Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan Yopy
Rabu, 28 Oktober 2015
0
komentar
Penyuluhan Pertanian
Di Masa Depan
A. Tantangan Penyuluhan Memasuki Abad 21
Memasuki abad 21, dunia telah banyak mengalami
perubahan, terutama dalam bentuk globalisasi dalam banyak aspek kehidupan. Kondisi tersebut berimplikasi kepada semua bidang dan
sektor kegiat-an pembangunan, termasuk kegiatan penyuluhan pertanian. Kondisi
tersebut, telah mengahadapkan para pengambil keputusan pada dilema yang
setidaknya menyangkut 2 (dua) isu-pokok, yaitu:
1) Informasi dan organisasi
pembangunan pertanian yang dibutuh-kan masyarakat untuk:memperoleh informasi
dan ide-ide baru guna mengembangkan usahataninya agar dapat menghadapi kompleksitas pola permintaan
konsumen, mengurangi kemis-kinan, serta terus menjaga kelestarian sumberdaya-alam
dan ling-kungannya.
2) Pembiayaan penyuluhan dan
penyebar-luasannya yang melekat pada mandat yang diembannya, yaitu:
a)
tugas-tugas pokok
b)
ketergantungannya terhadap kebijakan pemerintah dan
fungsi lembaga-lembaga lainnya
c)
masalah-masalah yang diakibatkan dan berdampak pada kemauan politik serta dukungan
finansialnya
d)
keterandalannya sebagai lembaga layanan informasi dan
pengetahuan baru
e)
keberlanjutan fiskal, dan
f)
interaksinya dengan tumbuh dan berkembangnya ilmu penge-tahuan
dan teknologi.
Dilema penyuluhan pertanian juga dilaporkan oleh
Davidson, et al (2001) dari kajiannya di
Pakistan, yang mengungkapkan adanya 4
(empat) hal, yaitu:
1) Sering terjadi konflik,
persaingan, dan tumpang-tindih antara
penyuluhan yang dilakukan instansi pemerintah dan pihak swasta.
2) Baik instansi pemerintah maupun
swasta, seringkali meman-faatkan kontak-person di dalam implementasi
strateginya, tetapi tidak banyak manfaatnya bagi difusi inovasi.
3) Lembaga swasta, lebih suka
memusatkan perhatiannya kepada petani-kaya atau kelompok-atas, yang biasanya
lebih cepat meng-adopsi inovasi yang ditawarkan.
4) Instansi pemerintah sering
berhadapan dengan petani-terdidik, tetapi tidak cukup memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi petani-kaya
Khusus yang berkaitan dengan proses adopsi
inovasi, Vanclay (1992),
mengidentifikasi adanya 10 (sepuluh) hambatan atau barrier adopsi, yang
meliputi:
1) Kompleksitas, yang disamping mempersulit kermampuan petani
untuk memahami dan menerapkannya, seringkali juga berakibat pada meningkatnya
resiko (kegagalan) yang akan dideritanya.
2) Divisibilitas, yang seringkali
tidak dijumpai dalam rekomendasi
penyuluh yang lebih cenderung menawarkan “paket teknologi” yang harus
dilaksanakan secara serentak (simultan).
3) Inkompatibilitas, yang sering
tidak sesuai dengan tujuan petani dan usahataninya.
4) Nilai-ekonomis inovasi, yang
tidak selalu dapat memenuhi nilai-nilai non-ekonomi yang dikehendaki oleh
petaninya.
5) Resiko dan ketidak-pastian, yang
tidak hanya disebabkan oleh ketergantungan usahatani kepada kondisi alam dan lingkungannya
yang menetukan keberhasilan panennya, tetapi juga resiko dan ketidak-pastian
pemasaran/harga produk.
6) Konflik informasi, karena petani
menerima informasi dari beragam sumber yang belum tentu sepakat terhadap
kemanfaatan serta dapatnya diterapkan.
7) Keharusan penggunaan modal dari
luar, yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh petani sendiri, seperti: benih,
pestisida, peralatan, dan mesin-mesin pertanian.
8) Biaya intelektual, khususnya
terhadap inovasi yang datang dari luar yang belum mampu dipahami oleh
petaninya, sehingga mereka harus mengeluarkan biaya-intelektual sebelum dapat
mengadopsinya.
9) Hilangnya fleksibilitas, yang
biasanya dimiliki oleh petani tradi-sional, untuk menyesuaikan komoditi dan
pola usahataninya dengan keadaan iklim dan kondisi alam lain yang tidak
menentu.
10) Prasarana fisik dan sosial
(kelembagaan) yang belum tentu tersedia dengan mutu dan layanan sebaik
yang diharapkan.
Lebih lanjut, Vanclay (1994), telah
mengidentifikasi terjadinya krisis yang
melanda kegiatan penyuluhan pertanian, yang menyangkut:
1) Krisis fiskal, karena menurunnya
anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kegiatan penyuluhan pertanian.
2) Krisis efektivitas
penyuluhan, karena tidak dilaksanakannya
fungsi-fungsi penyuluhan sebagaimana mestinya, petani tidak mau mengadopsi
inovasi yang direkomenda-sikan (khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan
lingkungan)
3) Krisis legitimasi, yang berupa
komentar-komentar negatif yang disampaikan oleh petani terhadap kinerja
penyuluh dan program-program penyuluhan pertanian.
4) Krisis teoritis, berupa penolakan
model-model penyuluhan “tradisional” tanpa diikuti dengan alternatif yang lebih
mudah diterima oleh masyarakat (petani) secara luas.
Dari dalam negeri, Mardikanto (1998; 2000)
mensinyalir beberapa kelemahan dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang
menyangkut banyak hal, yaitu:
1) Penggunaan Istilah Penyuluhan
Berbicara tentang penggunaan istilah penyuluhan
pembangunan, perkembangan sejak pertengahan 1980-an, ternyata sering tidak
menguntungkan kegiatan penyuluhan pembangunan itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena, sering
digunakannya/dimasyarakatkannya penggunaan istilah “penyuluhan” oleh
pihak-pihak di luar “penyuluh pertanian” (yang seharusnya layak disyukuri),
kegiatan penyuluhan menjadi kehilangan mak-na, atau dalam istilah lain boleh
dikatakan telah mengalami “erosi nilai”. Sebab, banyak kalangan sering terlalu
menyederhanakan pengertian dan tujuan penyuluhan.
Penyuluhan bukan lagi dihayati sebagai kegiatan
yang memer-lukan kerja-keras, dan ketekunan yang melelahkan serta seringkali
harus dibarengi dengan korban perasaan untuk membantu masyarakat agar mampu
membantu dirinya sendiri guna memperbaiki kesejahteraan atau mutu-hidupnya,
melainkan seringkali hanya diartikan sebagai kegiatan omong-omong tanpa makna,
atau bahkan sekadar datang untuk minta tanda-tangan (bukti kehadir-annya) guna
memperoleh (menipu) biaya perjalanan. Oleh sebab itu, kemudian oleh kalangan
terbatas muncul pemikiran untuk mencari istilah pengganti yang lebih “segar”,
bergengsi, dan menarik perhatian, tanpa menghilangkan makna
penyuluhan yang sebenarnya. Istilah yang ditawarkan itu (antara lain) adalah: edfikasi
yang merupakan akronim dari pokok-pokok kegiatan penyuluhan yang mencakup: edukasi,
diseminasi inovasi, fasilitasi, koordinasi, supervisi, dan evaluasi.
2) Profesionalisme
Penyuluhan
Erosi nilai
dari kegiatan penyuluhan tersebut, jika ditelusuri, sebe-narnya disebabkan oleh
rendahnya profesionalisme penyuluhan pem-bangunan, yang menyangkut:
a)
Keahlian Penyuluh, yang oleh maraknya globalisasi
infor-masi, sering ketinggalan dibanding keahlian para praktisi atau penerima
manfaat penyuluhannya.
b)
Kebanggaan Profesi Penyuluhan, karena jabatan fungsional yang
disandang para penyuluh dinilai lebih rendah atau kalah status dibanding jabatan struktural yang lebih
bergengsi dan memper-oleh (lebih) banyak kemudahan serta kesempatan memperkaya
diri.
c)
Etika Profesi Penyuluhan, yang tidak lagi dihayati
sebagai peker-jaan yang penuh pengabdian, melainkan telah teracuni oleh kebijakan
pemerintah di masa lalu, tamanya dalam pelaksanaan program GEMA PALAGUNG yang
memberikan insentif sebesar 1% (dibayarkan
di muka) kepada penyluh (PPL) dari jumlah nilai usulan Kredit Usahatani (KUT)
yang direkomendasikan, tanpa harus menunggu efektiivitas atau seberapa jauh KUT
tersebut benar-benar memberikan kenaikan produksi dan pendapatan petaninya.
3) Unsur-unsur Sistem Penyuluhan Pertanian
Berkaitan dengan unsur-unsur penyuluan, tantangan-tantangan
muncul dari semua unsur komunikasinya, yaitu:
a) Penyuluh, yang selama ini adalah
tergolong “orang luar” (baik aparat pemerintah atau aktivis LSM) yang tidak
dibayar (diangkat dan diberhentikan) oleh penerima manfaatnya. Karena itu, dalam melaksanakan kegiatannya
seringkali tidak mangacu kepada kepentingan masyarakat penerima manfaatnya,
melainkan lebih mementingkan keinginan pemerintah atau “visi dan misi” LSM-nya.
Di samping itu, belum
terbangunnya kebanggaan profesi di kalangan penyuluh, serta rendahnya
penghargaan masyarakat maupun aparat pemerintah terhadap arti penting penyuluh
dan kegiatan penyuluhan.
b) Materi Penyuluhan, umumnya masih
didominasi oleh materi-teknis, dan belum banyak memperhatikan kebtuhan penerima
manfaatnya, utamanya tentang manajemen, permintaan pasar, kewirausahaan dan pentingnya
pendidikan politik
Sumber informasi yang masih
didominasi dari Dinas/Lembaga Penelitian, sementara itu, kearifan tradisional
belum banyak digali bahkan cenderung tidak dihargai.
c) Metoda Penyuluhan, masih terpusat pada
pemanfaatan media interpersonal dan belum banyak memanfaatkan multi-media secara
proporsional.
Secara teoritis, kegiatan
penyuluhan hanya mengacu kepada konsep-konsep pendidikan dan komunikasi, dan
belum meman-faatkan konsep-konsep psikologi-sosial, serta pemasaran-sosial.
d) Pendekatan dan Strategi Penyuluhan
Satu hal yang layak dicermati
adalah, banyak kebijakan pembangunan yang tidak menggunakan pendekatan
kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan.
Seiring dengan itu, kegiatan
penyuluhan lebih ditekankan pada pendekatan proyek (NFCEP, NAEP, P4K,
dll) yang tidak berbekas seiring dengan selesainya proyeki. Padahal, penyuluhan pembangunan mestinya
menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat (community development)
yang sekali dimulai, harus dilaksanakan secara berkelanjutan.
e) Efektivitas Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan, secara
konseptual masih sangat konven-sional dalam arti terbatas menggunakan
konsep-konsep pendi-dikan dan atau komunikasi. Tetapi, pendekatan bisnis dengan
pemasaran belum banyak didisksikan, dikerjakan, dan diajarkan,
Berkaitan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi
oleh kegiatan penyuluhan pertanian tersebut,
Feder, et al (1999)
mengidentifikasi adanya 8 (delapan) tantangan-generik yang sedang
dihadapi penyuluhan pertanian, yaitu:
1) Skala dan kompleksitas dari
tugas-tugas penyuluhan.
Skala, berkaitan dengan luas
wilayah dan jumlah manusia yang terlibat.
Sedang kompleksitas berkaitan dengan
sumber infor-masi, stakeholders, serta mitra-kerja dalam kegiatan penyuluhan
(pembangunan) pertanian.
2) Ketergantungannya terhadap
kebijakan pemerintah dan fungsi lembaga-lembaga lainnya, yang berakibat pada
efektivitas inves-tasi penyuluhan,
efektivitas kelembagaan dan kebijakan, serta efisiensi pemanfaatan
sumberdaya yang dapat diakses.
3) Ketidak-mampuan untuk menelusuri
hubungan penyebab dan akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan penyuluhan,
kaitannya dengan: masalah-masalah yang dihadapi, dukungan politis, alokasi
anggaran, dan akuntabilitas kegiatan penyuluhan.
4) Komitmen dan dukungan politis,
terutama pada kondisi seringnya terjadi pergantian (pemegang) kekuasaan.
5) Akuntabilitas, yang menyangkut
kinerja penyuluhan, kinerja personil, dan kinerja staf yang berhubungan dengan
petani (penyuluh, peneliti, dll)
6) Kelayakan sebagai lembaga layanan
pengetahuan dan informasi, yang harus menjangkau semua kelompok-sasaran, aparat
peme-rintah di lapis terbawah, dan stakeholders lain yang memerlu-kannya
7) Keberlanjutan operasionalisasi
fiskal dan sumberdaya yang lain, baik karena ketidak-pastian anggaran maupun
rendahnya pengem balian dana yang telah digunakan untuk kegiatan penyuluhan.
