PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA DALAM PENELITIAN
Selasa, 27 Oktober 2015
0
komentar
PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA
DALAM PENELITIAN
Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut beberapa ahli,
paradigma dalam penelitian kuantitatif dan, berbagai macam paradigma penelitian
kualitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam
penelitian tersebut.
1.
PENGERTIAN PARADIGMA
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma
sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not
only in choices of method but in ontologically and epistomologically
fundamental ways.” Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem
keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak
hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis
dan epistomologis. Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107)
mendefinisikan “Paradigm as Basic Belief Systems Based on Ontological,
Epistomological, and Methodological Assumptions.” Paradigma merupakan sistem
keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis, epistomologis, dan
metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107) menyatakan: “A paradigm may be
viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or
first principle.” Suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat
kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik yaitu metafisik) yang
bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu
paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga pertanyaan mendasar yaitu
pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:
a.
Ontological: What is the nature of the “knowable?”
or what is the nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu
yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara lebih
sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat suatu
realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan hakikat suatu
fenomena.
b.
Epistomological: What is the nature of the
relationship between the knower (the inquirer) and the known (or knowable)?
Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti)
dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan
epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau
lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi
atau dapat terjadi?
c.
Methodological: How should the inquirer go about
finding out knowledge? Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan
pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan
bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi
metodologi mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti
untuk menemukan pengetahuan?
Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan
ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:
–
The ontological question: What is the form and
nature of reality and, therefore, what is there that can be known about it?
Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa
yang dapat diketahui tentangnya?”
–
The epistomological question: What is the
nature of the relationship between the knower or would be-knower and what can
be known? Pertanyaan epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara peneliti
atau yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
–
The methodological question: How can the
inquirer (would-be knower) go about finding out whatever he or she believes can
be known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau yang akan
menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan
bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi,
epistomologi serta metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu
pandangan Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma
adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi,
dan metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan
dasar sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat
realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara
peneliti mengetahui realitas.
Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba
(1990), Denzin & Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma merupakan
seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam
bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma
didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan
untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya.
Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang
banyak digunakan mengacu pada definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam
buku: Sociology A Multiple Paradigm Science (1975): paradigma merupakan
gambaran fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Paradigma membantu memberikan definisi
tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan,
bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi
dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu
konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan
satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan,
mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang
ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).
Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang secara
konsisten (kurang lebih) memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental
tentang pokok permasalahan, teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
Gambar
14 : George Ritzer
Menurut pendapat penulis, definisi paradigma yang
dikemukakan Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu ontologi,
epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari pernyataan: “paradigma
membantu memberikan definisi tentang apa
yang harus dipelajari (asumsi ontologi), pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi
epistomologi), bagaimana pertanyaan
itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan
demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi mendasar yang sama
dengan definisi paradigma dari Guba, Denzin & Lincoln, yaitu asumsi
ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Menurut Creswell (1994: 6), paradigma merupakan landasan
untuk mencari jawaban atas lima pertanyaan mendasar, yaitu ontologi,
epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Aksiologi adalah
jawaban atas pertanyaan apa peranan nilai, sedang retorika adalah
jawaban atas pertanyaan apa bahasa yang digunakan dalam penelitian.
Dari semua uraian di atas dapatlah dikemukakan bagaimana
seseorang mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan
melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima pertanyaan mendasar,
yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan metodologi. Oleh karena
itu, uraian selanjutnya akan dikemukakan prinsip-prinsip implementasi,
dimensi-dimensi paradigma dalam penelitian kuantitatif dan dalam penelitian
kualitatif.
2.
PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASI PARADIGMA DALAM
PENELITIAN
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian
yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan
penelitian dengan pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum
dijelaskan paradigma dari setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana
implementasinya, akan diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian
kuantitatif dengan penelitian kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell,
Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah
ini merupakan prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif.
Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian
kuantitatif dengan penelitian kualitatif sebagai berikut:
a)
Penelitian Kuantitatif
Landasan berpikir
pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali
diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah
bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang
disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta
sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu
fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif
diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi
tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel
bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian
kuantitatif memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel.
Hakikat hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori
yang objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah
gejala-gejala, sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu
tidak terbatas banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan
variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik
dalam penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan
menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat
diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan (Suparlan,
1994:6-7).
b)
Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah
pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi
bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik
tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial
tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber
adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau
penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka
seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola. Gejala-gejala
sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan
pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang
objektif. Penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku
yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar berlaku dan
menyolok berdasarkan atas kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap
gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan yang
bersangkutan sebagai kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan
lain atau kerangka acuan lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain;
tidak objektif, sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan,
1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang
fundamental antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar
terdapat gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin &
Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman,
1997:14) sebagai berikut.
Quantitative Style (Model
Kuantitatif)
a.
Measure objective facts (mengukur fakta yang
objektif)
b.
Focus on variables (terfokus pada
variabel-variabel)
c.
Reliability is key (reliabilitas merupakan
kunci)
d.
Value free (bersifat bebas nilai)
e.
Independent of context (tidak tergantung
pada konteks)
f.
Many cases subjects (terdiri atas kasus atau
subjek yang banyak)
g.
Statistical analysis (menggunakan analisis
statistik)
h.
Researcher is detached (peneliti tidak
terlibat)
Qualitative Style (Model Kualitatif)
a.
Construct social reality, cultural meaning
(mengonstruksi realitas sosial, makna budaya)
b.
Focus on interactive processes, events (berfokus
pada proses interpretasi dan peristiwa-peristiwa)
c.
Authenticity is key (keaslian merupakan
kunci)
d.
Values are present and explicit (nilai hadir
dan nyata / tidak bebas nilai)
e.
Situationally constrained (terikat pada
situasi / terikat pada konteks)
f.
Few cases subjects (terdiri atas beberapa
kasus atau subjek)
g.
Thematic analysis (bersifat analisis
tematik)
h.
Researcher is involved (peneliti terlibat)
Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif
a.
Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian
kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk
mendapatkan objektivitas, variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk
mengetahui kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan
suatu perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan
komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang
dalam hal ini motivasi kerja karyawan.
b.
Terfokus pada variabel-variabel
Sebelum
dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel atau hal-hal
pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan
variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu gejala yang
terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain atau karena adanya hubungan atau
pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara berpikir nomotetik. Misalnya
dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja karyawan.
Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa yang
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara
teori ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor
motivasi kerja dan kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh atau hubungan dari
data hasil pengukuran masing-masing variabel diuji secara statistik apakah
benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau
mempunyai hubungan dengan variabel produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh
atau hubungan tersebut signifikan atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat
kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil analisis statistik menyatakan
variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan,
maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh
variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan
motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.
Catatan:
Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu variabel
pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur
hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau beberapa variabel.
Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel yang
lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple regression (regresi
ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan variabel lain
di antaranya menggunakan analisis statistik correlation (korelasi)
misalnya correlation product-moment (korelasi product-moment)
dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.
c.
Reliabilitas merupakan kunci
Reliabilitas atau keajegan
suatu tes atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau kuesioner tersebut
menghasilkan skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda.
Suatu alat ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila
memiliki reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat.
Oleh karena itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif,
karena apabila alat ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya),
maka akan berdampak hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel
dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki validitas
(kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas
apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Catatan:
Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis
Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik untuk
mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor setiap
item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item yang
dikorelasikan).
d.
Bebas nilai
Dalam
penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak dikaitkan
dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena
tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap fenomena tidak diperhitungkan
atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah satu komponen dari konsep diri
adalah kelebihan dan kelemahan pada diri individu. Dalam budaya Barat seorang
individu untuk menyatakan kelebihan dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi
masalah. Seorang individu untuk dapat dikatakan memiliki konsep diri yang
positif, individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan kelebihannya
di samping memiliki kriteria-kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada
budaya Timur perilaku yang demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam
penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena
menurut paradigma yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian
kuantitatif, kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku
umum.
e.
Tidak tergantung pada konteks
Suatu fenomena terkait
dengan konteks artinya terkait dengan situasi atau lingkungan yang menyertai
fenomena tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda. Misalnya
fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya
(Teori Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan
orang-orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan
yang tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman
Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang
Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa
asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di lereng
gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di pedalaman Papua
dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok tanam, memelihara
binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni lokal atau seni daerah
setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena yang
diteliti.
Gambar 15 : Abraham Maslow
f.
Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang
banyak
Dalam
penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek yang
banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat diberlakukan
secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel, dan technique
sampling (teknik menentukan sampel). Populasi adalah seluruh atau jumlah
individu dari suatu wilayah atau organisasi atau instansi atau perusahaan yang
memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah sebagian dari populasi
yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus representatif (harus dapat
mewakili) artinya sampel harus dapat menggambarkan keadaan populasi. Terdapat
beberapa teknik sampling (cara pengambilan sampel), di antaranya: total
sampling, yaitu apabila seluruh individu atau seluruh anggota populasi
dijadikan sampel; stratified random sampling, yaitu apabila setiap
strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan sampel dan dilakukan secara acak
(random); purposive sampling, yaitu apabila individu yang dijadikan
sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan penelitian; accidental
sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel adalah individu yang dapat
ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang representatif terhadap
populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap sampel, dan hasil
penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir artinya dapat
menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada sampel, tetapi
sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.
g. Menggunakan
analisis statistik
Dalam
penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat
mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam
penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya
tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna guna mendapatkan
pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa macam teknik
analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di depan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang
lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment dari
Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis statistik multiple
regression. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel yang
satu dengan variabel yang lain digunakan rumus t-test. Dalam penelitian
kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak digunakan dalam
penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas, reliabilitas, hipotesis,
signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk menggambarkan apabila
hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lain
mempunyai makna, untuk itu kemungkinan salah perhitungannya dibatasi maksimal
5%, atau dengan simbol statistik p < 0.05. Suatu hubungan atau
perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu dengan variabel yang lain
apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih kecil dari 5%)
dinyatakan signifikan atau bermakna.
h. Peneliti
tidak memihak
Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak
memihak, artinya peneliti menghindari subjektivitas dari subjek yang diteliti.
Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui persepsi
subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif merupakan
hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu
fenomena. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin
mengeleminir subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam
penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.
Penjelasan dan contoh Model Kualitatif
a.
Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya
Apabila
penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau dengan kata
lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka penelitian kualitatif
ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon
atau makna di balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif
berusaha mendeskripsikan fenomena secara akurat (erklaren), sedangkan
penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu
perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen),
tidak cukup apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi
juga mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada atau
terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses terjadinya
suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa, mengapa, dan
bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia mempunyai metakognisi
yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang
apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan
kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985
dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen)
tidak cukup hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga
mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu
pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian
bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang
terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut
adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai
hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-konsep,
sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan kapan
menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut
jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif
dilakukan untuk mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu
mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang
pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan
makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak menjadi tujuan
penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga tidak menjadi aspek
penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas
sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme
yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman
terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang
diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan
bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata,
tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.
b.
Berfokus
pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
Penelitian
kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian dilakukan
telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada proses interaksi
dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan pada
variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada waktu di lapangan
setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif di
antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi. Observasi
tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting saja, tetapi justru
yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian
itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan
wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak bersamaan dengan wawancara.
Apabila observasi dilakukan bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat
terfokus pada hal-hal yang akan diobservasi. Walaupun memang ada perilaku yang
dapat diobservasi pada waktu diadakan wawancara, namun mengenai perilaku
tersebut belum dapat ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka
hasil wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang
dilakukan secara khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses
interaksi atau kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan
observasi terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab
pertanyaan tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya
tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara
mendalam (verstehen).
c.
Keaslian merupakan kunci
Dalam
penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik
mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian
merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan sebagai
penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif
tidak ada usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting. Sebaliknya
penelitian kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun setting
penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan
subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah
ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel
kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan terapi
khusus atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya penelitian
kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan setting
sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari,
1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang
berorientasi pada penemuan (discovery-oriented). Penelitian demikian
secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam keadaan
sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.
d.
Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)
Dalam
penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak
memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif
nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif memegang
teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan
nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi)
dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak
menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,
mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian.
Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal (dapat
menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam
Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti mengetahui adanya
sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti) dalam
penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan bias-biasnya,
serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.
e.
Terikat pada situasi (terikat pada konteks)
Telah
dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya, atau
dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan
bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang berlaku
umum (universal), maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh
yang diteliti. Peneliti selalu berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang
sistematis dan berusaha objektif dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya
penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas dari yang diteliti
karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin mengetahui
persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti
selalu terikat pada situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang
mengalami kesedihan dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat
memasuki pesta ulang tahun anaknya atau teman karibnya. Dengan adanya data yang
bersifat subjektif, apa ini berarti penelitian kualitatif tetap bersifat
ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap
ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu
atau dengan kata lain beberapa atau banyak individu memiliki data yang sama
dengan subjek yang diteliti, maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat
intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif, pengertian intersubjektif
sama dengan objektif.
f.
Terdiri dari beberapa kasus atau subjek
Dalam
penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus
atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga
banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus yang
sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian
tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.” Negara-negara
yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi penelitian
perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai
contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok jumlah subjek
minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis dengan
statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah
subjek yang diteliti.
g.
Bersifat analisis tematik
Dalam
penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau
spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap
perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan
yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah
kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal (learning-disabilities),
dan lain-lain.
h.
Peneliti terlibat
Berbeda
dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang
diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari subjektivitas dari
yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak mengambil
jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek yang diteliti
terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan misalnya observasi
terlibat (participant observation). Dengan observasi terlibat pemahaman
terhadap subjek dapat mendalam.
3.
PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN
KUALITATIF
a.
Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme,
yaitu suatu keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang
menyatakan bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian
berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana
realitas tersebut senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17),
Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian
dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada
akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian serta
mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief
system of positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that
there exists a reality out there, driven by immutable the natural laws.”
Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis
yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh
hukum-hukum alam yang tetap.
Secara
singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan kebenaran
itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum
kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20) sistem
keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology:
Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable natural laws and
mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is conventionally
summarized in the form of time and
context-free generalizations. Some of these latter generalizations take the
form of cause-effect laws.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu
mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme
yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities),
hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk
generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks.
Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-akibat.
“Epistomology :
Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer to
adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and
confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the
outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi
epistomologi: dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk
mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang
diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara
otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology
: Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied in advance
in propositional term and subjected to empirical tests (falsification) under
carefully controlled conditions.”
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi:
bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau
hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian
dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol
secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog
Aguste Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme
yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Mill dari Inggris (1843)
memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile Durkheim (Sosiolog
Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam Rules of the
Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi para peneliti
ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek
studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa,
sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial
berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme
informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan
responden penelitian.
Gambar 16 : John
Stuart Mill
b. Paradigma
dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme,
Post Positivisme, dan Teori Kritis
a)
Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly
believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse,
1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really
work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework
(construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980).
Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja”
adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja
mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini berarti
realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang.
Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan “Constructivists concur with the
ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be
seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value
window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan
pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat
dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela
nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian
terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti
dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi
dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang
terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts
knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human
construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever
changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi
manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi
merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir
tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas
mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap
tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas
dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia.
Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan
pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang
terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak
dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito
Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan.
Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan
hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari indera (mata,
telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk
mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang
kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut
Descartes dimulai dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan
kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di
satu pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada
materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut
Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman terhadap
fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keyakinan dasar
pada peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology :
“Relativist – Realities exist in the form of multiple mental constructions,
socially and experientially based local and specific, dependent for their form
and content on the persons who hold them.”
Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada
dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial
dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang
mengemukakannya.”
Epistomogy : “Subjectivist – inquirer and inquired into
are fused a single (monistic) entity. Findings are literally the creation of
the process of interaction between the two.”
Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang
diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).
Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara
peneliti dan yang diteliti.”
Methodology:
“Hermeneutic – dialectic – individual constructions are elicited and refined
hermeneutically, with the aim of generating one (or a few) constructions on
which there is substantisl consensus.”
Asumsi
metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual
dinyatakan dan diperhalus secara
hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang
secara substansial disepakati”
b)
Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai
berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of
positivism. Having assessed the damage that positivism has occured,
postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust to it.
Prediction and control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut
mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi
dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan
para pendukung Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan
menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme
tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai
berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi
pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan
antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah
bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila
pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara
langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat
interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin,
sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu
pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme
adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi
Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata
ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat
manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti
membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan
realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif,
untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan
dasar pada peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
Ontology : “Critical realist – reality exist but can
never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can be only
incompletely understood.”
Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas
itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas
diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.”
Epistomology:
“Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but it can only
be approximated with special emphasis placed on external guardians such as the
critical tradition and critical community.”
Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya
objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun
objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga
eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
Methodology:
“Modified experimental/manipulative – emphasize critical multiplism. Redress
imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more qualitative
methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery into
the inqury process.”
Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang
dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang
lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada
teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing)
penemuan dalam proses penelitian.”
c)
Teori Kritis (Critical Theory)
Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai
berikut: “The label critical theory is no doubt inadequate to encompass all
the alternatives that can be swept into this category of paradigm. A more
appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”, including
neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and
other similar movements as well as critical theory itself. These perspectives
are properly placed together, however because they converge in rejecting the
claim of value freedom made by positivists (and largely continuing to be made
by postpositivists).”
Kutipan tersebut
mempunyai arti: “Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat
mencakup semua alternatif yang dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih
tepat diberi nama penelitian yang berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme,
materialisme, feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang
lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas
ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang dibuat oleh
kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan
Guba, Denzin dan Lincoln menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory)
sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut
“ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau cara pandang
terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu.
Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory
inquiry, dan paham-paham yang setara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi
ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai
objek atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat
dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi
masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan
transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara
epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang
tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep
subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang
dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan
tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Teori Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai
paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang
berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme,
Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum
Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena
Teori Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan
subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari
realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan
dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology : “Critical realist, as in the case of
postpositivism.”Artinya ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti
Post-Positivisme.”
Epistomology : “Subjectivist, in the sense that
values mediate inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti
nilai-nilai menjadi mediasi penelitian.”
Methodology:
“Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness and energize and
facilitate transformation.” Artinya metodologi:
“dialogis, transformatif; mengeliminasi kesadaran palsu dan membangkitkan dan
memasilitasi transformasi.”
Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi
dari paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta
implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, sebagai berikut:
4.
INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI
a. Interpretive
Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).
Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119)
mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham interpretive
dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari
tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen
dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu
pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism)
yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam
Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Painted in broad strokes, the canvas of
interpretivism is layered with ideas stemming from the German intellectual
tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the
phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of
ordinary language philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch,
A. R. Lough Isaiah Berlin).”
Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis
argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive
digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam
sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu
pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan
mental (Geisteswissenschaften) atau
ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften)
berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften).
Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu
pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam
Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of
human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic interpretation
of the social sciences (roughly the view that the aims and methods of the
social sciences are identical to those of the natural sciences). They held that
the mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences (Kulturwissenschaften)
were different in kind than the natural sciences (Naturwissenschaften): The
goal of the latter is scientific explanation (Erklaren), where as the goal of
the former is the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of
social phenomena.”
Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas
Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme,
Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari
dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli
filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para
penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan
alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang
berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang
peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap
apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan
penjelasan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam
Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism are
terms that routenely appear in the lexicon of social science methodologists and
philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of their
user. As general descriptors for a loosely coupled family of methodological and
philosophical persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts
(Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general direction of
where instances of particular kind of inquiry can be found. However they
“merely suggest directions along which to look” rather than provide
descriptions of what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat
disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah
yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena
sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu
pengetahuan mental (Geisteswissenschaften)
dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme
merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II.
Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research karangan Denzin & Lincoln
interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang
dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu
fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea pertama di atas juga
nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan
fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik
terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang menggunakan logika
emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan
penjelasan (erklaren) maka
interpretive bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik
fenomena (noumenon), penulis akan
mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul “Metode Etnografi”
sebagai berikut:
“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan
jantung dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung,
tetapi malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang
yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota
polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai
sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu menjelaskan kepada kerumunan
orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap
beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul wanita tersebut. Meskipun
upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi namun korban serangan jantung
itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.”
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun
menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat
serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh
polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok
masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya
menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu
diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada
wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan
interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan kebudayaannya
menginterpretasikan tingkah laku polisi
sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu
bertindak untuk menghentikan perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai
perbuatan jahat.
Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1)
Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan
gerombolan sangat berbeda.
2)
Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut
disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau
fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah
contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8)
“The Interpretation of Cultures, Selected
Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz memberikan
contoh tentang anak yang mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat
memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama,
anak yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan
matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini
anak melakukan kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat
dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena
sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang
sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda.
Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang harus
melakukan “thick description”
(“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog
dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya pada Max
Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya
sendiri, saya menganggap kebudayaan
sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak merupakan ilmu
eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”
Gambar 17 : Clifford Geertz
b. Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi
dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive,
hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan
yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata lain mencari makna di balik fenomena.
Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena.
Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu
akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneuin yang berarti
menafsirkan. Maka kata benda hermeneia
secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini
mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes
adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di
Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena
itu fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang
pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes
harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol
seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi
itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono,
1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar,
baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer,
1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi Yunani
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada
apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri
Hermeneias atau De Interpretatione.
Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental
kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita
ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan
orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan
orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya
secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam
Sumaryono, 1993: 24).
Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap
interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai
baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai
sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang
satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan
arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak
problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu
akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengomunikasikan
gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun
manusia mempunyai pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa,
bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa
baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai
pengalaman mental yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu
dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun
mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki
pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan banyak persoalan.
Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang
diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai
kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental
atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi
kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya
dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan
pengalaman mental ke dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa dipakai orang
pada umumnya, kita tidak berusaha mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih
baik dan lebih jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan atau
kegembiraan sebagaimana orang biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak
mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang
bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada
dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman
kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis,
juga menjadi lebih sempit artinya.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia
menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis
dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu melalui
bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau
mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik
membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam bahasa yang
tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat dan lain-lain, agar makna yang
kita tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan
hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan
inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad
supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono,
1993: 28).
c. Fenomenologi
1) Pengertian
Fenomenologi
Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda
analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian
Fenomenologi.
Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan
dengan pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin
mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan
secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya
harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan
manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya
ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang
lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan
pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia
(fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis antara subjek dan dunianya:
tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud
pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana
adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui
sebagaiman adanya.
Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek
hanya akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki
kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin
dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan
itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan
objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek
yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan
segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal,
kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani,
melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu
mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini
berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan
yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan
mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek
apa saja pada tempat dan waktu mana pun.
Fenomenologi yang
dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk
menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak
memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya.
Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena
tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya
menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami
fenomena sebagaimana adanya.
Memahami
fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya
sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil sebagaimana
adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam Delfgaauw, 1988:
105).
Usaha kembali
kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan
fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok
adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut
harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat
mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan
intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman
adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah
pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta
pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya
senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan
analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu
seorang fenomenolog harus sangat cermat “menempatkan diantara tanda kurung”
kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan
dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik
atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan
hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang
menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia
luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental,
sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan
bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
Sedang Calra
Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang
diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang
menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar
kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan
mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka.
Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia
dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak
tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang
tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita
(“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early
twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as
humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us
perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know
about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is
experienced by human beings within particular contexts and at particular times,
rather than in abstract statements about the nature of the world in general.
Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness
as we engage with the world around us”).
Menurut perspektif
fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan
subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek
pasti hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau
itu membentuk realitasnya pada suatu saat manapun. Penampilan suatu objek
sebagai fenomena perseptual bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang
subjek, dan terpenting, orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat,
kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut
intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri sebagai
fenomena. Ini berarti bahwa “diri dan dunia merupakan komponen-komponen makna
yang tidak dapat dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan
merupakan sesuatu yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang
dipikirkan sesudah persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional,
oleh karena itu merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi
pada waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang
lebih dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi
mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan memokuskan
diri “di mana letak kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931: 262), dan
memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi dengan merasa,
berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi
fenomenologi (Willig, 1999: 51) (“According to a phenomenological
perspective, it makes no sense to think of the world of objects and subjects as
separate from our experience of it. This is because all objects and subjects
must present themselves to us as something, and their manifestation as this or
that something constitutes their reality at any one time. The appearance of an
object as a perceptual phenomenon varies depending upon the perceiver’s
location and context, angle of perception and importanly, the perceiver’s
mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements, emotions, aims and
purposes). This is referred to as intentionality. Intentionality allows objects
to appear as phenomena. This means that “self and world are inseparable components
of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is not something that is added
on to perception as an afterthought; instead, perception is always intentional
and therefore constitutive of experience itself. However, at the same time,
transcendental phenomenology acknowledeges that perception can be more or less
infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to
focus on “ that which lies before one in phenomenological purity” (Husserl,
1931: 262), and to reflect on that which we bring to the act of perception
through feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the
methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).
2) Metode Fenomenologi
Metode
fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi, membentuk bagian
sentral yang disebut fenomenologi transendental. Husserl menyatakan adalah
mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu keadaan
kesadaran yang belum direfleksikan, yang memungkinkan kita menggambarkan
fenomena sebagai mana mereka yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita.
Husserl mengidentifikasikan serangkaian tahap akan membantu filsof dari
persepsi segar tentang fenomena yang dikenal ke upaya menggali ciri khusus
fenomena. Pengetahuan yang berasal dari cara ini akan bebas dari penjelasan
akal sehat dan ilmiah dan interpretasi-interpretasi atau abstraksi-abstraksi
yang menjadi ciri pemahaman yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi
suatu pengetahuan tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam
hubungan kita dengannya. (“The phenomenological method of deriving forms a
central part of transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was
possible to transcend presuppositions and biases and to experience a state of
pre-reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they
present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take
the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction
of the essences that give the phenomena their unique character. Knowledge
derived in this way would be free from the common-sense notions, scientific
explanations and other interpretations or abstractions that characterize most
other forms of understanding. It would be a knowledge of the world as it
appears to us in our engagement with it” (Willig, 1999: 52).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa metoda fenomenologi dalam memperoleh pengertian meliputi 3
(tiga) fase perenungan yang membedakan yaitu: epoche, reduksi fenomenologi
dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan penundaan perkiraan dan
asumsi, penilaian dan interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara
penuh keberadaan apa yang nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita
menggambarkan fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh.
Penggambaran itu juga meliputi ciri-ciri fisik seperti bentuk, ukuran, warna,
dan juga ciri-ciri pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam
kesadaran kita ketika kita mengarah ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita
mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman kita akan fenomena. Dengan kata
lain kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi
imajinatif meliputi usaha mencapai susunan komponen struktural fenomena
yaitu apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami (yakni
teksturnya), variasi imajinatif menanyakan “bagaimana” pengalaman itu mungkin
(yaitu strukturnya). Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan
kondisi-kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa kondisi-kondisi
tersebut tidak mungkin fenomena itu akan menjadi sebagaimana adanya. Kondisi
ini dapat meliputi waktu, ruang atau hubungan-hubungan sosial. Akhirnya
gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan untuk sampai pada pemahaman
tentang esensi fenomena. (“The
phenomenological method of gaining understanding involves three distinct phases
of contemplation: ephoce, phenomenological reduction and imaginative variation
(for a detailed account of these, see Moustakas 1994). Epoche requires the
suspension of presuppositions and assumptions, judgements and interpretations
to allow ourselves to become fully aware of what is actually before us. In
phenomenological reduction we describe the phenomenon that present itself to us
it in totality. This includes physical features such as shape, size, colour and
texture, as well as experiential features such as the thought and feelings that
appear in our consiousness as we attend to the phenomenon. Through
phenomenological reduction, we identify the constituens of our experience of
the phenomenon. In other words, we become aware of what makes the experience
what it is. Imaginative variation involves an attempt to access the structural
components of the phenomenon. That is, while phenomenological reduction is
concerned with “what”is experienced (i.e. its texture), imaginative variation
asks “how” this experience is made possible (i.e. its structure). The aim of
imaginative variation is to identify the conditions associated with the
phenomenon and whitout which it would not be what it is. This could involve
time, space or social relationships. Finally, textural and structural
descriptions are integrated to arrive at an understanding of the essence of the
phenomenon”) (Willig, 1999: 52).
3) Fenomenologi dan Psikologi
Menurut Willig
(1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem
pemikiran filsafat, rekomendasi metodologinya telah terbukti menarik minat
peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini
disebabkan fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman
individu tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai
berikut:
Fenomenologi
berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara bagaimana sesuatu itu
menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang dunianya;
berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran subjek, berusaha menangkap
keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan mengungkapkan
makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman tersebut.
(“Even though transcendental phenomenology
was conceived as a philosophical system of thought, its methodological
recommendations have proved to be of interest to researchers in the social
sciences in general and psychology in particular. This is because phenomenology
focuses upon the content of consciousness and individual’s experience of the
word as Kvale (1996 b:53) put it:
Phenomenology is interested in elucidating
both that which appears and the manner in which it appears. It studies the
subjects perspectives of their word; attempts to describe in detail the content
and structure of the subjects consciouness, to grasp the qualitative diversity
of their experiences and to explicate their essential meanings.
Selanjutnya
dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris dalam psikologi telah dirintis dan
diaplikasikan secara ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika Serikat
(lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik
penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959),
“belajar” (Georgi 1975, 1985), “jadi korban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah”
(Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman manusia.
Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis secara fenomenologis. Inilah
alasan lain mengapa fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi
peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam fokus dan
penekanan antara fenomenologi transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi
dalam psikologi. (“Empirical phenomenonlogical
research in psychology was pioneered and applied extensively at Duquesne
University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et
al. 1975). Topics of phenomenological investigation included “feeling
understood” (Van Kaam 1959), “learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized”
(Fisher and Wentz 1979), “angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of
human experience. In fact, any human experience can be subjected to
phenomenological analysis. This is another reason why this approach appeals to
psychological researchers. However, there are differences in focus and emphasis
between transcendental phenomenology and the use of the phenomenological method
in psychology (Willig, 1999:52-53).
Spinelli (1989)
menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan
variasi pengalaman manusia daripada mengidentifikasi esensi-esensi dalam
pengertian Husserl. Tambahan pula penelitian-penelitian fenomenologi dalam
psikologi, jika ada mengklaim bahwa tidak mungkin “menyingkirkan” seluruh
prasangka dan bias dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. Agaknya,
usaha memberi tanda kurung pada fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti
melakukan pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui sesuatu.
Akhirnya sangat penting untuk melakukan pembedaan antara perenungan
fenomenologi tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana ia menampakan diri
kepada peneliti, dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus
seperti yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan fenomenologis
menuntut (mensyaratkan) intropeksi oleh seseorang terhadap pengalamannya
sendiri, sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan
upaya “masuk ke dalam” pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang
pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan pengalaman
terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh peneliti. (“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more
concerned with the diversity and variability of human experience than with the
identification of essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any,
phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to
suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon.
Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage
in a critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it
(see reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between
phenomenological contemplation of an object or event as it present it self to
the researcher, and phenomenological analysis of an account of a particular
experience as presented by a research participant. The former requires
introspective attention to one’s own experience, where as the latter an attempt
to “get inside” someone else’s experience on the basis of their description of
it. In phenomenological psychological research, the research participotion’s
account becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig,
1999: 53).
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA DALAM PENELITIAN
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://prodipplk.blogspot.com/2015/10/paradigma-dan-prinsip-prinsip.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar