daripada kelompok-kelompok sosial lainnya atau strukturnya tidak mengalami perubahan-perubahan yang mencolok. Ada pula kelompok-kelompok sosial yang mengalami perubahan-perubahan cepat, walaupun tidak ada pengaruh-pengaruh dari luar.

Akan tetapi pada umumnya, kelompok sosial mengalami perubahan sebagai akibat proses formasi ataupun reformasi dari pola-pola di dalam kelompok tersebut karena pengaruh dari luar. Keadaan yang tidak stabil dalam kelompok sosial terjadi karena konflik antarindividu dalam kelompok atau karena adanya konflik antarbagian kelompok tersebut sebagai akibat tidak adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan di dalam kelompok itu sendiri. Ada bagian atau segolongan dalam kelompok itu yang ingin merebut kekuasaan dengan mengorbankan golongan lainnya; ada kepentingan yang tidak seimbang sehingga timbul ketidakadilan; ada pula perbedaan paham tentang cara-cara memenuhi tujuan kelompok dan lain sebagainya. Semuanya itu mengakibatkan perpecahan di dalam kelompok hingga timbul perubahan struktur. Timbulnya struktur yang baru pada akhirnya juga bertujuan untuk mencapai keadaan yang stabil. Tercapainya keadaan yang stabil sedikit banyak juga bergantung pada faktor kepemimpinan dan ideologi yang dengan berubahnya struktur, mungkin juga mengalami perubahan-perubahan.

Kadang-kadang konflik dalam kelompok sosial dapat dikurangi atau bahkan dihapuskan, misalnya dengan mengadakan “kambing hitam” (scapegoating) atau kelompok tersebut menghadapi musuh bersama dari luar.

Perubahan struktur kelompok sosial karena sebab-sebab dari luar. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Perubahan situasi atau keadaan di mana kelompok tadi hidup. Perubahan pada situasi dapat pula mengubah struktur kelompok sosial tadi. Ancaman dari luar, misalnya seringkali merupakan faktor yang mendorong terjadinya perubahan struktur kelompok sosial. Situasi membahayakan yang berasal dari luar memperkuat rasa persatuan dan mengurangi keinginan-keinginan para anggota kelompok sosial untuk mementingkan diri sendiri.
2. Pergantian anggota-anggota kelompok, contohnya, personalia suatu pasukan. Angkatan bersenjata sering mengalami pergantian dan hal itu tidak selalu mengakibatkan perubahan struktur secara keseluruhan. Akan tetapi, ada pula kelompok-kelompok sosial yang mengalami kegoncangan-kegoncangan apabila ditinggalkan salah seorang anggotanya, apalagi kalau anggota yang bersangkutan mempunyai kedudukan penting misalnya, dalam suatu keluarga. Apabila seorang ayah yang menjadi tulang punggung keluarga kemudian meninggal dunia, hal ini dapat menimbulkan guncangan besar terhadap keluarga tersebut. Bisa saja keluarganya jatuh miskin karena tidak ada lagi yang menanggung kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.
3. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam situasi sosial dan ekonomi. Misalnya, dalam keadaan depresi suatu keluarga akan bersatu untuk menghadapinya walaupun anggota-anggota keluarga tersebut mempunyai agama ataupun pandangan politik yang berbeda satu dengan lainnya.
Di dalam dinamika kelompok, mungkin terjadi pertentangan antarkelompok. Apabila terjadi peristiwa tersebut maka secara hipotesis prosesnya adalah sebagai berikut.
1. Apabila dua kelompok bersaing, akan timbul stereotip.
2. Kontak antara kedua kelompok yang bermusuhan, tidak akan mengurangi sikap bermusuhan itu sendiri.
3. Tujuan yang harus dicapai dengan kerja sama, dapat menetralisasi kan sikap bermusuhan.
4. Di dalam kerja sama mencapai tujuan, stereotip yang semula negatif menjadi positif.
Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa. Contohnya, dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Konsep-konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, Hak Asasi Manusia (HAM), dan hak budaya komunitas. (Sumber: Kebudayaan Sebagai Ilmu, 1968)

Konflik antarkelompok mungkin terjadi karena persaingan untuk mendapatkan mata pencaharian hidup yang sama atau terjadi pemaksaan unsur-unsur kebudayaan tertentu. Di samping itu, mungkin ada pemaksaan agama, dominasi politik atau adanya konflik tradisional yang terpendam. Contohnya, adalah hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Reaksi golongan minoritas kelompok mungkin dalam bentuk sikap tindak menerima, agresif, menghindari atau asimilasi.

Masalah dinamika kelompok, juga menyangkut gerak atau perilaku kolektif. Gejala tersebut merupakan suatu cara berpikir, merasa dan beraksi suatu kelompok individu yang serta merta dan tidak berstruktur. Sebab-sebab suatu kumpulan individu menjadi agresif antara lain adalah:
1. frustasi selama jangka waktu yang lama;
2. tersinggung;
3. dirugikan;
4. ada ancaman dari luar;
5. diperlukan tidak adil;
6. terkena pada bidang-bidang kehidupan yang sangat sensitif.
Contoh kasusnya adalah perkembangan yang terjadi dalam dunia politik di negeri kita, yang memperlihatkan partai peserta pemilu dari yang semula berjumlah hanya tiga partai pada masa Orde Baru, kemudian berubah setelah memasuki masa pasca reformasi menjadi sistem multipartai yang memunculkan puluhan partai. Hal ini menandakan bahwa dinamika yang terjadi di masyarakat terjadi karena perubahan pola pikir dan sistem pemerintahan. Kelompok dalam bidang politik pada akhirnya memiliki tujuan dan cara yang berbeda dalam melaksanakan kemajuan masing-masing. Contoh lainnya adalah dalam bidang pendidikan, yaitu terjadinya perubahan kurikulum yang digagas oleh kelompok pendidik yang memiliki gagasan baru dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan.

Konflik antarkelompok terjadi karena ada kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.Secara skematis mungkin timbul pola-pola sebagai berikut.


C. Keanekaragaman Kelompok Sosial dalam Masyarakat Multikultural

Kelompok sosial sangat penting karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Tanpa kita sadari, sejak lahir hingga kini Anda telah menjadi anggota bermacam-macam kelompok.

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat majemuk yang memiliki lebih dari dua kebudayaan yang timbul akibat adanya kegiatan dan pranata khusus. Kelompok-kelompok sosial yang muncul akibat semakin kompleksnya kegiatan manusia dan banyaknya lembaga-lembaga (pranata) sosial yang mewadahi kebutuhan dan kegiatannya, telah memunculkan keanekaragaman kelompok sosial sebagai wujud dari masyarakat multikultural.

Keanekaragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini, dan di waktu-waktu mendatang. Keanekaragaman kelompok sosial terus tumbuh dan berkembang semakin kompleks dalam kehidupan masyarakat majemuk, yang tidak hanya didasarkan pada perbedaan suku, agama, dan ras. Keanekaragaman kelompok sosial dilatarbelakangi oleh faktor-faktor aktivitas manusia yang semakin kompleks dan pranata-pranata sosial yang semakin beragam untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.

Keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat yang majemuk merupakan salah satu ciri masyarakat Indonesia yang seringkali dibanggakan. Banyak yang belum menyadari bahwa di balik kemajemukan juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara apabila tidak pandai-pandai dalam mengelolanya. Munculnya berbagai konflik sekarang ini merupakan bukti dari adanya perbedaan tersebut.

Seseorang mengaku sebagai anggota dari suatu suku bangsa karena dia dilahirkan oleh orangtua dari suku bangsa tertentu atau berasal dari daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jati diri lainnya (misalnya status sosial) yang diperoleh seseorang dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti, jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Jati diri suku bangsa akan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Walaupun jati diri suku bangsa dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, ia tidak dapat di buang atau dihilangkan.

Dalam setiap interaksi, jati diri akan tampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jati dirinya sesuai dengan hubungan status sosial atau kedudukan masing-masing (Suparlan 1999). Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga suatu suku bangsa, mau tidak mau akan hidup berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya.

Sadar atau tidak sadar yang bersangkutan hidup ber pedomankan kebudayaan suku bangsanya sebab dalam proses pembelajarannya dari masa anak-anak hingga dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut kebudayaan suku bangsanya seperti dipunyai oleh orangtuanya.

Dalam masyarakat Indonesia, suku bangsa dan kesukubangsaan adalah sebuah ide dan kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ruang lingkup batas-batas kesukubangsaan, stereotipe dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu hubungan antarsuku bangsa yang tidak terbatas. Akibatnya, sering terjadi salah pengertian dalam komunikasi antarsuku bangsa yang menyebabkan semakin lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang membatasi hubungan antara dua suku bangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut dari stereotipe dan prasangka ini adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh suku bangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah dan nonpribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Sebagai contoh, konflik antara orang pribumi dan orang Tionghoa yang tidak pernah dapat dituntaskan.

Perpindahan dan pertemuan antara kelompok penduduk yang berbeda latar belakang sosial budaya di suatu daerah bukannya tidak membawa dampak terhadap kehidupan sosial. Benturan-benturan antara penduduk asli dan penduduk pendatang sangat dimungkinkan terjadi mengingat latar belakang sosial, budaya, dan agama kelompok-kelompok tersebut berlainan atau bahkan bertentangan satu sama lain. Benturan sosial budaya tersebut akan menimbulkan konflik sosial. Jika tidak segera saling dipertemukan dan dikelola untuk merumuskan konsensus bersama agar terwujud integrasi sosial.

Gejala etnosentrisme, prasangka negatif dan perilaku diskriminatif antaretnik, yang menyangkut adat istiadat, bisa menjadi penghambat dalam interaksi serta pergaulan antaretnis. Gejala ini tidak hanya dalam masyarakat tradisional, tetapi juga dalam masyarakat modern. Akibatnya, bisa menimbulkan sikap tegang dan bermusuhan. Hal ini juga ditegaskan oleh Koetjaraningrat yang menyatakan bahwa hubungan dan interaksi antara etnik yang berbeda merupakan suatu keadaan yang mengandung potensi konflik. Hubungan antara warga yang berbeda biasanya juga dilatarbelakangi oleh sikap prasangka etnik. Selain itu, setiap etnik biasanya sangat terikat pada folkways masing-masing dan cenderung memegang kuat identitas diri mereka. Keterikatan etnik atas nilai-nilai budayanya mengakibatkan semakin kuatnya rasa in group yang cenderung meremehkan kelompok luar.

Potensi ini semakin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis yang semakin memperkokoh tembok pembatas antara kekitaan dan kemerekaan. Mereka merasa bahwa keyakinan yang dimilikinya adalah yang paling baik. Sikap ini akhirnya akan menimbulkan chauvinisme, intoleransi, oposisi terhadap folkways lain, penghinaan, prasangka, penafsiran sepihak, dan sebagainya.

Dalam kasus Indonesia, segala konflik yang ada, baik berdasar asumsi radikal maupun fungsionalis, mengarah pada konflik etnis. Konflik etnis merupakan gejala sosial politik permanen dalam dunia modern. Hampir tidak ada negara yang bebas dari permasalahan itu. Dalam penelitian yang dilakukan antara tahun 1945-1980, korban jiwa akibat konflik etnis lebih banyak jumlahnya daripada kombinasi konflik lainnya. Renner berpendapat, konflik etnis dalam sebuah negara terjadi karena pemetaan atau pembagian wilayah yang dilakukan kolonialis tidak mempertimbangkan kepentingan kultural. Akibatnya, bangsa yang sama dan semula satu menjadi terpisah-pisah dan tergabung dengan bangsa lain yang asing dengan kultur mereka, bahkan bertentangan dan kemudian terjebak dalam konflik permanen.

Eksistensi negara-negara multietnis mempunyai lima kemungkinan terjadinya model regulasi konflik etnis, yaitu sebagai berikut.
1. Partisi; adalah pemisahan secara tegas antara satu etnis dan etnis lain. Model ini jarang digunakan sebab hanya terjadi ketika sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dan garis demarkasi negara.
2. Dominasi satu etnis terhadap etnis lain; yaitu bentuk yang biasanya melalui kekerasan atau tindakan diskriminatif.
3. Asimilasi; merupakan bentuk halus dan maju dari model kedua, namun dilakukan dengan cara yang alami.
4. Konsolidasi; Sistem yang mengakui eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan-perbedaan itu. Dalam model ini, kelompok mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam berbagai hal, tetapi diputuskan berdasarkan konsensus dan kompromi.
5. Akomodasi; adalah pengakuan terhadap semua etnis tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini mungkin lebih tepat disebut sinkretisme; negara berusaha mengakomodasi dan mengapresiasikan berbagai perbedaan yang ada dan menganggap semua etnis yang ada memiliki posisi yang sama dan diperlakukan secara adil.
Kerukunan merupakan tujuan yang diharapkan oleh semua masyarakat yang berbeda-beda dalam kelompok tersebut. Kerukunan hidup merupakan konsensus yang harus dicapai yang mencakup kerukunan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kerukunan individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok; juga kerukunan antara institusi sosial dan kerukunan antara masyarakat dan pemerintah.

Kemampuan masyarakat dalam memberdayakan organisasi dan kelembagaan pada umumnya menunjukkan kondisi yang relatif masih rendah. Hal ini tampak dari masih kuatnya pengaruh budaya tradisional, terutama di kalangan masyarakat petani, nelayan, dan berbagai komunitas lapisan bawah. Dampaknya, ketika terjadi perubahan sosial, ekonomi, politik, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat dan makin canggih, mereka mengalami goncangan budaya (cultural shock) yang hebat; indikasinya, nilai-nilal dan norma lama sudah ditinggalkan sementara nilai-nilai pengganti yang bercorak modern belum ditemukan. Contohnya, budaya gotong royong bergeser menjadi kerja dengan sistem upah yang setiap kegiatan selalu diukur dengan nilai uang (pamrih) dan sikap individualistik.

Fenomena tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan pengamalan dalam memaknai berbagai aspek kehidupan seharihari yang saling terkait, seperti aspek ideologi, ekonomi, konflik sosial, politik, pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang masih penuh dengan ketidakpastian dan tantangan berat. Banyak peristiwa konflik sosial yang saling terkait dengan politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru untuk penyelesaian konflik dan penguatan ketahanan masyarakat lokal. Dialog kerukunan antar komponen masyarakat makin penting diposisikan sebagai subsistem dalam kerangka pembangunan masyarakat. Pihak-pihak yang memegang peranan penting sebagai perancang dan pelaksana dialog adalah para pemimpin masyarakat.

Dialog antar komponen masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat manusia yang secara kasat mata menunjukkan bahwa keragaman dan perubahan kebudayaan atau dinamika sosial sering mengarah pada situasi konflik.

Dialog pada masyarakat multikultur mempunyai beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
1. Sebagai wahana komunikasi antara orang-orang yang berada pada tingkat yang relatif sama;
2. Merupakan upaya untuk mempertemukan hati dan pikiran antarsesama anggota masyarakat;
3. Dapat dijadikan jalan bersama untuk menjelaskan kebenaran atas dasar kejujuran dan kerja sama dalam kegiatan sosial untuk kepentingan bersama dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan dan keteraturan hidup bermasyarakat;
4. Untuk memahami, mengidentifikasi, dan mensosialisasikan kebijakan, konsep, dan langkah-langkah kerukunan hidup bermasyarakat;
5. Untuk pembinaan kerukunan umat manusia dalam rangka pengendalian konflik.
Contoh Soal (UN SMA IPS, 2003) 1 :

Berikut ini adalah contoh interaksi antara kelompok dan kelompok ....

a. Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Negara-Negara Nonblok
b. Lembaga Permasyarakatan Cipinang memantau seorang napi yang sudah bebas
c. Presiden Megawati memimpin rapat
d. Seorang pengemudi truk menabrak sekelompok penonton
e. Seorang guru yang sedang mengajari siswa-siswanya di dalam kelas

Jawaban: a

Negara-negara non-blok merupakan kelompok.

3.1. Sikap Toleransi dan Empati Sosial terhadap Keragaman

Berbicara tentang toleransi dan empati dalam hubungan keragaman dan perubahan kebudayaan, dihadapkan pada dua permasalahan: Pertama, bagaimana membangun kembali semangat “saling percaya” dalam interaksi antarkomunitas atau kelompok sosial setelah berlangsungnya konflik-konflik komunal yang menggunakan sentimen suku bangsa atau etnis, agama, ras, politik, dan ekonomi di berbagai daerah. Kedua, bagaimana komunitas atau kelompok sosial dapat hidup berdampingan dengan diversitas budaya atau komunitas subkultur yang berbeda, seperti budaya kosmopolitarisme, globalisme, budaya popular, budaya etnik, dan budaya lokal yang dilahirkan oleh masyarakat multikukural. Permasalahan tersebut sangat relevan dengan semakin kuatnya penggunaan politik identitas dalam berbagai konflik komunal di masa transisi seperti terjadi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

Adapun di antara sikap toleransi dan empati sosial terhadap hubungan keanekaragaman dan perubahan kebudayaan diwujudkan dalam perilaku berikut ini.

a. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya

Seperti halnya pada masyarakat Indonesia, sikap saling percaya sebagai kekuatan mewujudkan komunitas humanistik atau komunitas warga (civic community) mengalami kemerosotan ketika kekuasan rezim Orde Baru mengatasnamakan keanekaragaman komunitas atau kelompok sosial yang membatasi kebebasan sipil dan kebebasan politik. Kekuasaan otoriter itu juga yang membangun yang kemudian disebut ideologi SARA. Dengan demikian, sesuatu bekerjanya pengendalian politik atas pluralisme menyebabkan kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis melalui kesepakatan dan keseteraan secara politis, soltdaritas, kepercayaan (truste), toleransi, serta struktur sosial yang kooperatif antarwarga, memudar digantikan oleh peran negara di seluruh sektor kehidupan. Upaya mengembalikan sikap saling percaya yang sempat goyah akibat pertikaian antarkelompok sosial, tidaklah mudah.

b. Membangun Masyarakat Anti-SARA

SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan atas sentimen identitas yang menyangkut suku bangsa agama, ras atau keturunan, dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi, dan pelecehan yang didasarkan atas identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tindakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan hak-hak asasi atau mendasar yang melekat pada diri manusia. SARA yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat digolongkan ke dalam tiga kategori berikut ini.
1. Personal, yaitu tindakan SARA yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Hal yang termasuk kategori ini adalah tindakan dan pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan, dan menghina identitas seseorang atau golongan.
2. Institusional, yaitu tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu institusi sosial, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau’ tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
3. Kultural, yaitu tindakan SARA yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau institusi sosial yang diwujudkan dalam bentuk penyebaran mitos, tradisi, dan ide-ide diskriminatif melalul struktur budaya masyarakat.
Anti-SARA adalah suatu tindakan sistematis untuk memerangi masalah SARA dalam berbagai bentuk, termasuk sistem dan kebijakan diskriminatif serta sentimen-sentimen SARA yang secara tidak sadar telah tertanam dalam diri setiap anggota masyarakat sejak usia kanak-kanak. Oleh karena itu, persoalan SARA sering melibatkan persoalan kekuatan ekonomi dan politik, yang suatu kelompok berhasil menguasai kekuatan ekonomi atau politik dan tidak bersedia mendistribusikan kepada kelompok lainnya.

Gerakan moral Anti-SARA berupaya untuk mengikis ketimpangan-ketimpangan tersebut melalui suatu sistem yang mengoreksi dan mengakomodasi ketidakadilan sosial. Dalam implementasinya, gerakan moral Anti-SARA aktif menggalang partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memerangi SARA. Penyakit sosial yang telah berusia berabad-abad ini akan terus merajalela jika tidak segera dihentikan. Walaupun penyebab timbulnya penyakit kronis ini bukan sepenuhnya kesalahan masyarakat saat ini, upaya penyembuhannya merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat.

Masyarakat Anti-SARA adalah sekelompok manusia, baik terikat dalam sebuah institusi maupun sebagai publik, yang sikap dan perilakunya senantiasa dilandasi dengan penuh toleransi dan empati sosial yang tinggi dalam menyikapi setiap perbedaan identitas, seperti suku bangsa, agama, ras atau keturunan, dan golongan. Mereka selalu berupaya menyingkirkan segala hal yang berbau SARA, yang ditunjukkan dengan kemampuan bekerja sama dengan seluruh komponen masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.

Masyarakat Anti-SARA di Indonesia merupakan organisasi independen yang memperjuangkan terciptanya tatanan masyarakat yang menjunjung keadilan sosial dan persamaan hak bagi seluruh umat manusia tanpa mempedulikan latar belakang. Juga, dalam memperjuangkan aspirasinya, organisasi ini bersifat antikekerasan dan tidak mengenal batasan keanggotaan; terbuka untuk semua warga masyarakat tanpa membedakan latar belakang suku bangsa agama, ras atau keturunan, dan golongan.

Sebagai institusi sosial yang bersifat nirlaba, kegiatan organisasi ini didanai oleh sumbangan masyarakat dan usaha-usaha lain yang tidak mengikat. Organisasi ini juga aktif membina kerja sama dengan berbagai institusi lainnya dalam mengembangkan dan menciptakan progam sena proyek serupa, dalam rangka membangun kerukunan SARA serta persamaan hak demi terwujudnya keharmonisan hidup bermasyarakat.
3.2. Tujuan dan Kebijakan Masyarakat Anti-SARA Indonesia

Di antara tujuan didirikannya Masyarakat Anti-SARA Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Memerangi segala bentuk sikap dan perbuatan yang berbau SARA.
2. Memberikan pendidikan dan penerangan kepada masyarakat tentang pentingnya sikap toleransi dan empati sosial terhadap hubungan keanekaragaman dan perubahan kebudayaan.
3. Menggalang partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang anti-SARA.
4. Mendorong terciptanya komunitas masyarakat yang hidup dalam keteraturan dan keseimbangan dalam keanekaragaman sosial budaya.
Kebijakan Masyarakat Anti-SARA Indonesia yang dijadikan landasan dalam melaksanakan aktivitas organisasinya adalah sebagai berikut
1. Masyarakat Anti-SARA Indonesia memiliki komitmen untuk menciptakan komunitas sosial yang menghargai keanekaragaman sosial budaya serta menghormati persamaan hak warganya. Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan latar belakang suku bangsa agama, ras atau keturunan, dan golongan merupakan prinsip dasar yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia. Hak dan kemerdekaan setiap manusia harus dijamin dalam implementasinya tanpa ada diskriminasi. Dalam konteks inilah, Masyarakat Anti-SARA Indonesia tidak toleran terhadap segala tindakan yang berbau SARA.
2. Masyarakat Anti-SARA Indonesia percaya bahwa perubahan hanya akan terjadi ketika menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dan layak untuk dihormati, termasuk mereka yang memiliki pandangan yang sangat jauh berbeda dengan kita. Setiap orang harus tetap sadar agar terhindar dari sikap yang hanya menghargai homogenitas karena mereka serupa, sepaham, atau sealiran. Dengan memperlakukan setiap manusia dengan rasa hormat, akan tercipta perubahan.
3. Masyarakat Anti-SARA Indonesia memiliki komitmen antikekerasan, tidak saja dalam tindakan, tetapi juga dalam sikap, kata-kata, dan pemikiran. Orang-orang yang kental dengan sentimen SARA bukanlah orang yang harus dibenci. Mereka hanyalah orang-orang yang keliru menerima informasi dan gagap menyikapi keanekaragaman. Tugas utama kita yang ingin mengadakan perubahan adalah memberikan penjelasan dan informasi yang benar kepada mereka tanpa menggunakan kekerasan, kemarahan, dan kebencian.
4. Masyarakat Anti-SARA Indonesia mempunyai tugas untuk membuktikan kepada mereka yang selalu menganggap dirinya benar bahwa penilaian mereka keliru. Hal tersebut dilakukan dengan sabar dan penuh hormat agar mendapatkan peluang yang lebih baik untuk membantu mereka dalam menyadari semua sikap dan perbuatannya melalui penerangan dan penjelasan yang sistematis dan logis. Alasannya tidak ada seorang pun yang akan bereaksi positif jika dikatakan bahwa apa yang dipercayai dan dikerjakan mereka selama ini adalah keliru. Ini merupakan reaksi yang wajar jika mereka bersikap depensif dan terkadang bersikap agresif. Jika kita membalasnya dengan sikap agresif kita tidak akan mendapatkan apa-apa.
5. Masyarakat Anti-SARA Indonesia memiliki prosedur terapi yang didesain untuk menjamin kerahasiaan setiap pengaduan, juga akan mendapatkan simpati dan dukungan. Tidak akan ada tindakan hukum yang ditempuh, kecuali jika disetujui oleh yang bersangkutan dan semua proses dijamin kerahasiaannya. Oleh karena itu, Masyarakat Anti-SARA Indonesia menerima setiap pengaduan yang mengalami perlakuan SARA atau diskriminasi.
Dengan berbagai latar belakang tersebut, komunitas Masyarakat Anti-SARA Indonesia dibentuk untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Tidak akan pernah ada keadilan dan demokrasi dalam suatu masyarakat yang memberikan peluang timbulnya diskriminasi dan agitasi atas dasar keturunan, agama, kebangsaan, kesukuan, atau golongan. Semua ini kembali kepada moralitas dan kesadaran setiap individu untuk ikut terpanggil dan menyuarakan persamaan hak dan derajat manusia tanpa melihat latar belakang mereka. Tidaklah cukup sekadar tidak bersikap diskriminatif. Setiap orang harus bangkit dan berusaha mengikis habis penyakit sosial ini dari masyarakat kita.

Persoalan SARA terkadang hanya diartikan sebatas diskriminasi ras, suku, agama, bahasa, dan kebudayaan. Sikap yang dilakukan penguasa atau pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak mementingkan kelas bawah atau masyarakat miskin pun merupakan persoalan. Kebijakan yang bervisi kerakyatan justru perlu lebih diperhatikan agar pemerintah tidak dituduh melakukan tindakan SARA.

Rangkuman :

a. Kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Oleh karena itu, kelompok sosial bukan hanya merupakan kumpulan manusia, tetapi juga mempunyai suatu ikatan psikologis yang diwujudkan dalam bentuk interaksi sosial secara tetap dan teratur.
b. Pengelompokan manusia umumnya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. keyakinan bersama akan perlunya pengelompokan;
2. harapan yang dihayati oleh anggota-anggota kelompok;
3. ideologi yang mengikat seluruh anggota;
4. setiap kelompok sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompoknya;
5. ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dan lainnya; dan
6. ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar anggota bertambah erat.
c. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki lebih dari dua kebudayaan atau masyarakat yang majemuk. Masyarakat majemuk terdiri atas berbagai budaya yang timbul akibat adanya kegiatan dan pranata khusus.
d. Masyarakat Indonesia adalah seluruh gabungan semua kelompok manusia yang hidup di Indonesia. Suatu kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”.

Anda sekarang sudah mengetahui Kelompok Sosial. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Waluya, B. 2009. Sosiologi 2 : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 130.

Sosiologi Pedesaan
Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
Menurut C.S. Kansil Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Menurut Bintarto Desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ(suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain.
Paul H. Landis Desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut : · Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa. · Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan. · Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan, alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. · Sistem kehidupannya berkelompok · Termasuk kedalam masyarakat homogen dalam hal matapencaharian, agama, adat-istiadat · Homogenitas Sosial · Hubungan primer · Kontrol sosial yang ketat · Gotong-royong · Ikatan sosial · Magis religius
Dari beberapa pengertian tentang desa diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa Desa adalah sebuah wilayah yang ditempati sejumlah penduduk yang daerahnya masih dipenuhi oleh pepohonan dan lahan kosong, dan kekerabatan diantara penduduknya sangat erat dimana penduduknya memiliki sistem pemerintahan sendiri.
Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik) Talcot Parsons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai berikut : Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompoktertentu saja.(lawannya Universalisme) Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi). Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar. Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam macam gejala, diantaranya sebagai berikut : Konflik (pertengkaran). Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar keluar rumah tangga.Sedang sumber banyak pertengkaran itu rupa-rupanya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dsb. Kontroversi (pertentangan) Pertentangan ini bisa disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat-istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic). Kompetisi (persiapan) Masyarakat Pedesaan adalah manusia yang mempunyai sifat-sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini.
Oleh karena itu maka wujud persaingan itu bisa positif dan bisa negatif. Kegiatan pada Masyarakat Pedesaan. Masyarakat pedesaan mempunyai penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan orang lain, jadi jelas bahwa masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas. Batasan. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungan kelompoknya. Yang mencakup hubungan di dalam dan antara kelompok-kelompok manusia. Unsur-unsur yang terdapat dalam batasan ini adalah manusia, hubungan dan kelompok. Perkataan socius dalam bahasa latin yang berarti teman, dan logos adalah ilmu atau pengetahuan, teman disini mempunyai arti yang luas dari pada yang dimaksudkan sehari-hari, yaitu pihak lain dalam suatu hubunga. Jadi bisa diartikan kawan maupun lawan. Sosiologi pedesaan adalah sosiologi yang melukiskan dan mencakup hubungan manusia didalamnya dan antara kelompok – kelompok yang ada di lingkungan pedesaan (rural dalam bahasa inggris). Perkataan pedesaan dalam pemakaian sehari- hari mudah saja untuk dimengerti. Tetapi jika harus diberikan batasan yang tepat adalah sukar juga. Jika kita ikuti Maksud untuk mempelajari sosiologi pedesaan adalah untuk mengumpulkan keterangan mengenai masyarakat pedesaan dan hubungan-hubungannya.yang melukiskan setelitinya tingkah laku, sikap, perasaan, motif, dan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan pedesaan itu. Hasil dari penelitian sosiologi pedesaan tadi dapat di pergunakan untuk usaha-usaha perbaikan penghidupan dan kehidupan manusia pedesaan. Misalnya usaha penyuluhan pertanian. Bacaan perkataan desa hanya dipakai di daerah jawa, Madura, bali, perkataan dusun dipakai di daerah sumatera selatan : di Maluku orang mengenal nama dusun dati, di batak perkataan dusun dipakai buat nama pendukuan. Di aceh orang memakai nama gambong dan meunasah buat daerah-hukum yang paling bawah. Di batak daerah-hukum setingkat dengan desa diberi nama kuta, uta atau huta.daerah –hukum di minangkabau dinamakan nagari, daerah-gabungan ada yang dinamakan luha, di daerah sumatera timur daerah-hukum yang paling bawah ialah suku. Disumatera selatan(kerinci, Palembang, Bengkulu) daerah-hukum di lampung nama dusun atau tiuh, di minahasa wanua, didaerah makasar ialah daerah-gaukang, dibugis adalah daerah-matowa. Penularan masyarakat ( social contagion) hal ini adalah penyebaran gagasan, sikap atau pola tingkah laku kepada sejumlah banyak orang, karena interaksi sosial dengan sedikit pencerminan akal (Ratio), bentuk penularan masyarakat ini bemacam-macam Mode, yaitu suatu yang aktif relatif singkat waktunya dan mengenai cara menghias diri, cara berbicara dan lain-lain pola tingkah laku. Ada sedikit tekanan untuk berlaku seragam itu, bukan kerena agama atau moral, tetapi karena banyak orang telah berbuat demikian sehingga lain-lainnya juga tidak mau ketinggalan. Contoh jelas adalah mode pada cara pakaian golongan wanita. Kegemaran, ini adalah pola tingkah laku yang pendek sekali umurnya dan daya tariknya terletak pada sifat kebaru-baruannya itu. Umpamanya cara berpakaian istimewa untuk sementara waktu, riasan rambut, model sepatu yang istimewa, dst Kegila-gilaan, juga umumnya pendek sekali dan daya tariknya baru dan serem. Contohnya seperti saling bermusuhan antara kelompok- kelompok pemuda, ngebut dengan sepeda motor, pemborongan barang-barang karena takut harganya naik, Epidemic sosiologi, hal ini mengenai penularan sosial dalam lapisan masyarakat yang luas. Biasanya dengan penuh emosi dan adanya kepentingan umum, kadang-kadang bersifat penyakit psychis. Contohnya seperti upacara magis dalam masa-masa genting. Sikap bermusuhan terhadap golongan tertentu, sikap takut dan gelisah terhadap keadaan ekonomi yang memburuk Gerakan masa,yang terdiri dari kerusuhan, kerusuhan sebagai aksi protes yang telah dikoordinasikan, tetapi secara spontan oleh berbagai lapisan masyarakat dimana-mana, karena merasa tidak puas dengan kondisi yang ada dan kegelisahan sosial. Gerakan masa berbeda dengan gerakan sosial, karane yang pertama tidak ada rencana dan pimpinan yang tersusun rapi.
Banyak sekali ahli mengemukakan definisi sosiologi pedesaan dengan segala kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Ada pendapat yang selalu menekankan bahwa desa dianggap sebagai desa pertanian, padahal pada kenyataan ada juga desa yang nonpertanian. Definisi lain masih menggambarkan desa dengan ideal yang artinya desa secara eksplisit berbeda dengan kota. Dengan banyaknya faktor-faktor eksternal yang masuk dan mempengaruhi kehidupan desa maka dapat dikatakan bahwa komunitas desa mulai berkembang ke arah komunitas kota, di mana adat-istiadat, tradisi atau pola kebudayaan tradisional desa mengalami proses perubahan.
pengertian sosiologi pedesaan adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan yakni hubungan antara manusia dengan manusia ,manusia dengan kelompok  dan kelompok dengan masyarakat ,baik formal maupun  material , baik statis maupun dinamis. pedesaan berasal dari suku kata desa yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu desi yang berarti tempat tinggal pengertian desa disini adalah suatu kesatuan masyarakat dalam wilayah jelas baik menurut suasana yang formal maupun informal. dimana satuan terkecilnya terdiri dari keluarga yang mempunyai wilayah dan otonomi sendiri dalam penyelengaraan kehidupan dan keterikatan antara keluarga keluarga dalam kelompok masyarakat terjadi sebagai akibat adanya unsurpenguat yang bersifat religius, tradisi dan adat istiadat.
Howard Newby mengatakan bahwa dalam mempelajari sosiologi pedesaan hendaknya diarahkan pada studi tentang adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh kapitalisme modern yang masuk ke desa. Latar belakang munculnya spesialisi sosiologi pedesaan karena permasalahan sosial yang timbul di desa di Amerika Serikat, yaitu datangnya para migran dan mengambil tanah yang tak bertuan serta mulai berkembangnya era industrialisasi di Amerika Serikat

DESA, LATAR BELAKANG UMUM EMPIRIK DAN TEORITIK
Kehadiran Desa, Penjelasan Empirik Umum
Secara umum sering kali terdapat persepsi yang salah tentang keberadaan masyarakat desa, di mana masyarakat desa cenderung dipandang rendah. Padahal kenyataannya masyarakat desa mempunyai peranan yang penting dalam sejarah pembentukan dan perkembangan peradaban masyarakat manusia.

Sebelum dikenal kegiatan bercocok tanam yang merupakan cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat desa, maka sejarah kehidupan manusia secara umum mengalami proses perkembangan yang sangat lamban. Sekitar 1.990.000 tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat bersahaja dengan sistem mata pencaharian food gathering economics (berburu, meramu, dan menangkap ikan). Sifat mata pencaharian semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk saling berhubungan dan menjalin kerja sama secara teratur dan permanen karena mereka harus selalu berpindah (mobil) mengikuti pola kehidupan binatang buruannya. Pola kehidupan mereka ini lebih menunjukkan pada bentuk pra-masyarakat, artinya belum mencerminkan kehidupan bermasyarakat yang teratur dan permanen.

Dikenalnya kegiatan bercocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu telah mengubah keadaan yang ada. Sifat tanaman yang terikat pada tempat (imobil) dan waktu telah memaksa orang untuk menetap. Biasanya mereka menetap pada tempat-tempat tertentu, yaitu di tempat-tempat yang subur seperti di tepi-tepi sungai dan danau, sehingga terjadilah pengelompokan. Di dalam pengelompokan ini terjadilah hubungan yang teratur di antara mereka. Selanjutnya dalam kondisi ini terciptalah akumulasi simbol-simbol yang merupakan awal dan landasan bagi perkembangan peradaban manusia. Kegiatan bercocok tanam juga menandai lahirnya fenomena desa sebab desa dalam pengertian pokoknya berarti tempat menetap dan bermukim dari sekelompok orang yang memiliki ketergantungan terhadap suatu tempat.

Latar Belakang Teoritik Studi Pedesaan
Masyarakat desa sering kali dipahami dalam keterkaitannya dengan kegiatan pertanian. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup memadai, sebab kita juga harus mengaitkannya dengan konteks perubahan dan perkembangan dunia karena desa juga merupakan bagian integral dari kehidupan dunia.
Agar mampu memahami desa dengan segala dinamikanya maka dibutuhkan teori atau perspektif (wawasan) sebagai kerangka berpikir. Dalam hal ini desa setidak-tidaknya dapat dijelaskan dari teori-teori tentang perubahan dan perkembangan sosial masyarakat.

Teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena desa adalah teori dari ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya teori sosiologi.Teori sosiologi yang digunakan adalah yang mengacu pada teori evolusi sosial dari Herbert Spencer, yang merupakan turunan dari teori evolusi biologi Charles Darwin. Teori evolusi sosial ini berusaha menjelaskan fenomena desa sebagai proses perubahan dan perkembangan masyarakat dari yang masih bersahaja menuju masyarakat yang kompleks. 
Ternyata teori evolusi sosial yang bersifat umum tersebut tidak cukup memadai untuk dapat menjelaskan fenomena masyarakat desa secara lebih komprehensif, sehingga diperlukan teori-teori yang sifatnya lebih khusus.Teori-teori ini mencoba menjelaskan perkembangan masyarakat lewat tahap-tahap tertentu. Teori-teori khusus ini merupakan model dikotomi dan trikotomi yang membagi masyarakat menjadi pilah dua maupun pilah tiga. Teori-teori ini termasuk ke dalam kubu teori modernisme. Terdapat kubu teori lain yang berlawanan dari kubu teori modernisme yaitu kubu teori dependensi. Kalau teori modernisasi berpendapat bahwa semua masyarakat akan berubah dan berkembang menjadi modern, maka teori dependensi berpendapat bahwa kapitalisme modern menyebabkan masyarakat pinggiran menjadi tergantung pada negara-negara maju sehingga mengalami keterbelakangan.
Mengingat bahwa pada kenyataannya terdapat dominasi dari sistem kapitalisme modern, penyebarluasan teknologi modern dan komunikasi informasi maka dalam menggunakan kedua kubu teori tersebut sebaiknya juga harus memperhatikan pendapat Howard Newby. H. Newby berpendapat bahwa studi mengenai masyarakat desa saat ini hendaknya memfokuskan perhatian pada proses penyesuaian masyarakat desa terhadap merasuknya sistem kapitalisme modern.

PENGERTIAN DESA, UMUM dan KHUSUS (INDONESIA)
Pengertian Desa
Pada umumnya pengertian desa sering dikaitkan dengan sektor pertanian, alasannya asal-muasal desa karena pengenalan cocok tanam. Secara keilmuan, ahli sosiologi menyatakan bahwa desa merupakan lingkungan di mana warga memiliki hubungan akrab dan bersifat informal. Paul H. Landis yang mewakili pakar sosiologi pedesaan,mengemukakan 3 definisi desa untuk tujuan analisis yang berbeda-beda,yaitu analisis statistik, analisis sosial psikologis, dan analisis ekonomi.

Menurut Roucek dan Warren, untuk memahami masyarakat desa dapat dilihat dari karakteristiknya yaitu
1. Besarnya peranan kelompok primer;
2. Faktor geografis sebagai dasar pembentukan kelompok;
3. Hubungan bersifat akrab dan langgeng;
4. Homogen;
5. Keluarga sebagai unit ekonomi;
6. Populasi anak dalam proporsi lebih besar.

Menurut Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman faktor-faktor yang dapat menentukan karakteristik masyarakat desa dan kota adalah:

1. mata pencaharian;
2. ukuran komunitas;
3. tingkat kepadatan penduduk;
4. lingkungan;
5. diferensiasi sosial;
6. stratifikasi sosial;
7. interaksi sosial;
8. solidaritas sosial.

Pada kenyataannya karakteristik itu terlalu sukar untuk diterapkan pada masyarakat desa yang nyata, karena seiring dengan semakin meningkatnya mobilitas sosial masyarakat dan berkembangnya jalur transportasi maka yang terjadi adalah semakin tipisnya perbedaan antara desa dan kota.

Pengertian Desa, di Indonesia
Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang fenomena keaslian desa di Indonesia. Beberapa pakar di Belanda seperti van den Berg dan Kern berpendapat bahwa desa-desa di Jawa adalah buatan India. Sedangkan pakar Belanda lainnya, yang diwakili oleh van Vollenhaven, de Louter, Brandes, dan Liefrinck, berpendapat bahwa desa-desa di Indonesia itu bersifat asli, Begitu juga dengan Sutardjo Kartohadikoesoemo, yang berpendapat bahwa desa-desa di Jawa itu asli, bukan buatan India maupun Belanda.
Di samping pendapat di atas, dikemukakan pula bahwa desa-desa tersebut juga bukan buatan Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa sebelum Indonesia merdeka, desa-desa tersebut sudah ada. Desa-desa tersebut mempunyai kedudukan sebagai desa yang mandiri. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka maka dilakukan beberapa pembenahan, yang juga menyangkut kedudukan desa sebagai desa yang mandiri tersebut. Melalui beberapa peraturan perundangan, desa mempunyai kedudukan sebagai kesatuan sosial dan hukum (adat) yang masih diberi kebebasan tertentu dan desa sebagai kesatuan administratif yaitu merupakan bagian integral dari Negara Republik Indonesia. Selanjutnya menurut Undang undang Nomor 5 Tahun 1979 pengertian desa dibedakan menjadi “desa” dan “kalurahan”. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang berisi tentang dimungkinkannya tindakan untuk membentuk, memecah, menyatukan dan menghapus desa dan kelurahan, membawa kemungkinan bagi perubahan pada desa dan kelurahan baik dalam hal volume maupun statusnya. Perubahan yang ada menunjukkan bahwa jumlah desa dari tahun ke tahun memperlihatkan adanya gejala kenaikan.
Berbicara tentang ciri khas desa tidaklah mudah, mengingat bahwa desa-desa di Indonesia sangat beragam. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat mengemukakan perlunya berbagai sistem prinsip yang dapat dipakai dalam mengklasifikasikan aneka warna bentuk desa di Indonesia. Di samping itu, untuk menandai ciri-ciri desa di Indonesia, perlu diperhitungkan pula faktor-faktor: 1) tingkat teknologi dan kondisi geografis, 2) keberagaman suku bangsa di Indonesia, 3) perbedaan dalam dasar-dasar peradaban suatu kawasan, dan 4) pengaruh kekuasaan luar desa.
Keberagaman desa-desa di Indonesia menyebabkan terjadinya kesulitan dalam usaha untuk menyeragamkan desa-desa tersebut. Salah satu kesulitan adalah kesulitan dalam mencari padanan desa di Jawa dengan fenomena serupa yang ada di luar Jawa. Usaha yang telah dilakukan antara lain adalah pembakuan desa di Indonesia lewat Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1969 (Nomor Desa 5/1/29) kepada para gubernur seluruh Indonesia.





STRUKTUR MASYARAKAT DESA
Konsep Struktur Sosial dan Struktur Pihak Desa. Di dalam konsep struktur sosial terkandung pengertian adanya hubungan-hubungan yang jelas dan teratur antara orang yang satu dengan yang lainnya. Untuk dapat membangun pola hubungan yang jelas dan teratur tersebut tentu ada semacam ‘aturan main’ yang diakui dan dianut oleh pihakpihak yang terlibat. Aturan main tersebut adalah norma atau kaidah ini menjadi lebih konkret dan bersifat mengikat maka diperlukan lembaga (institusi). Pitirin Sorokin membedakan struktur sosial menjadi struktur sosial vertikal dan horizontal. Struktur sosial vertikal (pelapisan/stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial.
Smith dan Zopf mengemukakan pendapat tentang pola pemukiman. Menurut mereka pola pemukiman berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial) antara pemukiman penduduk desa yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Sementara itu Paul H. Landis menggambarkan adanya empat tipe pola pemukiman yaitu pola pemukiman: 1) mengelompok murni, 2) mengelompok tidak murni, 3) menyebar teratur, dan 4) menyebar tidak teratur. Menurut tipe pola pemukiman mengelompok murni yang paling dominan di dunia, sedangkan yang paling ideal adalah pola pemukiman tipe menyebar teratur. Di Indonesia, terutama di Jawa cenderung memperlihatkan pola pemukiman tipe mengelompok murni.

Struktur Biososial, Sosial dan Umum Masyarakat Desa
Struktur biososial adalah struktur sosial (vertikal maupun horizontal) yang berkaitan dengan faktor-faktor biologis seperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan lainnya. Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial diperlihatkan melalui sifat mata pencaharian, di mana ketika masyarakat masih pada taraf food gathering economic sampai dengan ketika bercocok tanam, maka pengalaman dan tenaga fisik menjadi faktor yang dominan. Dengan demikian orang yang lebih tua dan orang yang secara fisik lebih kuat (laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan) menempati kedudukan sosial yang tinggi.
Struktur sosial vertikal (stratifikasi/pelapisan sosial) merupakan gambaran dari kelompok-kelompok sosial dalam susunan hierarkis. Untuk mengenalinya maka digunakan lambang status (status symbols). Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Lambang status adalah semua hal atau benda yang menjadi pertanda dari suatu lapisan sosial seperti kekayaan, gaya hidup, pendidikan, keturunan, dan sebagainya. Lambang status ini dianggap mempunyai ‘nilai’ di dalam masyarakat.
Sutardjo Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk desa Jawa menjadi beberapa lapisan sosial berdasarkan faktor pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu: 1) warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan, 2a) warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan, 2b) warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain, 3a) warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain, dan 3b) pemuda yang belum kawin. Berdasarkan kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial masyarakat desa di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kriteria:
1. luas/sempitnya pemilikan atau penguasaan tanah,
2. adanya pihak lain di luar sektor pertanian,
3. sistem persewaan atau penguasaan tanah, dan
4. sifat pekerjaan.
Struktur sosial horizontal merupakan gambaran mengenai keberagaman pengelompokan sosial dalam masyarakat. Secara umum masyarakat desa merupakan komunitas yang kecil sehingga antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat kemungkinan yang besar untuk saling berhubungan secara langsung dan saling mengenal secara “pribadi”. Hubungan semacam ini disebut hubungan primer dan kelompoknya disebut kelompok primer. Kelompok primer yang utama dalam masyarakat adalah keluarga, lalu ketetanggaan dan komunitas. Keluarga merupakan kelompok sosial yang mempunyai peran dan pengaruh yang paling dominan.
Smith dan Zopf secara umum membedakan dua pola umum desa yaitu desa sistem satu kelas dan desa sistem dua kelas atau desa di mana pemilikan lahan pertanian penduduk mempunyai luas yang rata-rata sama. Sedangkan desa sistem dua kelas adalah tipe desa di mana terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas pemilikan lahan pertanian. Di dalam desa sistem satu kelas terdapat pelapisan/stratifikasi sosial,sedangkan di dalam desa sistem dua kelas terdapat polarisasi sosial.




POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA
Pola Kebudayaan Masyarakat Desa Terhadap berbagai definisi tentang kebudayaan, antara lain yang mengemukakan bahwa way of life, yaitu way of thinking, way of feeling, dan way of doing. Untuk menganalisa masyarakat pedesaan yang bersifat bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana pula yaitu kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non-kebudayaan (immaterial culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan norma (adat istiadat) yang mengatur perilaku dan perikehidupan masyarakat desa.
Pola kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh: 1) sejauh mana ketergantungan terhadap alam, 2) tingkat teknologi yang dimiliki, dan 3) sistem produksi yang diterapkan. Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan tradisional yaitu: 1) adaptasinya pasif, 2) rendahnya tingkat invasi, 3) tebalnya rasa kolektivitas, 4) kebiasaan hidup yang lamban, 5) kepercayaan kepada takhayul, 6) kebutuhan material yang bersahaja, 7) rendahnya kesadaran terhadap waktu, cenderung bersifat praktis, dan 9) standar moral yang kaku.
Persyaratan bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan ciri-ciri di atas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa) seperti pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi desa. Pelbagai kerajaan yang tersebar di persada Nusantara memiliki pengaruh yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada kerajaan. Di daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan tradisional. Dengan kata lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.

Tradisi dan Hukum Adat di Pedesaan Indonesia
Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan. Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Dalam pembahasan tentang masyarakat desa yang bersahaja, maka pengertian.tradisi diakronis yang digunakan.
Pengertian tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Pengertian hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada di pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan pemerintahan kolonial.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa di luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa didasarkan atas hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang memiliki kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya tradisi serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis, melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan luar desa (supradesa).Kekuatan supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan pemerintah kolonial.

KELEMBAGAAN PADA MASYARAKAT DESA
Lembaga Sosial dan Lembaga Pemerintah Desa
Terdapat berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang pengertian lembaga sosial tetapi pada dasarnya semua definisi tersebut menekankan lembaga sebagai sistem atau kompleks nilai dan norma. Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan atau tujuan tertentu. Terdapat lima karakteristik lembaga sosial yang meliputi tujuan utama, nilai-nilai pokok, sifat permanen, sifat keterkaitannya dan penerimaan atas ide-ide.
Lembaga bisa diciptakan dengan sengaja (enacted institutions) untuk memenuhi tugas-tugas tertentu maupun secara tidak sengaja Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! (crescive institutions) yaitu yang tumbuh dari adat istiadat. Lembaga sosial mempunyai sifat dinamis, yaitu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya lembaga-lembaga baru dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru masyarakat.
Di dalam suatu masyarakat meskipun terdapat lebih dari satu lembaga biasanya terdapat satu lembaga yang berada dalam kedudukan teratas dan mendominasi lembaga-lembaga lainnya. Bagi masyarakat desa, lembaga-lembaga dominan ini bisa diwakili oleh lembaga adat maupun lembaga pemerintahan. Besarnya peranan lembaga pemerintahan itu berbeda pada semua desa Pada desa dengan ikatan genealogis peranan lembaga pemerintahan ini tidak terlalu besar karena sistem kekerabatan dengan aturan adat istiadatnya sangat mendominasi kehidupan masyarakat desa ini Sedangkan pada desa dengan ikatan kedaerahan peranan lembaga pemerintahan cukup besar.
Ketika negara Indonesia belum lahir peranan lembaga pemerintahan desa secara umum sangat besar karena pada umumnya desa-desa tersebut hidup mandiri. Akan tetapi ketika negara Republik Indonesia lahir, lembaga pemerintahan desa asli yang bersifat lokal, yang terbentuk berdasarkan hukum adat atau tradisi mulai kehilangan tempat berpijak digantikan oleh lembaga pemerintahan baru yang bersifat nasional berlandaskan peraturan-peraturan formal (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979).

Lembaga-lembaga Sosial Lain, Lama dan Baru
Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat sehingga ketika ada kebutuhan baru maka terdapat pula tuntutan atas munculnya lembaga baru. Dengan demikian lembagalembaga lama mengalami pergeseran dan perubahan. Sebagai contoh adalah lembaga gotong-royong. Gotong-royong yang disebut sambatan yang lebih mengandalkan barter tenaga telah bergeser ke sistem upah.Sistem sakap atau bagi hasil semakin tergeser oleh sistem persewaan.Gotong-royong yang dilandasi oleh partisipasi berubah menjadi kerja bakti yang lebih dilandasi oleh mobilisasi.
Lembaga pemerintahan desa lama keberadaannnya semakin terdesak dan tergantikan oleh lembaga pemerintahan baru. Keberadaan beberapa lembaga baru ini memang sesuai dengan tuntutan perkembangan, namun untuk lembaga-lembaga baru lainnya belum tentu sesuai. Lembagalembaga baru di desa-desa saat ini sebenarnya tidak seluruhnya telah dapat disebut lembaga dalam arti yang sebenarnya, melainkan merupakan badan-badan. organisasi-organisasi, atau kegiatan-kegiatan yang bersifat sementara yang keberadaannya berkaitan dengan pelaksanaan suatu program pembangunan tertentu.

MASYARAKAT DESA SEBAGAI KOMUNITAS
Konsep dan Tipe-tipe Umum Komunitas Desa
Terdapat beberapa definisi yang mencoba menjelaskan tentang perbedaan pengertian society dan community. Akan tetapi pada dasarnya komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan kedaerahan, dan 2) ikatan emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau yang lainnya.
Corak dan sifat komunitas desa didasarkan pada sistem mata pencaharian pokok mereka yaitu sistem pertaniannya. Sistem pertanian lahan kering akan menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan sistem pertanian lahan basah. Di samping itu jenis-jenis tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe komunitas. Selanjutnya D. Whittlesey mengemukakan tentang sembilan corak sistem pertanian yaitu: 1) bercocok tanam di ladang berpindah, 2) bercocok tanam tanpa irigasi menetap, 3) bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana dan tanaman pokok padi, 4) bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa padi, 5) bercocok tanam sekitar Lautan Tengah, 6) pertanian buah-buahan, 7) pertanian komersial dengan mekanisasi berdasarkan tanaman gandum, pertanian komersial dengan mekanisasi, dan 9) pertanian perkebunan dengan mekanisasi.
Selain komunitas desa pertanian terdapat pula komunitas desa nelayan. Faktor penentu struktur komunitas desa nelayan adalah pemilikan sarana menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando kapal yang posisinya ada di tengah-tengah kedua strata tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.

Komunitas Peasan (Peasant)
 Terdapat bermacam-macam definisi yang mencoba menjelaskan pengertian tentang peasan. Definisi-definisi tersebut pada dasarnya mengacu pada sistem kehidupan peasan yang bersifat subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah.
Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasan, Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur peasan yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan/kolektivitas yang tinggi.

SISTEM EKONOMI MASYARAKAT DESA
Sistem Ekonomi Pertanian Masyarakat Desa
 Berbicara ekonomi masyarakat desa berarti berbicara tentang bagaimana masyarakat desa memenuhi kebutuhan jasmaniah. Sistem ekonomi masyarakat desa terkait erat dengan sistem pertaniannya. Akan tetapi sistem pertanian masyarakat desa tidak hanya mencerminkan sistem ekonominya melainkan juga mencerminkan sistem nilai, normanorma sosial atau tradisi, adat istiadat serta aspek-aspek kebudayaan lainnya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa masyarakat desa menyikapi sistem pertaniannya sebagai way of life.
Sistem pertanian yang ada di Indonesia berdasarkan pembagian dari D. Whitlesey meliputi tipe bercocok tanam di ladang, bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap, bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana berdasarkan tanaman pokok padi, dan pertanian buah-buahan. Sedangkan berdasarkan pembagian dari Frithjof di Indonesia terdapat dua tipe sistem pertanian yaitu perladangan berpindah, pertanian keluarga, dan pertanian kapitalistik. Sedangkan Dr. Murbyarto membedakan dua sistem pertanian yaitu pertanian rakyat dan perusahaan pertanian. Sehubungan dengan sistem ekonomi maka sistem pertanian meliputi tiga era, yaitu era bercocok tanam yang bersahaja, era pertanian prakapitalistik, dan era pertanian kapitalistik. Pada awal ditemukannya cocok tanam, kegiatan pertanian nenek moyang kita hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, belum melembaga sebagai pertukaran. Sedangkan pada era pra-kapitalistik, bercocok tanam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan melainkan juga mencakup kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan pangan. Pada era inilah sistem pertanian mulai identik dengan sistem ekonomi. Pada era kapitalistik, sistem pertanian tidak hanya dikelola untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga melainkan dengan sengaja dan sadar diarahkan untuk meraih keuntungan (profit oriented).
Keterkaitan sistem ekonomi dengan sistem sosial berhubungan dengan tingkat penggunaan teknologinya. Pada masyarakat petani yang belum menggunakan teknologi modern dan belum komersial, maka hubungan-hubungan sosial yang ada menunjukkan keakraban, serba informal, serta permisif. Di lain pihak pertanian yang dikelola dengan menggunakan teknologi modern, hubungan sosialnya cenderung tidak lagi akrab, informal dan permisif

Faktor-faktor Determinan dalam Sistem Ekonomi Desa
Dalam sistem ekonomi desa terdapat tiga faktor determinan yaitu keluarga, lahan pertanian, dan pasar. Menurut J.H. Boeke keluarga pada masyarakat desa itu merupakan unit untuk swasembada, artinya keluarga mewujudkan suatu unit yang mandiri yang dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat kegiatan pertaniannya. Di lain pihak A.V. Chaianov berpendapat bahwa ekonomi petani pra-kapitalistik (peasan) merupakan ekonomi keluarga, sehingga pengertian laba pada sistem ekonomi ini sangat berbeda dengan pengertian laba pada perekonomian kapitalistik.
Sedangkan faktor determinan lahan pertanian terkait dengan pemilikan dan penggunaan lahan. Sehubungan dengan hal ini maka kondisi fisik dan jenis tanaman juga sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi/pertanian. Di lain pihak faktor determinan pasar menunjukkan adanya hubungan antara masyarakat desa dengan pihak-pihak lainnya. Hubungan ini tidak hanya bersifat ekonomi saja, melainkan juga bersifat sosial dan budaya.

Sistem status dalam pelapisan masyarakat.
A.Sistem Status yang Berubah Sekitar tahun 1900, Belanda berhasil menejakkan kekuasaannya diseluruh kepuluan Indonesia .Pelapisan masyarakat kolonial menurut garis Ras, yang lazim terdapat di Jawa, mulai meluas ke pulau-pulau seberang. Tetapi dalam pada itu di abad ke-20 terjadi perkembangan dinamis yang menerobos pola yang kaku ini dan meningkatkan mobilitas sosial. Di pulau-pulau seberang, uanglah terutama yang melakukan pendobrak system asli yang lama. Para pedagang kota di Indonesialah yang pada pokoknya melkukan pemborontakan menentang tradisi dan kekuasaan suku. Penanaman tanam-tanaman yang hasilnya untuk di jual di daerah-daerah yang luas kota juga telah menimbulkan sebentuk faham individualisme ekonomi tertentu yang memberontak terhadap ikatan-ikatan tradisional dan terhadap kekuasaan ketua-ketua adat. Kemakmuran kebendaan yang dicapai oleh banyak petani dan pedagng telah menyebabkan mereka itu berjuang untuk memperoleh suatu prestise sosial yang sama dengan yang dimiliki ketua-ketua adat dan menuntut agar mereka mempunyai hak kawin dengan kelas ketua-ketua adat.
Pendidikan juga mempunyai pengaruh dinamis di luar pulau-pulau jawa, walaupun tidak sehebat di Jawa. Untuk para cendekiawan tidak ada atau sedikit sekali pekerjaan di ldang atau di daerah karet, juga kta-kata jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa karena itu kebanyakan orang-orang yang mendapatkan pendidikan dengan cara Barat berkumpul di Jawa ketika bersekolah dan setelah selesai sekolah, jadi mereka lebih bnyak merupakan masalah sosial di Jawa daripada diseberang.
Semenjak tahun 1900, di Jawa dapat pula diperhatikan bertambah meningkatnya perbedaan propesi. Bertambah meluasnya ekonomi uang dan meningkatnya hubungan dengan Barat telah menyebabkan timbulnya lapangan kerja baru, seperti sopir, montir, masinis dan mandor. Lalu timbullah suatu kelompok baru yang naik sampai ke suatu tingkat di atas masyarakat pada umumnya karena kemampuan tekhnis mereka. Orang Indonesia semakin banyak bekerja di bidang perdagangan di banding dengan sebelumnya. Terlepas dari bentuk pendidikan yang di berikan dan sebagaimana lumrahnya pendidikan itu bertentangan sekali dengan konsep-konsep Bumiputera tradisional, kenyataan adanya pendidikan itu saja telah mendobrak struktur masyarakat pertanian. Walaupun sekolah-sekolah mencoba sekuat mungkin untuk menyesuaikan pendidikannya dengan keadaan masyarakat pertanian, orang-orang yang umumnya mendapat pendidikan pertanian atau pendidikan tekhnis sekalipun amat cenderung untuk mencari pekerjaan di kota-kota, di mana mereka dapat mencapai prestise yang lebih tinggi.
4 ciri masyarakat desa :
·       interaksi antar masyarakat
·       adat istiadat norma hukum dan aturan khas yang mengatur tingkah laku warga
·       suatu kontinyuitas dalam waktu tertentu
·       suatu identitas yang kuat mengikat semua warga

ciri ciri fisik desa
·       jumlah penduduk tidak lebih dari 1000 orang
·       sebagian besar tanahnya tanah pertanian,kecuali desa nelayan
·       tidak terlalu di sibukan dengan kendaraan roda empat di desa relative dari jalan batu dan tanah
ciri ciri masyarakat desa
·       hubungan warganya sangat erat
·       system kehidupan kelompok berdasarkan system kekeluargaan
·       pada umumnya hidup dari hasil pertanian
·       cara bertani belum mengenal mekanisme pertanian
·       golongan orang tua memegang peranan penting karena itu sukar mengadakan perubahan perubahan yang nyata pada umumnya golongan tua di golongkan pada tradisi yang kuat mereka ini di sebut pimpinan formal
·       system pengendali sosial sangat kuat sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar di kembangkan


Sosiologi Pedesaan dan Perkotaan
Pengertian, Karakteristik dan Desa di Indonesia.
A. Latar Belakang
Sosiologi Pedesaan adalah “Sosiologi dari Kehidupan Pedesaan”. Maksud ungkapan tersebut ialah bahwa sosiologi pedesaan itu merupakan suatu pengetahuan yang sistematik sebagai hasil penerapan metode ilmiah di dalam upaya mempelajari masyarakat pedesaan, struktur dan organisasi sosial yang ada, sistem dasar masyarakat, dan proses perubahan sosial yang terjadi. (Smith dan Zopf (1970) dalam “Sosiologi Pedesaan (suatu pengantar)” Sugihen Bahrein T, 1991)
Sosiologi pedesaan tumbuh pertama kali dan berkembang di Amerika Serikat. Pada mulanya ilmu ini bermula dari para pendeta Kristen yang hidup di daerah pedesaan (pertanian). Mereka tidak hanya memiliki permasalahan dalam kehidupan sosial mereka karena kedatangan para migran dan mengambil tanah yang tak bertuan, namun mereka juga mencoba menuliskan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan di bagian utara negara itu.
Lewat tulisan seperti itu mereka mencari pemecahan problema yang timbul di dalam masyarakat pedesaan. Masalah-masalah tersebut timbul karena lahirnya industri di benua ini yang menyebabkan sebagian daerah pedesaan menjadi terbengkalai.
Sosiologi pedesaan pada saat itu cenderung dirangsang untuk ikut memperbaiki kehidupan masyarakat desa Amerika Serikat. Maka salah satu ciri khas Sosiologi Pedesaan adalah penekanannya pada aspek praktis, sekalipun masih dalam kategori ilmu murni (pure science). Di samping itu Sosiologi Pedesaan juga masih dilekati oleh komitmen moral yang kental untuk memperbaiki (membangun) kehidupan masyarakat desa. (Sugihen Bahrein T, 1991)
B. Pengertian Desa
1.      Sosiologi Pedesaan
Pengertian Sosiologi Pedesaan memiliki beberapa versi yang berbeda, diantaranya ialah menurut Smith dan Zopt, Sosiologi Pedesaan adalah ilmu yang mengkaji hubungan anggota masyarakat di dalam dan antara kelompok-kelompok di lingkungan pedesaan.
Sedang menurut Allan Johnson Sosiologi Pedesaan adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari kedua pengertian diatas dapat dikatakan juga bahwa Sosiologi Pedesaan merupakan ilmu yang mengkaji kehidupan masyarakat, baik itu hubungan antar anggota masyarakat ataupun perilaku antar anggota masyarakat dan sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.
2.      Desa
Umumnya kita hampir semua mengetahui bahwa perkataan “pedesaan” (merujuk pada suatu daerah desa dan di sekitarnya) padan dengan kata rural di dalam bahasa Inggris. (Sugihen Bahrein T, 1991)
Dalam Undang-Undang no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dalam pasal 1 yang dimaksud dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Sedangkan desa dalam pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, dan terdapat dimana pun di dunia ini. Dan desa dalam pengertian khusus adalah perbedaan-perbedaan yang terdapat pada suatu desa tertentu dari berbagai negara yang merupakan ciri khusus dari desa tersebut.
Pengertian lain tentang desa juga dirumuskan oleh beberapa ahli lainnya, diantaranya Egon E. Bergel yang mendefinisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani (peasants). Sedangkan Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat.” (Rahardjo, 1999)
C.            Karakteristik Desa
Desa merupakan gambaran dari masyarakat yang masih bersahaja, dan kota sebagai wakil dari masyarakat yang sudah maju atau kompleks, sehingga karakteristik yang terlekat pada dua gejala tersebut menjadi bersifat polair, kontras satu sama lain. (Rahardjo, 1999)
Pitirim A.Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P.E.Zop, 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan desa dan kota. Ia membedakan desa dan kota berdasarkan atas: mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial, dan solidaritas sosial. (Rahardjo, 1999)
Diantara faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, jenis mata pencaharian merupakan faktor pembeda yang pokok dan penting. Pertanian dan usaha-usaha kolektif merupakan ciri kehidupan ekonomi pedesaan. Bidang pertanian cukup mengandung variasi dan kompleksitas yang memiliki pengaruh bervariasi pula terhadap kehidupan masyarakatnya. Perbedaan dalam besar-kecilnya skala usaha pertanian, jenis-jenis tanaman atau pertanian, sistem pertanian yang diterapkan, dan lainnya, juga akan mengakibatkan pula terjadinya perbedaan-perbedaan terhadap kehidupan masyarakatnya. (Rahardjo, 1999)
Ukuran komunitas dan tingkat kepadatan penduduk sebagai dasar pembeda antara desa dan kota sangat erat kaitannya satu dengan yang lain. Ukuran komunitas lebih mengacu kepada suatu unit teritorial tertentu dalam suatu komunitas desa yang berbeda. Hal ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa ukuran komunitas desa yang menjadi pembeda antara desa dan kota, dibandingkan dengan komunitas kota. (Rahardjo, 1999)
Mengenai lingkungan yang juga merupakan faktor penentu karakteristik desa dan kota, Smith dan Zopf telah memberikan catatan bahwa dengan mengingat luasnya pengertian yang terkandung dalam konsep lingkungan, maka mereka membedakan adanya tiga jenis lingkungan, yakni:
1.      Lingkungan phisik atau unorganic, masyarakat desa lebih langsung berhadapan dengan dan banyak dipengaruhi oleh lingkungan phisik dibandingkan dengan masyarakat kota.
2.      Lingkunga biologik atau organik, masyarakat desa lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan daripada orang kota.
3.      Lingkungan sosio-kultural, perbedaaan antara kehidupan masyarakat desa dan kota juga terlihat jelas dalam pada ke tiga kategori lingkungan sosio-kultural ini. Dalam lingkungan physiosocial, kota lebih memperlihatkan bangunan-bangunan phisik yang lebih banyak dan bervariasi. Dalam lingkungan biosocial, kota lebih memperlihatkan komposisi ras atau kebangsaan yang beragam dibanding dengan desa. Dan dalam lingkungan psychosocial, lingkungan perkotaan jauh lebih kompleks dibanding dengan pedesaan. (Rahardjo, 1999)
Diferensiasi sosial sebagai faktor penentu terhadap karakteristik desa dan kota, secara ringkas dapat dirumuskan bahwa kota memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi dibanding dengan desa. Yang dimaksud dengan diferensiasi sosial disini adalah pengelompokan-pengelompokan (groupings) yang ada dalam suatu masyarakat baik dalam hal jumlah, variasi, maupun kompleksitasnya, tanpa menempatkannya dalam suatu susunan yang bersifat hierarkis. (Rahardjo, 1999)
Stratifikasi sosial (pelapisan sosial) yang juga sebagai faktor penentu terhadap perbedaan karakteristik antara desa dan kota, secara ringkas dapat dilihat melalui empat perbedaan pokok.
1.      Pelapisan sosial pada masyarakat desa lebih sedikit (sederhana) dibanding dengan yang ada pada masyarakat kota.
2.      Perbedaan (jarak sosial) antar lapisan sosial pada masyarakat desa tidak begitu besar (jauh) dibanding dengan masyarakat kota.
3.      Lapisan masyarakat desa tidak sekedar lebih sederhana dibanding dengan kota, tetapi disamping itu juga terdapat kecenderungan pada masyarakat desa untuk mengelompok pada lapisan menengahnya.
4.      Dasar-dasar pembeda antar lapisan pada masyarakat kota tidak begitu kaku seperti hal pada masyarakat kota. (Rahardjo, 1999)
Mobilitas sosial sebagai faktor penentu, secara umum dirumuskan bahwa mobilitas sosial masyarakat pedesaan lebih rendah dibanding dengan masyarakat perkotaan. Mobilitas sosial yang dimaksudkan disini adalah baik yang bersifat horisontal, yakni perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun yang bersifat vertikal, yakni pergeseran status dari lapisan sosial yang satu ke yang lainnya. (Rahardjo, 1999)
Interaksi sosial juga sebagai faktor penentu, secara umum dirumuskan bahwa jumlah kontak sosial pada masyarakat kota jauh lebih banyak dan bervariasi dibanding dengan masyarakat pedesaan. Jenis – jenis mata pencaharian masyarakat kota yang sangat bervariasi memungkinkan terjadinya banyak kontak sosial diantara mereka.
Solidarita sosial juga merukan faktor pembeda dan penentu perbedaan karakteristik desa dan kota, secara umum dirumuskan bahwa solidarita sosial masyarakat pedesaan lebih didasarkan pada kesamaan-kesamaan, sedangkan pada masyarakat perkotaan justru didasarkan atas perbedaan-perbedaan. Sebagai konsekuensi dari adanya kesamaan-kesamaan sebagai dasar solidarita, masyarakat desa cenderung menciptkan hubungan-hubungan yang bersifat informal dan non-kontraktual.
Pendapat lain yang juga merumuskan karakteristik desa adalah Paul H.Landis, menurutnya desa adalah masyarakat yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan karakteristik berikut:
1.      Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
2.      Ada pertalianperasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.
3.      Cara berusaha (perekonomian) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi alam seperti; iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Adapun yang menjadi karakteristik lainnya dari masyarakat pedesaan adalah:
1.      Di dalam masyarakat pedesaaan diantara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya yang diluar batas-batas wilayahnya.
2.      Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban).
3.      Masyarakat tersebut sifatnya homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat dan sebagainya.
D.            Desa Di Indonesia
Kekhususan ciri-ciri desa di Indonesia tidak hanya terlihat dalam perbandingannya dengan desa-desa di negara lain, melainkan juga terlihat dalam perbandingan antara desa-desa di Indonesia sendiri. Dengan kata lain, desa-desa yang ada di Indonesia sangatlah beragam, seiring dengan kebhinekaan Indonesia.
Istilah desa itu sendiri di Indonesia semula hanya dikenal di Jawa, Madura, dan Bali. Desa dan dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Istilah dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak. Di Maluku dikenal istilah dusundati. (Sutardjo Kartohadikoesoemo, 1953, dalam Rahardjo 1999)
Desa di Indonesia juga merupakan kesatuan hukum (adat) dan administratif. Desa-desa di Indonesia telah ada sebelum Negara Indonesia terbentuk. Inpres no 5 Tahun 1976 juga telah merusmuskan tentang kedudukan desa yang telah diakui oleh pemerintah. Menurut Inpres ini “desa adalah desa dan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama aseli lainnya dalam pengertian teritorial-administratif langsung dibawah kecamatan”. Dalam rumusan ini tersirat cukup jelas bahwa desa-desa di Indonesia adalah desa-desa yang telah ada sebelum negara ini merdeka, bukan merupakan ciptaan baru. Namun ditegaskan pula, bahwa kedudukannya tidak lagi “bebas” melainkan (secara teritorial-administratif) langsung berada di bawah kecamatan. Dengan demikian tidak lagi “berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri” sebagaimana ketika desa-desa tersebut belum berada di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Rahardjo, 1999)
·         Tipologi Desa Di Indonesia
Desa-desa di Indonesia tidak hanya desa pertanian saja. Di samping desa pertanian juga terdapat desa-desa jenis lainnya, yaitu:
1.      a. Desa tambangan (kegiatan penyeberangan orang dan barang dimana terdapat sungai besar)
b. Desa nelayan (di mana mata pencaharian warganya dengan usaha perikanan laut)
c. Desa pelabuhan ( hubungan dengan mancanegara, antar pulau, pertahanan/strategi perang dan sebagainya).
2.      Desa perdikan (desa yang dibebaskan dari pungutan pajak, karena diwajibkan memelihara sebuah makam raja-raja atau karena jasa-jasanya terhadap raja).
3.      Desa penghasil usaha pertanian, kegiatan perdagangan, industri/kerajinan, pertambangan dan sebagainya.
4.      Desa-desa perintis (yang terjadinya karena kegiatan transmigrasi).
5.      Desa pariwisata (adanya obyek pariwisata berupa peninggalan kuno, keistimewaan kebudayaan rakyat, keindahan alam dan sebagainya).
Dari beberapa jenis desa tersebut, desa nelayan (susudah desa pertanian) adalah merupakan desa yang sangat penting dan sangat banyak jumlahnya di Indonesia. Hal ini dapat dipahami mengingat Negara Indonesia adalah “negara kepulauan”. Arti penting desa nelayan dan penduduknya tidak hanya ditunjukkan lewat banyaknya jumlah, melainkan juga lewat kontribusi mereka terhadap kehidupan bangsa.
Dalam UU No. 5/1975 juga menjelaskan tentang bentuk (pola) desa dari yang paling sederhana sampai pada bentuk pemukiman yang paling kompleks namun masih tetap dikategorikan sebagai pemukiman dalam bentuk desa.
·         Bentuk yang paling sederhana disebut sebagai pemukiman sementara. Secara resmi tempat ini disebut pradesa (pra-desa). Pola pemukiman seperti ini mempunyai ciri yang khas. Hampir tidak ada orang atau keluarga yang tinggal menetap disana. Semua penghuninya akan pindah lagi pada saat waktu panen selesai, atau bila lahan sebagai sumber penghidupan utama tidak lagi memberikan hasil yang memadai. Belum berkembangnya tata kehidupan dan organisasi atau lembaga-lembaga sosial penunjang kehidupan bermasyarakat, termasuk pendidikan, ekonomi, hukum, adat, dan hubungan sosial di samping tata kemasyarakatan yang mantab.
·         Tipe atau bentuk desa yang berada padat ingkat yang lebih baik disebut swadaya. Desa ini bersifat sedenter, artinya sudah ada kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap disana. Pemukiman ini pada umumnya masih tradisioanl dalam arti bahwa sumber penghidupan utama para pedesa masih berkaitan erat dengan usaha tani, termasuk meramu hasil hutan dan beternak yang mungkin diiringi dengan pemeliharaan ikan di tambak-tambak kecil trasdisional. Hubungan antar personal dan atau kelompok (masyarakat) sering didasarkan pada dan diikat oleh adat istiadat yang ketat. Pengendalian atau pengawasan sosial (sosial control) dilaksanakan berdasarkan asas kekeluargaan. Kebanyakan desa-desa seperti ini jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi. Tingkat pendidikan sebagai salah satu indikator tipologi desa itu belum berkembang. Hampir tidak ada penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan sekalipun tingkat Sekolah Dasar.
·         Tipe desa ketiga, yang tingkatnya dianggap lebih baik adalah desa swakarya. Adat yang merupakan tatanan hidup bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial budaya lainnya. Adopsi teknologi tertentu sering merupakan salah satu sumber perubahan itu. Adat tidak lagi terlalu ketat memperngaruhi atau menentukan pola perilaku anggota masyarakat. Pengaruh unsur luar (asing, luar desa) sudah mulai ikut mempengaruhi atau membentuk perilaku masyarakat yang baru melalui berbagai adopsi teknologi dalam arti yang luas. Lapangan pekerjaan sudah sudah mulai kelihatan lebih bervariasi dari pada di desa swadaya. Kendatipun jarang orang yang sudah menamatkan pendidikan sekolah menengah, namun rata-rata orang telah menamatkan sekolah dasar.
·         Tipologi desa keempat adalah desa swasembada, pola desa yang terbaik dari bentuk-bentuk desa yang lain. Umumnya, masyarakat tidak lagi terlalu berpegang teguh pada kebiasaan-kebiasaan hidup tradisional (adat), tetapi tetap taat pada syariat agamanya. Masyarakat desa swasembada adalah masyarakat yang sudah terbuka dalam kaitannya dengan masyarakat di luar desanya. Oleh karena itu, masyarakat berorientasi ke luar desa. Pengaruh dari luar itu terlihat dalam perilaku orang-orang desa. Teknologi yang dipakai sudah terlihat banyak yang mulai canggih. (Sugihen Bahrein T, 1991)
Referensi
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND…pedesaan/I.pdfp://dc243.4shared.com/doc/CMpIs-LJ/preview.html
Makalah.2011.Pemijahan Ikan Lele (Clarias Sp) Dengan Tekhnik Artificial Breeding. Malang: Universitas Brawijaya
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo. 1982. Sosiologi Pedesaan Jilid 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugihen, Bahrein T. 1996. Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Sosped
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://prodipplk.blogspot.com/2015/11/sosped.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Buat Akun Email Google | Copyright of Penyuluhan Pertanian Lahan Kering.