8) Interaksi dengan tumbuh dan
berkembangnya pengetahuan kaitannya dengan mutu pesan-pesan yang disamapaikan
melalui kegiatan penyuluhan, yang tercermin pada keterkaitan antara penyuluhan
dengan penelitian.
Khusus yang menyangkut interaksi atau keterkaitan
antara kegiatan penyuluhan dan penelitian, Barret dan Marsh (2001) mengemukakan
adanya tiga hal pokok yang perlu dicermati, yaitu:
1) efektivitas adopsi teknologi,
karena kesenjangan tingkat pendi-dikan antara peneliti, penyuluh, dan
masyarakat penggunanya.
2) tantangan penelitian, kaitannya
dengan tingginya biaya atau kor-banan
yang harus ditanggung penggunanya
3) pentingnya memerankan “pengusaha
yang berhasil” sebagai aktor-panutan yang sekaligus dapat dijadikan tenaga
sukarela dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
Lebih lanjut, Marsh dan Pannel (1999)
mengungkapkan adanya 4 (empat) masalah yang akan dihadapi di awal abad 21
ini, yaitu:
1) Kemampuan penelitian dan aliran
informasi yang dihasilkan.
2) Efisiensi dan keberlanjutan setiap pembaharuan organisasi dan rancangan
yang disiapkan.
3) Kesalahan pasar dan informasi
tentang sifat-sifat produk pertani-an yang dihasilkan
4) Metoda penyuluhan dan
alih-teknologi
Berkaitan dengan pelibatan “generasi muda” dalam
kegiatan penyu-luhan pertanian, pengalaman 4-H menunjukkan bahwa
1) Perubahan desa menjadi perkotaan,
telah mengakibatkan susutnya remaja yang tertarik terlibat pada kelompok 4-H.
2) Hambatan dalam memadukan kegiatan
sekolah dengan kegiatan 4-H.
3) Keberlanjutan pembiayaan yang
disediakan lembaga peme rintah maupun politikus yang dialokasikan untuk kegiatan penyuluhan pertanian.
4) Semakin sulitnya memperoleh
tenaga sukarela
5) Semakin susahnya mengangkat staf
baru
6) Semakin tidak memadainya
perlengkapan penyuluhan dibanding kemajuan teknologi perlengkapan pendidikan
pada umumnya.
B.
Revitalisasi Penyuluhan Pertanian
(1) Rekayasa Ulang
Mengahadapi beragam tantangan sebagaimana di kemukakan
di atas, banyak pihak telah mengajukan rumusan pemecahan atau solusinya.
Menghadapi 8 tantangan generik yang dikemukakan,
Feder. et al (2001) menawarkan solusinya sebagai berikut:
a) Pengembangan manajemen
penyuluhan, melalui modifikasi dan mengoreksi kelemahan-kelemahan sistem-kerja
Latihan dan Kunjungan (LAKU) yang terbukti mampu meningkatkan mutu penyuluhan
dan profesionalisme penyuluhnya, agar:
1)
dilaksanakan dengan lebih partisipatip
2)
penyesuaian jadwal LAKU, baik yang menyangkut kunjungan
ke petani maupun pelatihan dan supervisi terhadap penyuluh.
3)
lebih banyak memanfaatkan penyuluh sukarela, dan atau
penyuluh yang diangkat dan dibiayai oleh kelom-pok-tani..
4)
lebih banyak memanfaatkan media-masa untuk men-dukung
kegiatan LAKU.
5)
mempererat jalinan keterkaitan penyuluh dengan peneliti
dan stakeholders maupun sumber-sumber informasi yang lain
6)
mengintensifkan kegiatan supervisi yang lebih bersifat
peme-cahan masalah dibanding “pengawasan”
b)
Desentralisasi penyuluhan, yang tidak sekadar merupakan
pelim-pahan wewenang penyuluhan kepada pemerintah daerah dan masyarakat lokal,
tetapi juga memberikan alokasi anggaran yang lebih besar kepada daerah, serta
kewenangan untuk mengem-bangkan sistem penyuluhannya sendiri.
c)
Fokus kepada pengembangan sentra-sentra
komoditi-unggulan, yang memiliki nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi.
d)
Pembayaran “biaya penyuluhan” oleh penerima manfaat,
untuk mempercepat pengembalian investasi penyuluhan.
e)
Keragaman kelembagaan melalui mobilisasi pelaku-pelaku
lain. Seperti: LSM, Organisasi Profesi, Perguruan Tinggi, Produsen, Pelaku
Bisnis, dll.
f)
Pendekatan pemberdayaan dan partisipatip, untuk
mengembang-kan swadaya dan kemandirian masyarakat.
g)
Privatisasi secara bertahap, sejak dari kerjasama,
kontrak-kegiat-an penyuluhan, sampai
dengan menyerahkan sepenuhnya kegiat-an penyuluhan dari pemerintah kepada pihak
swasta/LSM.
h)
Pengembangan jejaring yang memungkinkan masyarakat dapat
berinteraksi dan memanfaatkan media yang tepat, seperti:
1)
penyadaran melalui media masa dan pertunjukan yang populer.
2)
penumbuhan
minat melalui pertemuan kelompok,
kelompen-capir, dan pertemuan-lapang.
3)
kegiatan penilaian melalui demonstrasi-cara dan
hasil
4)
mendorong uji-coba, melalui kunjungan,
pertukaran-petani, pengujian lokal dan
demonstrasi
5)
layanan bagi adopter, melalui perlombaan, pemberian
peng-hargaan, pengakuan, dll.
Berkaitan dengan upaya mengatasi
tantangan-tantangan tersebut, Coffey dan
Clark (2001) menawarkan kegiatan “rekayasa ulang” (rengineering)
penyuluhan pertanian, melalui kegiatan-kegiatan:
a)
Identifikasi
kasus
b)
Identifikasi keadaan sekarang dan sebelum terjadinya
kasus
c)
Identifikasi masalah, peluang, dan pihak-pihak yang
terkait (yang dirugikan maupun yang diuntungkan)
d)
Aspek-aspek yang mendukung perubahan, oleh siapa, dan
menga-pa?
e)
Aspek-aspek penyebar luasan perubahan, oleh siapa, dan
menga-pa?
f)
Pembiayaan, dll.
Di samping itu, Qamar (2001) mengingatkan bahwa
memasuki milenium baru, diperlukan:
a)
Client
orientation, yaitu penyuluhan yang
dirancang secara khusus khusus untuk setiap kelompok-sasaran
b)
Lokalitas, yaitu penyuluhan yang memperhatikan kondisi fisik dan
sosial-budaya setempat yang spesifik.
c)
Penerapan metoda yang efektif,
berdasarkan pengalaman setem-pat.
d)
Penggunaan
media elektronik yang semakin luas
(radio, TV, multi-media (CD), internet, dll
e)
Pemanfaatan
modul jarak-jauh, jika:
1)
terbatasnya
penyuluh dan sarana transportasi
2)
bahasa mnerupakan
hambatan dalam komunikasi langsung
3)
sumberdaya
penyuluhan sangat menurun
4)
kondisi geografi
tidak memungkinkan
5)
terdapat kendala
budaya (tabu) dalam pelaksaanaan kunjung-an
f)
kerjasama dengan kegiatan penyampaian pesan non-pertanian.
g)
pengembangan penyuluhan partisipatip
h)
keterpaduan antar disiplin keilmuan
i)
Penilaian dampak
dan manfaat kegiatan penyuluhan
j)
Peningkatan peran dalam pembangunan (keluarga)
yang berkelanjutan
(2) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan
Hobson, et al (2001)
mengemukakan pentingnya kelembagaan penyu-luhan. Yang dimaksud dengan kelembagaan di sini,
tidak hanya dalam arti sempit yang berupa pembentukan kelompok atau organi-sasi,
tetapi juga dalam arti luas yang menyangkut pola perilaku sesuai nilai-nilai
sosial budayanya (Berg,). Tentang hal ini,
Hoffman et al (2000) melaporkan reformasi organisasi penyuluhan
pertanian di Jerman yang dapat dijadikan pelajaran bagi negara-negara lain,
yang mencakup:
a)
Dewan Pertanian, yang merupakan perwakilan (kebutuhan dan
minat) petani pada suatu kawasan tertentu yang relatip luas.
b)
Kantor Dinas Pertanian, selaku “agen penyuluhan”.
c)
Penasehat Penyuluhan Swasta
d)
Agen penyuluhan yang lain
e)
Kelompok-kelompok tani
Dari pengorganisasian
seperti itu, dapat ditarik banyak pelajaran, seperti:
a)
perbaikan mutu penyuluhan melalui peningkatan
partisipasi kelompok-sasaran
b)
Kejelasan peran pemerintah, yang lebih banyak pada
perumusan strategi penyuluhan kaitannya dengan kegiatan pelatian,
program-program panduan, dll.
c)
Penurunan atas kelambanan lembaga-lembaga publik yang
biasanya resistan terhadap perubahan
d)
Menghindari konflik antar aparat pemerintah
e)
Ancangan pembiayaan untuk biaya pemerintah
f)
Keluwesan untuk mengemabngkan sistem penyuluhan.
(3) Pendekatan Penyuluhan
Beberapa penulis
menawarkan beragam pendekatan penyuluhan, seperti:
a)
Pendekatan Pembelajaran untuk Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan, yang bertumpu pada 3 (tiga) konsep dasar, yaitu:
1)
Kompetensi profesional, melalui pengembangan kemampuan
praktisi dengan beragam teori, nilai-nilai, dan kepercayaan tertentu.
2)
Penggunaan teori-sistem dan filsafat ilmu dalam kegiatan
praktis
3)
Belajar kriitis, melalui proses belajar bersama untuk
meng-kritisi setiap alternatip perubahan yang ditawarkan.
b)
Pendekatan Navigator (Boon dan Murray, 2001), yaitu suatu
percepatan perubahan melalaui pengembangan SDM, pembela-jaran berkelanjutan,
dan pola-pikir baru untuk mem-bantu para produsen agar terus melakukan
perubahan-perubahan, yang secara singkat disampaikan dalam Gambar 43.
c) Orientasi
masa-depan, dan bukan apa yang dilakukan sekarang (Toscano, 2001), dengan memperhatikan:
i kecenderungan global
i perubahan-perubahan masa
depan
i perubahan kependudukan
i kemajuan bioteknologi
modern
i hukum internasional
i etika dan lingkungan
i kecenderungan bisnis
global
i kecenderungan lokakarya
global
d) Orientasi kepada keinginan kelompok sasaran
(Mcleish, et al, 001) terhadap informasi yang:
i cermat, bersahabat,
menyadarkan
i tertulis, sehingga
membantu pengambilan keputusan
i sederhana, singkat, dan
jelas tentang pesan yang ditonjolkan
i membantu pengembangan
diri/usahanya.
i cermat, bersahabat,
menyadarkan
i tertulis, sehingga
membantu pengambilan keputusan
i sederhana, singkat, dan
jelas tentang pesan yang ditonjolkan
i membantu pengembangan
diri/usahanya.
Gambar 43. Pendekatan Navigator
e) Pendekatan ekonomi/manajemen usahatani, yang
mencakup:
i sumbangan yang diberikan
(Evenson, 1997)
i efektivitas pembiayaan
(Adhikarya, 1995)
i kepuasan pelanggan (Rennekamp
et al, 2001) yaitu: relevansi, mutu, kemanfaatan, dan layanan.
i keunikan bisnis (Reeve,
2001)
i perencanaan pemasaran
(Nehiley, 2001) yang terdiri: inventarisasi pelanggan, tujuan dan sasaran
pemasaran, putuskan pesan yang ingin disampaikan,manfaatkan media yang tepat.
C. Undang-undang Sistem
Penyuluhan Pertanian
Sebagai tindak lanjut
pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 11
Nopember 2005, pada tanggal 15 Nopember 2006 pemerintah menetapkan
Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan, yang mencakup:
(1)
Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(2)
Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(3)
Ketenagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(4)
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutan-an
(5)
Pembiayaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(6)
Pengawasan dan pembinaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan
Kehadiran Undang-undang tersebut,
oleh banyak kalangan disambut dengan sangat antusias, khususnya oleh para
penyuluh pertanian, karena setidak-tidaknya sudah ada landasan hukum yang kuat
yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Tetapi jika dicermati, terdapat
beberapa hal yang layak dikritisi, yaitu:
(1)
Nomenklatur yang digunakan
Penggunaan nama Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dapat menimbulkan kerancuan
pemahaman dalam masyharakat, yang sejak lama telah mengartikan pertanian dalam arti-sempit
(pertanian tanaman pangan dan hortikultura) dan dalam arti-luas (pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan).
Penggunaan nomenklatur
seperti itu, sangat jelas hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek,
karena kebetulan di jajaran birokrasi yang sedang berkuasa terdapat 3 (tiga) Departemen
lingkup pertanian, yaitu: Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, serta
Departemen Kelautan dan Perikanan, yang sewaktu-waktu dapat diganti tergantung
kepada rezim yang sedang berkuasa.
(2)
Kebijakan yang sentralistis
Meskipun kegiatan
penyuluhan pertanian sudah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota jauh
hari sebelum reformasi, tetapi peran pemerintah nasional (pusat) dalam UU No.
16 Tahun 2006 masih sangat kuat, seperti tersebut dalam:
a)
Pasal 18, tentang kelembagaan penyuluhan pemerintah
b)
Pasal 21 (3), tentang peningkatan mutu penyuluh
c)
Pasal 25, tentang pedoman penyusunan programa penyuluhan
d)
Pasal 28 (3), tentang penetapan teknologi tertentu
e)
Pasal 33, tentang pembiayaan penyuluhan
f)
Pasal 34, tentang pembinaan dan pengawasan
(3)
Dominasi penyuluhan oleh pemerintah
Harus diakui bahwa,
kegiatan penyuluhan pertanian selama ini lebih didominasi oleh pemerintah, baik
dalam perumusan kebijakan, ketenagaan penyuluh, penyediaan sarana dan
prasarana, pembiayaan, serta pengawasan dan pembinaan penyuluhan,
Terkait tentang hal ini,
dominasi pemerintah masih terlihat pada pasal Pasal 28 (3), tentang penetapan
teknologi tertentu dan pasal 32 (5) tentang pembiayaan penyuluhan. Di samping itu, rencana Departe-men Pertanian
untuk mengangkat tenaga penyuluh sebanyak seorang/ desa, semakin menunjukkan
dominasi pemerintah dalam penyuluhan pertanian.
(4)
Pengembangan penyuluhan swasta dan swadaya
Meskipun dalam pasal 20,
dinyatakan bahwa tenaga penyuluh pertanian terdiri dari: penyuluh PNS, penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya, tetapi tidak ada satu pasal/ayat yang menyebutkan
upaya pemerintah untuk mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya. Artinya, tidak ada upaya pemerintah yang secara
aktif dan sungguh-sungguh mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan
swadaya. Pada
pasal 21 (2) pemerintah hanya sekadar memfasilitasi pendidikan dan pelatihan
bagi penyuluh swasta dan swadaya. Demikian
juga, pada pasal 33 (5), pembiayaan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya hanya dapat
dibantu oleh pemerintah dan pemerintah daerah
(5)
Kemandirian
Penyuluhan Oleh Masyarakat
Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan
pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh
pemerintah. Hal ini terlihar bahwa,
pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh “pangreh praja”, “pamong praja”,
aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan
status Pega-wai Negeri Sipil (PNS).
Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek
penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat
diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat “loyal” kepada
pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya mem-peroleh penghargaan
dari masyarakatnya). Sayangnya kebijakan pemerintah tidak selalu berpihak
kepada petani. Bahkan seringkali
campur-tangan pemerintah tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan
kepentingan petani dan lebih mementingkan pemangku-kepentingan yang lain.
Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan
penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih
menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada
kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa
oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan
menguntungkan (agenda terse-lubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.
Pengalaman seperti itu, mendorong pemikiran kearah
kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan masyarakat. Sebab, selama penyuluh berasal (diangkat dan
dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih berpihak kepada
kepentingan “luar” disbanding kepentingan petaninya.
Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah
masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar
diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek
pemerintah, swasta dan LSM.
(6)
Privatisasi
Penyuluhan Pertanian
Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan,
tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam
pembiayaan kegiatan penyuluhan.
Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting
penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target
pem-bangunan, maupun kepentingan jangka
panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia. Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat
tergantung kepada pemahaman masing-masing kepala peme-rintahannya untuk
menyediakan anggaran penyuluhan pertanian.
(7)
Integrasi
Penyuluhan Pembangunan
Dalam
UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; ... penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan
subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan;
Tentang
hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak
kurang dari 20 jenis penyuluhan pembangunan di pedesaan. Oleh sebab itu, perlu
perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral) pertanian masih
diperlukan, ataukah hanya dikembangkan satu kegiatan penyuluhan pembangunan
perdesaan secara terintegrasi dan holistik
D. Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan
Di masa mendatang,
kegiatan penyuluhan pertanian akan menghadapi tantangan-tantangan, terutama
yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk di tengah-tengah semakin
sempitnya lahan per-tanian, sehingga usahatani harus semakin mengkhususkan diri
serta meningkatkan efisiensinya.
Dalam perspektif
pemerintah, apapun prioritas yang akan ditempuh, kegiatan penyuluhan pertanian
akan tetap menjadi kebijakan kunci untuk mempromosikan kegiatan Pertanian
Berkelanjutan baik dalam kontek ekologi maupun sosial-ekonomi
ditengah-tengah sistem pemerintahan yang birokratis dan semakin terbatas
kemampuannya untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik. Di lain pihak, kegiatan
penyuluhan harus semakin bersifat “partisipatip” yang diawali dengan analisis
tentang keadaaan dan kebutuhan masyarakat melalui kegiatan Penilaian Desa
Partisipatip atau participatory rural appraisal/PRA (Chambers, 1993).
Meskipun demikian, kegiatan penyuluhan per-tanian akan banyak didukung oleh
kemajuan teknologi informasi.
Karena itu, di masa
depan, kekuatan dan perubahan penyuluhan per-tanian akan selalu terkait dengan
keempat hal yang akan dikemuka-kan berikut ini (Rivera & Gustafson, 1991):
(1)
Iklim ekonomi
dan Politik
Sejak krisis ekonomi dan
politik melanda beberapa negara pada akhir abad 20, banyak negara yang tidak
lagi mampu membiayai kegiatan publik di tengah-tengah tuntutan demokratisasi.
Karena itu, kegiatan penyuluhan
harus dilaksanakan seca-ra lebih efisien untuk dapat melayani kelompok sasaran
yang lebih luas, dan di lain pihak, pemerintah akan lebih banyak menyerahkan
kegiatan penyuluhan kepada pihak swasta.
(2)
Konteks sosial di wilayah pedesaan
Di
masa depan, masyarakat pedesaan relatif berpendidikan, lebih banyak memperoleh
informasi dari media masa serta terbuka dari isolasi geograpis, lebih memiliki
aksesi-bilitas dengan kehidupan bangsanya sendiri dan dunia internasional. Karena itu, penyuluh-an pertanian harus mampu
menjawab tantangan pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, perubahan
aturan/kebijakan, persyaratan pasar, serta kebutuhan masyarakat akan beragam
layanan seperti: pelatihan, spesialisasi, pelatihan kompetensi dan
bentuk-bentuk organisasi (Moris, 1991). Sehubungan
dengan itu, penyuluhan pertanian di masa depan harus meninggalkan mono-poli
pemerintah sebagai penyelenggara penyuluhan, mampu melayani beragam
kelompok-sasaran yang berbeda, tidak saja terkait dengan keragaman kategori
adopternya, tetapi juga yang terkait dengan aksesibilitas pasar, derajat
komersialisasi serta ketergantungannya pada usahatani untuk perbaikan
penda-patan dan kesejahteraannya.
(3) Sistem Pengetahuan
Terjadinya
perubahan politik yang berdampak pada debiro-kratisasi, desentralisasi
(pelimpahan kewenangan) dan devolusi (penyerahan kewenangan) kepada
masyarakat lokal, juga akan berimbas
pada pengembangan usahatani yang memiliki spesifi-kasi lokal. Pengakuan
terhadap pentingnya spesifikasi lokal, harus dihadapi dengan pengakuan penyuluh
terhadap kemampuan petani, pengalaman petani, penelitian yang dilakukan
petani, serta upaya-upaya pengembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu,
penyuluh harus menjalin hubungan yang partisipatip dengan kelompok
sasarannya, khususnya dalam pemanfaatan media-masa untuk menunjang kegiatan
penyuluhan di wilayah-kerjanya.
(4) Teknologi
Informasi
Perkembangan
telekomunikasi dan penggunaan komputer pribadi/ PC akan sangat berpengaruh
terhadap kegiatan penyuluhan per-tanian di masa depan. Kelompok sasaran yang memiliki kemam-puan
memanfaatkan teknologi informasi/IT akan relatif lebih independen. Dengan demikian, fungsi penyuluh tidak lagi
“menyampaikan pesan” melainkan lebih bersifat fasilitatif dan konsultatif, dan
karena itu akan menuntut jalinan interaksi partisipatip yang semakin intensif
dengan kelompok-sasarannya.
Khusus di Indonesia, masa
depan penyuluhan pertanian perlu mem-perhatikan:
(1)
Kemandirian
Penyuluhan Oleh Masyarakat
Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan
pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh
pemerintah. Hal ini terlihar bahwa,
pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh “pangreh praja”, “pamong praja”,
aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan
status Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek
penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat
diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat “loyal” kepada
pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya memper-oleh penghargaan
dari masyarakatnya). Sayangnya
kebijakan peme-rintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah
tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih
mementingkan pemangku-kepentingan yang lain.
Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan
penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih
menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada
kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa
oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan
menguntungkan (agenda terselubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.
Pengalaman tersebut, mendorong pemikiran kearah
kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan
masyarakat. Sebab, selama penyuluh
berasal (diangkat dan dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih
berpihak kepada kepentingan “luar” disbanding kepentingan petaninya.
Pemikiran seperti itu, juga disampaikan oleh Puspadi
(2006) yang menyatakan bahwa: penyuluhan
yang dikelola petani merupakan pendekatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian
partisipatif pada tingkat tertinggi yang merupakan alternatif untuk
mendekatkan sumberdaya informasi dan teknologi di pedesaan.
Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah
masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar
diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek
pemerintah, swasta dan LSM.
(2)
Desentralisasi
Penyuluhan
Seiring dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan
yang digulirkan sebagai tuntutan reformasi sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun
1999, desentralisasi penyuluhan
pertanian yang sudah digulirkan sejak tahun 1995 semakin menjadi keharusan.
Terkait dengan itu, penyuluhan spesifik lokal
yang memperhatikan indigenuous technology, serta budaya dan
kearifan-lokal semakin menjadi kebutuhan di masa depan
(3)
Privatisasi
Penyuluhan Pertanian
Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan,
tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam
pembiayaan kegiatan penyuluhan.
Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting
penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target
pem-bangunan, maupun kepentingan jangka
panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia.
Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat tergantung
kepada pema-haman masing-masing kepala pemerintahannya untuk menyediakan
anggaran penyuluhan pertanian.
(4)
Integrasi
Penyuluhan Pembangunan
Dalam
UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; penyuluhan dilaksanakan
secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan;
Tentang
hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak
kurang dari 20 jenis penyuluhan pemba-ngunan di pedesaan (Sutadi, 1999). Oleh
sebab itu, perlu perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral)
pertanian masih diperlukan, ataukah hanya dikembangkan sebagai sub-sistem dari
sistem penyuluhan pembangunan perdesaan secara terintegrasi dan holistik
J. Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan
Di masa mendatang,
kegiatan penyuluhan pertanian akan menghadapi tantangan-tantangan, terutama
yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk di tengah-tengah semakin
sempitnya lahan per-tanian, sehingga usahatani harus semakin mengkhususkan diri
serta meningkatkan efisiensinya.
Dalam perspektif
pemerintah, apapun prioritas yang akan ditempuh, kegiatan penyuluhan pertanian
akan tetap menjadi kebijakan kunci untuk mempromosikan kegiatan Pertanian
Berkelanjutan baik dalam kontek ekologi maupun sosial-ekonomi
ditengah-tengah sistem pemerintahan yang birokratis dan semakin terbatas
kemampuannya untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik. Di lain pihak, kegiatan
penyuluhan harus semakin bersifat “partisipatip” yang diawali dengan analisis
tentang keadaaan dan kebutuhan masyarakat melalui kegiatan Penilaian Desa
Partisipatip atau participatory rural appraisal/PRA (Chambers, 1993).
Meskipun demikian, kegiatan penyuluhan per-tanian akan banyak didukung oleh
kemajuan teknologi informasi.
Karena itu, di masa
depan, kekuatan dan perubahan penyuluhan per-tanian akan selalu terkait dengan
keempat hal yang akan dikemuka-kan berikut ini (Rivera & Gustafson, 1991):
(3)
Iklim ekonomi
dan Politik
Sejak krisis ekonomi dan
politik melanda beberapa negara pada akhir abad 20, banyak negara yang tidak
lagi mampu membiayai kegiatan publik di tengah-tengah tuntutan demokratisasi.
Karena itu, kegiatan penyuluhan
harus dilaksanakan seca-ra lebih efisien untuk dapat melayani kelompok sasaran
yang lebih luas, dan di lain pihak, pemerintah akan lebih banyak menyerahkan
kegiatan penyuluhan kepada pihak swasta.
(4)
Konteks sosial di wilayah pedesaan
Di
masa depan, masyarakat pedesaan relatif berpendidikan, lebih banyak memperoleh
informasi dari media masa serta terbuka dari isolasi geograpis, lebih memiliki
aksesi-bilitas dengan kehidupan bangsanya sendiri dan dunia internasional. Karena itu, penyuluh-an pertanian harus mampu
menjawab tantangan pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, perubahan
aturan/kebijakan, persyaratan pasar, serta kebutuhan masyarakat akan beragam
layanan seperti: pelatihan, spesialisasi, pelatihan kompetensi dan
bentuk-bentuk organisasi (Moris, 1991). Sehubungan
dengan itu, penyuluhan pertanian di masa depan harus meninggalkan mono-poli
pemerintah sebagai penyelenggara penyuluhan, mampu melayani beragam
kelompok-sasaran yang berbeda, tidak saja terkait dengan keragaman kategori
adopternya, tetapi juga yang terkait dengan aksesibilitas pasar, derajat
komersialisasi serta ketergantungannya pada usahatani untuk perbaikan
penda-patan dan kesejahteraannya.
(3) Sistem Pengetahuan
Terjadinya
perubahan politik yang berdampak pada debiro-kratisasi, desentralisasi
(pelimpahan kewenangan) dan devolusi (penyerahan kewenangan) kepada
masyarakat lokal, juga akan berimbas
pada pengembangan usahatani yang memiliki spesifi-kasi lokal. Pengakuan
terhadap pentingnya spesifikasi lokal, harus dihadapi dengan pengakuan penyuluh
terhadap kemampuan petani, pengalaman petani, penelitian yang dilakukan
petani, serta upaya-upaya pengembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu,
penyuluh harus menjalin hubungan yang partisipatip dengan kelompok
sasarannya, khususnya dalam pemanfaatan media-masa untuk menunjang kegiatan
penyuluhan di wilayah-kerjanya.
(4) Teknologi
Informasi
Perkembangan
telekomunikasi dan penggunaan komputer pribadi/ PC akan sangat berpengaruh
terhadap kegiatan penyuluhan per-tanian di masa depan. Kelompok sasaran yang memiliki kemam-puan
memanfaatkan teknologi informasi/IT akan relatif lebih independen. Dengan demikian, fungsi penyuluh tidak lagi
“menyampaikan pesan” melainkan lebih bersifat fasilitatif dan konsultatif, dan
karena itu akan menuntut jalinan interaksi partisipatip yang semakin intensif
dengan kelompok-sasarannya.
Khusus di Indonesia, masa
depan penyuluhan pertanian perlu mem-perhatikan:
(5)
Kemandirian
Penyuluhan Oleh Masyarakat
Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan
pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh
pemerintah. Hal ini terlihar bahwa,
pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh “pangreh praja”, “pamong praja”,
aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan
status Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek
penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat
diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat “loyal” kepada
pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya memper-oleh penghargaan
dari masyarakatnya). Sayangnya
kebijakan peme-rintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah
tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih
mementingkan pemangku-kepentingan yang lain.
Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan
penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih
menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada
kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa
oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan
menguntungkan (agenda terselubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.
Pengalaman tersebut, mendorong pemikiran kearah
kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan
masyarakat. Sebab, selama penyuluh
berasal (diangkat dan dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih
berpihak kepada kepentingan “luar” dibanding kepentingan petaninya.
Pemikiran seperti itu, juga disampaikan oleh Puspadi
(2006) yang menyatakan bahwa: penyuluhan
yang dikelola petani merupakan pendekatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian
partisipatif pada tingkat tertinggi yang merupakan alternatif untuk
mendekatkan sumberdaya informasi dan teknologi di pedesaan.
Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah
masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar
diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek
pemerintah, swasta dan LSM.
(6)
Desentralisasi
Penyuluhan
Seiring dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan
yang digulirkan sebagai tuntutan reformasi sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun
1999, desentralisasi penyuluhan
pertanian yang sudah digulirkan sejak tahun 1995 semakin menjadi keharusan.
Terkait dengan itu, penyuluhan spesifik lokal
yang memperhatikan indigenuous technology, serta budaya dan
kearifan-lokal semakin menjadi kebutuhan di masa depan
(7)
Privatisasi
Penyuluhan Pertanian
Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan,
tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam
pembiayaan kegiatan penyuluhan.
Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting
penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target
pem-bangunan, maupun kepentingan jangka
panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia.
Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat tergantung
kepada pema-haman masing-masing kepala pemerintahannya untuk menyediakan
anggaran penyuluhan pertanian.
(8)
Integrasi
Penyuluhan Pembangunan
Dalam
UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; ... penyuluhan
dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan;
Tentang
hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak
kurang dari 20 jenis penyuluhan pembangunan di pedesaan (Sutadi, 1999). Oleh
sebab itu, perlu perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral)
pertanian masih diperlukan, ataukah hanya dikembangkan sebagai sub-sistem dari
sistem penyuluhan pembangunan perdesaan secara terintegrasi dan holistik
Lebih
lanjut, berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi penyuluhan pertanian, pada
tahun 1989 Mardikanto telah mengusulkan gagasan pembentukan Kantor/Unit
Penyuluhan Pembangunan di setiap
Kabu-paten Kota yang secara langsung di bawah kamando dan bertang-gungjawab
kepada Bupati/Walikota.
Pembentukan
kantor/Unit Penyuluhan Pembangunan seperti itu, dira-sakan sangat mutlak, sebab
yang diperlukan (yang dapat menjamin orientasi lintas sektoral) bukanlah
sekadar wadah atau forum koordi-nasi penyuluhan, tetapi suatu unit kegiatan
yang bertanggungjawab penuh kepada Bupati/Walikota dan memiliki kekuasaan penuh
dalam menyelenggarakan administrasi penyuluhan pembangunan.
Adanya
forum koordinasi penyuluhan, pengalaman menunjukkan bahwa koordinasi yang baik
dimeja rapat tidak selalu diikuti dengan
pelaksanaan penyuluhan pembangunan di lapangan yang benar-benar ber-orientasi
lintas-sektoral yang terpadu, selaras, seimbang, dan serasi sesuai dengan
prioritas kebutuhan demi tercapainya tujuan pemba-ngunan lokal, regional dan
nasional.
Berbeda
dengan Dinas/Instansi teknis yang ada, yang lebih memuastkan perhatian kepada
kegiatan pengaturan dan pelayanan sesuai dengan sektor/sub-sektornya
masing-masing, Kantor/Unit Penyuluhan Pembangunan merupakan aparat fungsional
dari yang berkewajiban dan bertanggungjawab merancang, melaksanakan, maupun
mengevaluasi program-program penyuluhan pembangunan di wilayah yang
bersangkutan, untuk semua kegiatan sektoral dan sub-sektoral, secara terpadu,
seimbang, selaras, dan serasi berdasarkan prioritas kebutuhan pembangunan
wilayah setempat demi tercapainya perbaikan mutu-hidup masyarakat terus
–menerus.
Keberadaan
Kantor/Unit Pelaksana Penyuluhan Pembangunan yang diharapkan akan mewadahi semua kegiatan penyuluhan yang
selama ini dilakukan oleh beragam Dinas/Instansi tersebut, dirasakan penting
karena praktek pelaksanaan kegiatan penyuluhan pembangunan yang dirancang dan
dikelola oleh beragam dinas/instansi secara terpisah seperti itu, sedikitnya
akan memiliki kelemahan-kelemahan dilihat dari:
a)
pemanfaatan sumberdaya pembangunan,
b)
ketidak-paduan bahkan terjadinya kompetisi kegiatan
penyuluhan antar sektor,
c)
keterbatasan wawasan dan pola berpikir aparat penyuluhan,
dan
d)
kepentingan masyarakat sasaran.
a.
Pemanfaatan sumberdaya pembangunan,
Sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan
penyuluhan yang dilaksanakan oleh beraga dinas/ instansi, maka sering terjadi
kegiat-an penyuluhan tentang suatu aspek kehidupan yang sama tetapi
dilaksanakan oleh banyak pihak, padahal semestinya dapat dilaku-kan oleh
seorang penyuluh yang sama.
Praktek-praktek penyuluhan seperti ini dapat dilihat misalnya pada:
i Penyuluhan kesehatan
masyarakat, yang dilakukan oleh : PKK dan Puskesmas (melalui Posyandu),
Penyuluh Pertanian (melalui UPGK), juru penerang, LSM, dll.
i Pembinaan generasi muda,
yang dilakukan oleh kantor Mendik-nas, Departemen Sosial (Karang Taruna),
Penyuluh Pertanian (Pembinaan Pemuda Tani, Pramuka Taruna Bumi), Ormas Pemuda
dll.
i Pertanian, Koperasi,
Hukum, dan Keluarga Berencana oleh : Penyuluh Pertanian, Departemen Koperasi,
BKKBN, Penga-dilan Negeri (Kadarkum), Jaksa Masuk Desa, dll.
Praktek kegiatan penyuluhan seperti itu, meskipun
disatu pihak memiliki arti positif sebagai upaya perluasan lapangan kerja,
tentu saja merupakan pemborosan sumberdaya pembangunan (apalagi dalam sua-sana
perekonomian yang sulit seperti sekarang ini). Disamping itu, praktek
penyuluhan seperti ini sekarang menjadi tidak efektif manakala pesan yang
disampaikan oleh masing-masing penyuluh tidak selaras (misalnya penyuluhan
penggunaan pestisida oleh PPL dan pelarangan penggunaan pesti-sida oleh LSM di
bidang lingkungan hidup).
Peningkatan kegiatan penyuluhan yang ditangani
oleh setiap dinas/ instansi terkait seperti itu, akan semakin terasa sebagai
beban pembangunan yang tidak kecil, manakala selaras dengan tahapan
pembangunan, setiap sektor kegiatan menuntut pengangkatan penyuluh baru
(termasuk kemudahan yang selaras) dengan jumlah seperti yang telah dimiliki
oleh sektor lain. Pengalaman seperti ini
pernah kita rasakan pada awal Pelita III, pada saat semua sub-sektor lingkup
Departemen Pertanian menginginkan untuk mengangkat PPL-nya sendiri-sendiri
seperti yang telah dimiliki oleh Dinas Pertanian (Tanaman Pangan).
b.
Ketidak-paduan dan Kompetisi antar Sektor
Seperti telah disinggung, kegiatan penyuluhan yang
dilaksa-nakan oleh masing-masing dinas/ instansi terkait seringkali menjadi
tidak padu bahkan cenderung berebut lahan dan popularitas, demi tercapainya
target-target sektoral atau
sub-sektoral. Sehingga tidaklah mengherankan jika keadaan seperti itu dapat
menimbulkan kesenjangan psikologis antar aparat penyuluhan di lapangan. Dan
jika kesenjangan seperti itu dapat dipadukan dengan baik, yang muncul di
lapangan adalah adanya satu kegiatan dengan papan nama yang berbeda
(berganti-ganti) sesuai dengan “siapa” yang sedang membutuhkan (misalnya:
kelompok tani berubah menjadi kelompencapir, kadarkum, atau yang lainnya lagi)
karena sasarannya memang sama.
c. Keterbatasan wawasan dan pola pikir aparat
penyuluh
Adalah satu kendala yang
perlu segera diantisipasi adalah, keter batasan wawasan dan pola berpikir sektoral
(atau bahkan sub-sektor yang dimiliki oleh aparat penyuluh di lapangan, sebagai
akibat demi tercapainya target-target sektor/ sub-sektornya. Perilaku seperti
ini, nampaknya telah dapat diselesaikan dengan baik di meja rapat koordinasi (baik
pada saat perencanaan atau pemantauan/ evaluasi). Akan tetapi dalam pelaksanaan
di lapangan, penyakit seperti itu sangat sulit disem-buhkan karena sebagai
aparat yang baik, harus dapat mengamankan dan mensukseskan program serta target
dinas/ instansinya sendiri-sendiri.
d. Kepentingan masyarakat sasaran
Ditinjau dari kepentingan masyarakat selaku
penerima manfaat penyuluhan, kegiatan penyuluhan pembangunan yang diprogram dan
dilaksanakan oleh beragam instansi sektoral (melalui penyuluhnya masing-masing)
akan menyita waktu dan perhatian tokoh-tokoh masyarakat yang bersangkutan hanya
untuk menerima kehadiran, mendengar kan penyuluhan, dan kegiatan lain yang
dirancang oleh masing-masing penyuluhnya; sehingga waktu yang tersedia untuk
mengelola kegiatannya sendiri, dan waktu serta perhatiannya untuk mengorganisir dan menggerakkan partisipasi anggotanya
menjadi relatif sangat terbatas.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan Yopy
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://prodipplk.blogspot.com/2015/10/penyuluhan-pertanian-di-masa-depan-yopy.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar